Wayang Topeng, Seni Tradisi yang Sudah Langka

10 Oct 2015

Kelompok Wayang Topeng Sekar Kedaton ini merupakan kelanjutan dari wayang topeng yang pernah dirintis oleh tokoh yang beranama Eyang Mlayakusuma pada zaman Sunan Paku Buwana IX (1861-1893). Kini kesenian ini terus dikelola oleh keturunan generasi ketiganya.

Banyak kelompok seni tradisi yang dalam kehidupannya seperti hidup segan mati pun tak mau. Semuanya terjadi karena hampir semua kelompok seni tradisi muncul dan hidup karena kecintaan orang atau masyarakat atas seni tersebut. Demikian pula halnya dengan kehidupan Wayang Topeng Sekar Kedaton yang beralamat di Dusun Kadipolo, Kelurahan Keputran, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

Kelompok Wayang Topeng Sekar Kedaton ini merupakan kelanjutan dari wayang topeng yang pernah dirintis oleh tokoh yang beranama Eyang Mlayakusuma pada zaman Sunan Paku Buwana IX (1861-1893). Kini kesenian ini terus dikelola oleh keturunan generasi ketiganya, yakni Joko Santoso dan Ny. Giyah (saudara satu eyang buyut). Menurut keterangan keduanya kehidupan kesenian ini semula memang lebih dimanfaatkan untuk menyatukan para dalang di sela pentas wayang kulit. Tidak aneh jika kemudian anggota dari kelompok ini bisa dikatakan semuanya berasal dari keluarga dalang. Jadi umumnya mereka semua bisa menabuh gamelan, mendalang, sekaligus menari.

Wayang Topeng Sekar Kedaton Klaten ini baru saja memaparkan latar belakang keberadaannya sekaligus melakukan pementasan di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri Universitas Gadjah Mada pada hari Rabu malam, 7 Oktober 2015. Ada pun lakon yang mereka bawakan adalah “Regol Mbarang Jantur”. Lakon ini menceritakan tentang ‘murca” atau menghilangnya Dewi Ragil Kuning dari Kerajaan Jenggala. Prabu Lembu Amiluhur kemudian meminta kepada keponakannya yang bernama Raden Gunung Sari (dari Kerajaan Kediri) untuk mencarinya. Dengan ditemani abdinya yang bernama Regol Potrojoyo maka Raden Gunung Sari pun mencarinya. Agar di dalam mencari tersebut jati diri mereka tidak diketahui oleh masyarakat umum mereka menyamar menjadi orang dusun.

Sementara itu Mbok Randha Dadapan baru saja meminta anak angkatnya yang bernama Bawang Putih untuk mencari Popok dan Beruk yang hilang ketika dicuci di sungai. Pencarian dilakukan sampai Bawang Putih diangkat anak oleh Nyai dan Kaki Buto Ijo. Saking senangnya karena memiliki anak angkat Nyai dan Kaki Buto Ijo kemudian menanggap orang yang “mbarang” (ngamen) jantur atau ngamen tarian yang diiringi gending-gending serta atraksi. Sepasang Buto Ijo terlena melihat tontonan itu hingga tertidur. Pada saat itulah Bawang Putih yang tidak lain adalah Dewi Ragil Kuning dibawa lari oleh Raden Gunung Sari dan Regol Potrojoyo yang menyamar menjadi tukang ngamen (mbarang).

Pengejaran dilakukan sepasang Buto Ijo namun mereka dapat dikalahkan oleh Raden Gunung Sari. Perjalanan Raden Gunung Sari dan Dewi Ragil Kuning masih menghadapi hambatan lain yakni dari Prabu Klana Sadara dari Kerajaan Glagah Sandawa yang menghendaki Dewi Ragil Kuning menjadi istrinya. Peperangan antara Raden Gunung Sari dan Prabu Klana Sadara pun terjadi yang akhirnya dimenangkan oleh Raden Gunung Sari.

Satu hal yang menjadikan wayang topeng ini menarik untuk dicermati adalah karena semua pemain harus bisa memainkan peran ganda. Kadang ia harus menabuh gender, kenong, atau gendang. Kadang ia harus bisa bermain sebagai dalang sekaligus juga harus bisa menari dan melakonkan peran apa saja. Pada sisi ini sebenarnya para pemain wayang topeng ini adalah orang-orang yang multi talenta. Hal demikian ini terjadi karena jumlah pengrawit (penabuh gamelan), dalang, dan penarinya memang terbatas.

Dulu pementasan dapat dilakukan sehari penuh. Namun untuk keperluan mbarang (ngamen) umumnya dilakukan dalam durasi lebih singkat (sekitar 1-1,5 jam). Untuk keperluan mbarang tidak diperlukan personil yang terlalu banyak. Jadi semua pemain dituntut harus bisa memerankan apa saja sesuatu tuntutan penonton yang menanggapnya.

asartono

Dewi Ragil Kuning (kebaya putih) di antara Raden Gunung Sari yang menyamar dan sepasang Buto Ijo, difoto: Rabu, 07 Oktober 2015, foto: a.sartono Perkelahian antara Prabu Klana Sadara dengan Raden Ragil Kuning, difoto: Rabu, 07 Oktober 2015, foto: a.sartono Ny. Giyah dan Jaka Santoso, sesepuh Wayang Topeng Klaten, difoto: Rabu, 07 Oktober 2015, foto: a.sartono Kepala PKKH UGM, Prof.Dr. Faruk Tripoli, SU (keempat dari kanan). berfoto bersama pemain Wayang Topeng, difoto: Rabu, 07 Oktober 2015, foto: a.sartono Profil Prabu Klana Sadara, difoto: Rabu, 07 Oktober 2015, foto: a.sartono Profil Raden Gunung Sari, difoto: Rabu, 07 Oktober 2015, foto: a.sartono SENI PERTUNJUKAN

Baca Juga

Artikel Terbaru

  • 03-11-15

    Ludruk Puisi Di Temb

    “Ini ludruk puisi garingan, yang sengaja dipentaskan di Tembi Rumah Budaya. Garingan artinya, datang dan pergi biaya sendiri,” ujar Giryadi, salah... more »
  • 03-11-15

    Asal-muasal Nama Tem

    Judul                  : Toponim Kotagede. Asal Muasal Nama Tempat... more »
  • 03-11-15

    Tiga Penyair Dari Ti

    Tiga penyair dari kota yang berbeda tampil di Tembi Rumah Budaya mengisi Sastra Bulan Purnama edisi ke-49, Kamis, 29 Oktober 2015, dengan launching... more »
  • 03-11-15

    Penghargaan Untuk Se

    Pada Kamis, 29 Oktober 2015 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bantul menggelar acara pemberian penghargaan kepada seniman, kelompok seni, dan... more »
  • 02-11-15

    Berbagi Rasa Dan Sua

    Dalam konser ini Frau mencoba menghadirkan pengalaman baru yang lebih menyeluruh dalam menikmati musik. Frau, atau yang akrab disapa Lani bersama... more »
  • 02-11-15

    David Nurbianto, Men

    Menjadi juara pertama ajang Stand Up Comedy season empat yang diadakan Kompas TV membuat nama David Nurbianto semakin melambung. Selain semakin tenar... more »
  • 02-11-15

    Suratrimantra Gagal

    Suratrimantra mempunyai kesaktian berwujud air semangka sebagai air kehidupannya, seperti kesaktian yang dimiliki Rajamala. Apabila Suratrimantra... more »
  • 31-10-15

    Macapatan Putaran ke

    Di hadapan para pecinta macapat, Paguyuban Karawitan Laras Madya mendapat kesempatan untuk membawakan gendhing-gendhing Jawa melalui keterampilan... more »
  • 31-10-15

    Rabu Paing Hari Tida

    Rabu Paing 4 November 2015, kalender Jawa tanggal 21, bulan Sura, tahun 1949 Jimawal, hari Taliwangke, wuku Wayang, tidak baik untuk berbagai macam... more »
  • 31-10-15

    Kisah Raja Kerajaan

    Buku ini merupakan terjemahan naskah kuno, Banjaransari jilid III. Naskah ini aslinya ditulis dalam huruf Jawa, berbahasa Jawa dan berbentuk prosa.... more »