Pameran Seni Rupa Ibu Pertiwi, Menawarkan Kontemplasi

Author:editorTembi / Date:13-08-2014 / Pameran di Bentara Budaya Yogyakarta ini, pada 8-17 Agustus 2014, lebih untuk menemukan strategi visual yang dapat menggambarkan keterlibatan dan posisi seni rupa dalam keadaan urgensi saat ini yang semakin hari semakin mengusik semua lapisan masyarakat untuk tidak bisa tinggal diam.

Seniman yang berpameran, dari kiri ke kanan: Laksmi Shitaresmi, Anggar Prasetya, Wahyu Santosa, dan Deddy Paw (Made Wiradana) tidak hadir, difoto: Jumat: 8 Agustus 2014, foto: a.sartono
Seniman yang berpameran, dari kiri ke kanan: Laksmi Shitaresmi,
Anggar Prasetya, Wahyu Santosa, dan Deddy Paw
(Made Wiradana tidak hadir)

Perhelatan untuk memperingati tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari proklamasi kemerdekaan Indonesia dilakukan semua orang Indonesia dengan berbagai cara. Tidak ketinggalan pula lembaga kebudayaan dan seniman. Dalam rangka itu Jogja Contemporary bekerja sama dengan Bentara Budaya Yogyakarta menyelengarakan pameran seni rupa dengan tema Ibu Pertiwi. Pameran melibatkan seniman-seniman antara lain Anggar Prasetya, Deddy Paw, Made Wiradana, Laksmi Shitaresmi, dan Wahyu Santosa. Pameran dikuratori oleh Wara Wardani dan dibuka oleh Romo GP Sindhunata SJ. Pameran berlangsung pada 8-17 Agustus 2014.

Pameran ini menghadirkan berbagai aspek dan cara yang berbeda untuk merefleksikan konsep mereka akan kebangsaan dengan kedekatan dan keberjarakan yang sama sekaligus serta medium yang berbeda-beda. Hal ini juga menegaskan tentang bagaimana beragamnya gagasan kebangsaan itu sendiri dalam masyarakat kita seperti tercermin dalam karya-karya mereka.

Spritit of Life # 1, fiberglass, 101 x 90 x 66,5 cm, 2014 karya Laksmi Shitaresmi, difoto: Jumat: 8 Agustus 2014, foto: a.sartono
Spritit of Life # 1, fiberglass, 101 x 90 x 66,5 cm,
2014 karya Laksmi Shitaresmi

Deddy PAW secara khusus menggunakan simbol apel dan Buddha untuk mengantarkan pesan spiritualitas yang tampaknya menekankan pada kontemplasi-kedamaian dalam kepungan iming-iming kenikmatan duniawi yang disimbolkan oleh apel yang mengepung Buddha. Hal ini dapat dicermati dalam karya Deddy PAW yang berjudul Peace of Mind-Peace on Earth, Peace of Mind-Peace on Earth #1, Peace of Mind-Peace on Earth #2.

Patung resin anjing berwarna merah karya Laksmi Shitaresmi seperti menunjukkan tentang nafsu manusia yang diperlukan untuk keberlangsungan hidup yang dalam tahapan tertentu sering lepas kendali dan dapat menimbulkan bencana. Patung Spirit of Life #1 (anjing kawin) dengan anak-anak bermain di punggungnya mungkin menyiratkan akan hal demikian itu. Bahwa nafsu-nafsu keanjingan selalu bergulat dengan segala yang damai, tenang, ceria, dan ketenteraman yang disimbolkan oleh dunia anak-anak yang polos dan jujur.

Peace of Mind-Peace on Earth # 1, oil on canvas, 140 x 200 cm, 2013 karya Deddy Paw, difoto: Jumat: 8 Agustus 2014, foto: a.sartono
Peace of Mind-Peace on Earth # 1, oil on canvas, 140 x 200 cm,
2013 karya Deddy Paw

Made Wiradana menggunakan simbol kuda dan juga ayam jago dalam karya lukisnya sebagai metafora tentang keberagaman yang selalu bergerak, dinamis. Ada tarik-menarik antara kepentingan kolektivitas sebagai bangsa dan individu. Ketegangan keduanya menumbuhkan dialektika yang terus hidup dalam bingkai kelokalan, kebangsaan, dan globalisasi.

Sementara Wahyu Santosa mengeksplorasi seni tradisi dalam karya-karya patung modern. Tampak bahwa modernitas dan tradisionalitas menjadi dua unsur yang saling menguatkan sehingga melahirkan karya yang indah, kontemplatif, sekaligus greget.

Anggar Prasetya sendiri merefleksikan keadaan sekarang dalam perubahan politik dan kepemimpinan di masyarakat demokratis. Tampak bahwa karya yang disuguhkan Anggar Prasetya seperti menampilkan sosok, benda, peristiwa, dan lain-lain di balik sebuah tabir. Ada semacam kejelasan di balik ketidakjelasan sekaligus ketidakjelasan di balik kejelasan. Misterius. Mungkin demikian pula dengan fakta atau keadaan di balik perjalanan hidup manusia, bangsa, dan negara. Ada yang kelihatan seperti dijelaskan namun sesungguhnya disamarkan. Ada yang disamarkan namun sesungguhnya sudah jelas.

Kuda Lumping, bronze, 270 x 165 x 130 cm, 2014 karya Wahyu Santosa, difoto: Jumat: 8 Agustus 2014, foto: a.sartono
Kuda Lumping, bronze, 270 x 165 x 130 cm,
2014 karya Wahyu Santosa

Pameran ini lebih untuk menemukan strategi visual yang dapat menggambarkan keterlibatan dan posisi seni rupa dalam keadaan urgensi saat ini yang semakin hari semakin mengusik semua lapisan masyarakat untuk tidak bisa tinggal diam. Pameran ini menjadi perayaan akan keberadaan seni rupa itu sendiri yang selalu dan terus memberikan ruang interpretasi, sebuah tempat untuk memikirkan dan mempertimbangkan kembali keberadaan di tengah budaya kontemporer. Bukan sekadar untuk perayaan 17-an atau menjawab persoalan-persoalan publik.

Naskah dan foto:A. Sartono

Berita budaya

Latest News

  • 14-08-14

    Museum Khusus Jender

    Rumah itu pernah menjadi kediaman Jenderal Sudirman dan keluarga sejak 18 Desember 1945—19 Desember 1948, saat ia menjabat sebagai Panglima Besar... more »
  • 14-08-14

    Ngabuk Wong Meteng

    Pepatah ini mengajarkan bahwa janganlah menyakiti orang yang sudah dalam kondisi atau keadaan lemah. Menyakiti orang yang lemah (fisik, materi,... more »
  • 14-08-14

    Penyair Senior Memba

    Ini kali, penyair yang sudah dikenal sejak dekade 1970-an, dan sampai sekarang masih terus menulis puisi, hadir di Tembi Rumah Budaya untuk... more »
  • 14-08-14

    Jembatan Winongo, Si

    Jembatan ini menjadi sarana penghubung antara Dusun Niten dan Dusun Glondong. Diduga jembatan ini dibangun seiring dengan dengan pembangunan beberapa... more »
  • 13-08-14

    Kesadaran Nasional.

    Judul : Kesadaran Nasional. Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan. Jilid I Penulis : Prof. Dr. Slamet Muljana Penerbit : LKiS, 2008, Yogyakarta... more »
  • 13-08-14

    Pameran Seni Rupa Ib

    Pameran di Bentara Budaya Yogyakarta ini, pada 8-17 Agustus 2014, lebih untuk menemukan strategi visual yang dapat menggambarkan keterlibatan dan... more »
  • 12-08-14

    Resep Gudheg Nanas d

    Dalam majalah Kajawen berbahasa dan beraksara Jawa tersebut, Pujirah menulis resep berdasar bahan, bumbu, dan cara memasak untuk “gudbeg nanas”.... more »
  • 12-08-14

    Malam ini di Tembi C

    Tajuk dari Sastra Bulan Purnama ini mengambil kalimat dari tiga judul antologi puisi yang akan di-launching, yaitu “Cicak-Cicak Menatap Takdir Di... more »
  • 12-08-14

    Komik Baru Peter van

    Buku Rampokan ini tidak saja bagus dari sisi goresan ilustratifnya, tetapi juga dari sisi gagasan atau isinya yang berkisar tentang kondisi di Hindia... more »
  • 11-08-14

    De Mata Trick Eye Mu

    Wahana ini memang mampu memberikan hiburan dan kegembiraan bagi pengunjung, terutama yang gemar berfoto ria. Foto-foto 3D yang menjadi latar belakang... more »