Suasana Sedih Menunggu Kereta Kencana

09 Oct 2015

Dua orang tua lelaki perempuan, yang usianya sudah 200 tahun, sedang berbincang-bincang dalam suasana sedih sambil menunggu kereta kencana yang akan menjemput. Dalam suasana sedih, keduanya seringkali bercanda dan mengenang masa lalu.

Dua orang tua lelaki perempuan, yang usianya sudah 200 tahun, sedang berbincang-bincang dalam suasana sedih sambil menunggu kereta kencana yang akan menjemput. Dalam suasana sedih, keduanya seringkali bercanda dan mengenang masa lalu.

Adegan tersebut ada pada pertunjukan teater yang berjudul “Kereta Kencana”, naskah karya Eugene Ionosco, yang disadur WS Rendra. Pementasan dilakukan pada Selasa malam 6 Oktober 2015 di Societet Militer, Taman Budaya, Jalan Sri Wedari 1, Yogyakarta. Dimainkan oleh Ana Ratri dan Muhammad Lutfi dengan sutradara Untung Basuki.

“Bulan akan luput dari pandangan mata, kereta kencana akan tiba, kita tak boleh menangis…,” begitulah kalimat yang diucapkan berulang-ulang oleh kakek nenek itu.

Keduanya sedang menunggu kereta kencana, yang seolah keduanya masih muda dan akan menuju pelaminan. Padahal keduanya sudah renta, dan menunggu kehadiran sang raja, dan juga menunggu kereta kencana menjemputnya.

Kedua pemain masih muda. Ana Ratri berumur 43 tahun dan Muhammad Lutfi berusia 20 tahun. Keduanya memerankan tokoh nenek dan kakek, yang usianya 200 tahun. Usia muda yang dimiliki Ana, demikian biasa dipanggil, dan Lutfi, terasa berat memainkan peran nenek. Meski keduanya sering jalan membungkuk dan tertatih, tetapi penampilan keduanya tidak terlalu tua, bahkan tidak merepresentasikan nenek dan kakek.

Dalam suasana yang mestinya bahagia, menunggu kehadiran raja, keduanya seperti terlihat murung, dan terasa sekali putus asa, terutama si kakek. Suasana tidak terbangun, meski berulangkali coba dihadirkan dengan panggilan mesra seperti ‘sayang’, yang berulangkali diucapkan nenek ketika memanggil kakek, suaminya.

Suasana murung dan putus asa, bisa didengarkan dari apa yang dikatakan kakek: “Aku bukan jenderal, aku hanya profesor yang dilupakan, aku sampah dibuang”.

Kereta Kencana terasa lamban dimainkan, meski menyenangkan. Meski penuh dialog, tetapi tidak terasa nyinyir. Justru dialog yang tidak pernah berhenti memperkuat permainan. Hanya memang terasa lamban untuk diikuti, tetapi tidak membosankan.

Setting panggung sangat sederhana, dan memberi imajinasi pada ruang di masa 200 tahun yang lalu. Untuk pemahaman sekarang setting dan properti terkesan ala kadarnya, tapi justru seperti itulah, ‘Kereta Kencana’ terasa menjadi dekat dengan kehidupan keseharian.

Durasi pertunjukan “Kereta Kencana’ tidak panjang, hanya sekitar 20 menit, sehingga tidak membosankan. Tidak penuh musik, tetapi kaya akan cahaya dan dialog. Bahkan, hampir tak pernah tanpa dialog. Kedua kakek dan nenek, terus melakukan dialog sambil menunggu Kereta Kencana’ datang menjemputnya.

Ketika Kereta Kencana datang, yang ditarik 10 ekor kuda, kakek dan nenek tak kuasa menahan hidupnya, dan kehadiran kereta kencana memang menjemput keduanya dari kehidupannya.

Ajal menjemput mereka dan ‘Kereta Kencana’ melaju membawa pergi kedua orang tua, sambil ditaburi bunga, dan artinya pertunjukan telah berakhir.

Hidup berakhir di tengah mimpi yang indah: Kereta Kencana menjemputnya.

Ons Untoro 
Foto: Agus Ania

Ana Ratri memerankan seorang nenek yang berusia 200 tahuh dalam lakon “Kereta Kencana” di Societer Taman Budaya Yogyakarta, foto: Agus Ania Dalam satu adegan: Ana Ratri bersama Muhammad Lutfi yang memerankan kakek, sedang berbincang dengan Raja yang duduk di kursi goyang, foto: Agus Ania SENI PERTUNJUKAN

Baca Juga

Artikel Terbaru

  • 10-10-15

    Wayang Topeng, Seni

    Kelompok Wayang Topeng Sekar Kedaton ini merupakan kelanjutan dari wayang topeng yang pernah dirintis oleh tokoh yang beranama Eyang Mlayakusuma pada... more »
  • 10-10-15

    Kamis Paing Termasuk

    Menurut kitab Primbon Betaljemur Adammakna, pada bulan Besar dan Sura ‘naga tahun’ berada di utara. Naga Jatingarang pada bulan Besar berada di utara... more »
  • 10-10-15

    Bilawa (4): Melumat

    Lagi-lagi Bilawa berhasil menancapkan kuku pancanaka, kali ini di lambung Rajamala, sehingga rebah bersimbah darah di arena. Bilawa membiarkan para... more »
  • 10-10-15

    Pameran Batik Pering

    Karya-karya batik yang ditampilkan pada pameran batik kali ini spesial batik-batik khas Yogyakarta, baik menampilkan motif klasik maupun motif... more »
  • 09-10-15

    Suasana Sedih Menung

    Dua orang tua lelaki perempuan, yang usianya sudah 200 tahun, sedang berbincang-bincang dalam suasana sedih sambil menunggu kereta kencana yang akan... more »
  • 09-10-15

    Kolaborasi Dua Gener

    Dalam rangkaian perayaan HUT Galeri Indonesia Kaya yang ke-2, menampilkan kolaborasi dua generasi dalam satu panggung yakni sastrawan kebanggaan... more »
  • 09-10-15

    Bubur Kepiting Hokie

    Agar tetap mendapatkan kualitas kepiting yang terbaik, sampai sekarang kepiting didatangkan langsung dari Tarakan, Kalimantan Utara. Rasa khas... more »
  • 09-10-15

    Reuni Swara Ratan Ya

    Swara Ratan, grup musik unik yang pernah berkibar tahun 1980-an hingga awal 2000-an di Yogyakarta, melakukan reuni pementasan di Taman Budaya... more »
  • 08-10-15

    Memutar Waktu Ke Mas

    Kampung Ambon, Jakarta Timur, konon berasal dari kata Kumpi Ambon, yakni sebuah kuburan tua orang-orang Ambon yang dahulu bekerja pada Belanda. Pasar... more »
  • 08-10-15

    Jalan Remang Kesaksi

    Sastra Bulan Purnama edisi ke-48, yang genap 4 tahun diisi pembacaan puisi bukan hanya oleh para penyair, tetapi juga menampilkan para tokoh, yang... more »