Roro Mendut, Ketangguhan Di Balik Kecantikan

17 Oct 2015

Sanggar seni Universitas Sanata Dharma Yogyakarta mengangkat kisah Roro Mendut dimaksudkan untuk menyampaikan pesan kepada anak muda agar memiliki kesetiaan, pendirian yang teguh, pantang menyerah dalam memperjuangkan apa yang menjadi cita-citanya.

“Seni tidak harus tidak diekspresikan,” kata Prof. Dr. Nicolaus Driyarkara SJ, salah satu pendiri dan rektor pertama Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tersebut, masih dihidupi hingga saat ini. Hal tersebut dibuktikan pada pentas seni yang digelar di auditorium Driyarkara Universitas Sanata Dharma pada Sabtu 3 Oktober 2015 malam, dalam rangka dies natalis ke-60 perguruan tinggi tersebut. Seni yang diekspresikan pada pentas ini adalah sendratari yang merupakan hasil kolaborasi antara Unit Kegiatan Mahasiswa Grisadha dan Unit Kegiatan Mahasiswa Karawitan, bertajuk “Ketangguhan di balik sampul kecantikan Roro Mendut”.

Selaras dengan motto akademik, yaitu cerdas dan humanis, dengan memadukan keunggulan akademik serta nilai-nilai kemanusiaan, keberadaan sanggar seni tari dan seni karawitan di lingkungan kampus ini menjadi sarana untuk mengepakkan salah satu sayapnya dari sisi humanis, untuk mengimbangi kepakan sayap yang lain dari sisi akademik.

Menurut ketua panitia pementasan, Faustina Monika A.S, mengangkat kisah Roro Mendut dimaksudkan untuk menyampaikan pesan kepada anak muda agar memiliki kesetiaan, pendirian yang teguh, pantang menyerah dalam memperjuangkan apa yang menjadi cita-citanya. Selain itu, pagelaran ini juga diadakan untuk melestarikan, dan mengembangkan seni tari dan seni karawitan, serta menggali kembali nilai-nilai luhur manusia yang dikandung pada cerita rakyat.

Kisah Roro Mendut yang ditulis oleh Y.B. Mangunwijaya dalam trilogi karya sastra klasik merupakan cerita rakyat dari Jawa Tengah. Kisah ini menceritakan tentang seorang gadis cantik yang dibesarkan di Dusun Telukcikal, Pati, kampung nelayan pantai utara Jawa pada abad ke-17. Saat itu Kadipaten Pati berada di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung.

Karunia kecantikan yang luar biasa membuat Roro Mendut menjadi bahan rebutan para pria, baik itu rakyat biasa maupun bangsawan. Salah satu bangsawan dari Mataram yang terpikat adalah Tumenggung Wiraguna. Dengan kuasanya sebagai senapati perang andalan Sultan Agung, Wiraguna melamar Roro Mendut, dan akan memboyong ke Mataram untuk dijadikan selir. Namun demi cintanya kepada Pranacitra kekasihnya, Roro Mendut menolak lamaran Wiraguna.

Tumenggung Wiraguna marah dan menghukum Roro Mendut dengan mewajibkan untuk membayar upeti dalam jumlah besar. Oleh karenanya Roro Mendut mencari cara agar memperoleh uang, guna membayar upeti. Maka ia pun meminta izin berjualan rokok di pasar Mataram. Dengan kehadiran Roro Mendut di antara pedagang pasar, bak magnit yang luar, ia menyedot banyak pembeli. Maka dagangan rokoknya pun laris, bahkan puntung rokoknya laku dijual mahal.

Dari hari ke hari pengunjung pasar pun meningkat dengan signifikan, Salah satu pengunjung yang datang dari jauh adalah Pranacitra. Pertemuan yang dirindukan keduanya pun berlangsung hangat. Mereka tak mau berpisah lagi. Disela-sela kesibukannya melayani pembeli, Roro Mendut dan Pranacitra merencanakan untuk melarikan diri.

Namun malang bagi pasangan tersebut, usaha mereka diketahui oleh prajurit Wiraguna. Maka kemudian Roro Mendut dibawa pulang kembali ke Mataram, sedangkan Pranacitra dihabisi di jalan. Dengan kematian Pranacitra, Tumenggung Wiraguna berharap agar Roro Mendut mau menjadi selirnya. Namun yang terjadi justru sebaliknya, Roro Mendut tetap teguh pada pendiriannya, setia pada janji sehidup semati dengan Pranacitra. Maka ketika Wiraguna menunjukkan makam Pranacitra, Roro Mendut mengakhiri hidupnya dengan keris Wiraguna. Sesal kemudian tak berguna. Walaupun Tumenggung Wiraguna menyesali perbuatannya, Roro Mendut tidak mungkin hidup kembali.

Seni memang harus diekspresikan. Kisah tragis Roro Medut Pranacitra menjadi indah penuh makna manakala diekspresikan melalui seni. Melalui seni itulah Roro Mendut telah meninggalkan nilai-nilai luhur yang seharusnya dipunyai manusia agar hidupnya bernilai dan berkualitas, yaitu keteguhan hati, semangat pantang menyerah dan setia. Nilai-nilai luhur yang semakin langka dan sukar dihidupi oleh generasi muda di zaman sekarang.

Herjaka HS 
Foto: Titah

Sendrari Roro Mendut, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 3 Oktober 2015, foto: Titah Sendrari Roro Mendut, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 3 Oktober 2015, foto: Titah SENI PERTUNJUKAN

Baca Juga

Artikel Terbaru

  • 31-10-15

    Macapatan Putaran ke

    Di hadapan para pecinta macapat, Paguyuban Karawitan Laras Madya mendapat kesempatan untuk membawakan gendhing-gendhing Jawa melalui keterampilan... more »
  • 31-10-15

    Rabu Paing Hari Tida

    Rabu Paing 4 November 2015, kalender Jawa tanggal 21, bulan Sura, tahun 1949 Jimawal, hari Taliwangke, wuku Wayang, tidak baik untuk berbagai macam... more »
  • 31-10-15

    Kisah Raja Kerajaan

    Buku ini merupakan terjemahan naskah kuno, Banjaransari jilid III. Naskah ini aslinya ditulis dalam huruf Jawa, berbahasa Jawa dan berbentuk prosa.... more »
  • 31-10-15

    Merti Bumi Kampung S

    Merti Bumi Kampung Surocolo-Gua Jepang, Pundong, Bantul, selalu dilakukan rutin setiap tahun sekali. Acara tersebut umumnya dilaksanakan pada musim... more »
  • 30-10-15

    Agus Baqul Purnomo “

    Pada 27 Oktober - 3 November 2015 Agus Baqul secara khusus memamerkan penggalan aktivitas panjangnya yang menampilkan pilihan karya selama kurun... more »
  • 30-10-15

    Festival Langen Cari

    Festival Langen Carita antarkecamatan ini diikuti oleh peserta berkelompok terdiri dari 50 orang dengan ketentuan pemain sebanyak 25 orang berusia... more »
  • 29-10-15

    Mangkunegara VII, Te

    Di bidang pemerintahan, Mangkunegara VII juga dianggap pro-rakyat. Dalam masa kekuasaannya masyarakat Kadipaten Mangkunegaran Surakarta makmur. Ia... more »
  • 29-10-15

    Rujukan Untuk Mengen

    Buku Kajian Naskah Kawroeh Kambeng ini membahas tentang arsitektur tradisional rumah Jawa. Penjelasannya sangat rinci mengenai istilah-istilah atau... more »
  • 28-10-15

    Upaya Memopulerkan K

    Awalnya Miranti Serad Ginanjar, penulis buku “Batik Kudus The Heritage” jatuh cinta pada motif dan detail batik Kudus dengan kombinasi warna yang... more »
  • 28-10-15

    Tradisi Nguras Enceh

    Upacara Nguras Enceh (menguras air dari semacam tempayan besar) di depan makam Sultan Agung Hanyakrakusuma merupakan tradisi yang telah dilakukan... more »