Gajah Antisura, Pusaka Hastinapura

Author:editorTembi / Date:11-08-2014 / Gajah Antisura berumur sangat panjang. Ia bertahan hidup sampai beberapa generasi setelah Palasara. Selain sebagai Gajah pusaka, Gajah Antisura juga menjadi tokoh kunci pada ‘upacara jumenengan’ atau penobatan seorang raja di negara Hastinapura.

Wayang Gajah, buatan Kaligesing Purworejo, koleksi museum Tembi Rumah Budaya.

Ada beberapa kisah dalam pewayangan yang melibatkan ketokohan binatang gajah, diantaranya adalah Antisura. Gajah Antisura ditemukan oleh Palasara pada saat ia membuka hutan Gajahoya. Dengan tenaganya, gajah besar tersebut banyak membantu Palasara dalam membuka hutan untuk mendirikan keraton, yang kemudian diberi nama Hastinapura. Hasti artinya gajah dan pura artinya bangunan suci.

Nama hasti atau gajah dipilih mungkin karena hutan yang dibuka bernama Gajahoya, dan pula berdirinya keraton tidak terlepas dari bantuan seekor gajah. Bahkan ada cerita tutur yang mengatakan bahwa gajah besar penunggu hutan Gajahoya tersebut merupakan inkarnasi dari Prabu Hasti penguasa kerajaan di Gajahoya yang telah hancur tak berbekas.

Setelah Hastinapura berdiri dan Palasara menjadi raja, gajah besar itu pula yang mendudukan Palasara pada dampar (tahta) pusaka yang dibuat dari kayu keramat berwarna kehitaman, yang ditemukan di hutan Gajahoya. Sejak mulai era pemerintahan Palasara, Gajah besar yang banyak jasanya tersebut dijadikan pusaka kerajaan seperti halnya dampar kayu hitam, dan diberi nama Antisura.

Gajah Antisura berumur sangat panjang. Ia bertahan hidup sampai beberapa generasi setelah Palasara. Selain sebagai Gajah pusaka, Gajah Antisura juga menjadi tokoh kunci pada ‘upacara jumenengan’ atau penobatan seorang raja di negara Hastinapura. Hal tersebut dikarenakan, tidak ada seorang pun dari keturunan Palasara yang kuat menduduki dampar hitam, jika tidak diangkat serta didudukan oleh Gajah Antisura. Demikian juga sebaliknya, keturunan Palasara yang tidak mempunyai ‘wahyu raja’ tidak bakal diangkat dengan belalainya Gajah Antisura untuk didudukan pada tahta keramat.

Jika ada anak cucu Palasara yang coba-coba menduduki tahta keramat tanpa ‘restu’ Gajah Antisura, ia akan terlempar dari tahta. Jika pun tidak terlempar, ia akan merasakan kesakitan yang amat sangat pada bagian kepala hingga pingsan.

Destrarasta dan Duryudana yang pernah berkuasa atas kerajaan Hastinapura tidak pernah diangkat oleh Gajah Antisura, untuk didudukan pada tahta pusaka, karena mereka tidak mendapat wahyu raja. Oleh karenanya pada masa pemerintahan Destrarasta dan kemudian diteruskan Duryudana, mereka menduduki dampar buatan sendiri yang lebih gebyar dan mewah.

Pernah suatu ketika, Bambang Irawan, anak Arjuna, keturunan Palasara dari garis bapak, menuntun Gajah Antisura ke dekat dampar pusaka. Tujuannya agar Gajah Antisura mau mengangkat Bambang Irawan dengan belalainya dan mendudukan dalam tahta. Namun apa yang terjadi, Antisura lari meninggalkan kerajaan Hastinapura dan masuk hutan belantara.

Beberapa waktu kemudian Gajah Antisura kembali ke kerajaan Hastinapura dengan menggendong serta mengangkat Abimanyu, anak Arjuna yang berpasangan dengan Sumbadra. Rakyat Hastinapura terheran-heran. Mereka dapat mengerti pesan yang ingin disampaikan oleh Gajah Antisura, bahwa Abimanyu pantas menduduki tahta pusaka, bukan Irawan. Dikarenakan Abimanyu telah mendapat wahyu Cakraningrat, wahyu raja.

Herjaka HS

Ensiklopedi Figur Wayang

Latest News

  • 13-08-14

    Kesadaran Nasional.

    Judul : Kesadaran Nasional. Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan. Jilid I Penulis : Prof. Dr. Slamet Muljana Penerbit : LKiS, 2008, Yogyakarta... more »
  • 13-08-14

    Pameran Seni Rupa Ib

    Pameran di Bentara Budaya Yogyakarta ini, pada 8-17 Agustus 2014, lebih untuk menemukan strategi visual yang dapat menggambarkan keterlibatan dan... more »
  • 12-08-14

    Resep Gudheg Nanas d

    Dalam majalah Kajawen berbahasa dan beraksara Jawa tersebut, Pujirah menulis resep berdasar bahan, bumbu, dan cara memasak untuk “gudbeg nanas”.... more »
  • 12-08-14

    Malam ini di Tembi C

    Tajuk dari Sastra Bulan Purnama ini mengambil kalimat dari tiga judul antologi puisi yang akan di-launching, yaitu “Cicak-Cicak Menatap Takdir Di... more »
  • 12-08-14

    Komik Baru Peter van

    Buku Rampokan ini tidak saja bagus dari sisi goresan ilustratifnya, tetapi juga dari sisi gagasan atau isinya yang berkisar tentang kondisi di Hindia... more »
  • 11-08-14

    De Mata Trick Eye Mu

    Wahana ini memang mampu memberikan hiburan dan kegembiraan bagi pengunjung, terutama yang gemar berfoto ria. Foto-foto 3D yang menjadi latar belakang... more »
  • 11-08-14

    Sastrawan Malaysia W

    “Di Indonesia musik dan puisi dikenal dengan nama musikalisasi puisi dan di Malaysia disebut lagu puisi,” kata Prof Irwan Abu Bakar, presiden... more »
  • 11-08-14

    Gajah Antisura, Pusa

    Gajah Antisura berumur sangat panjang. Ia bertahan hidup sampai beberapa generasi setelah Palasara. Selain sebagai Gajah pusaka, Gajah Antisura juga... more »
  • 09-08-14

    Songket Silungkang W

    Judul : Songket Silungkang Warisan Budaya Kota Tua Sawahlunto  Penulis : Judi Achjadi, Benny Gratha  Penerbit : Museum Tekstil, 2013... more »
  • 09-08-14

    Hari Baik Orang Wuku

    Hubungan antara Raden Manahil dan Batara Citragatra ini seperti hubungan antara guru dan murid. Sehingga watak dan perilaku gurunya sebagian besar... more »