Tembi

Yogyakarta-yogyamu»PEDAGANG BUKU BEKAS DI DEKAT KANTOR POS

01 Jan 2008 04:56:00

Yogyamu

PEDAGANG BUKU BEKAS DI DEKAT KANTOR POS

Sebagai kota pendidikan dan budaya, tentu Yogya tidak lepas dari gerak peredaran buku. Pasaran buku di kota ini cukup bagus, utamanya dengan konsumen para mahasiswa. Buku-buku baru maupun bekas terus diminati dan dicari. Buku baru dengan mudah didapatkan di toko-toko buku besar seperti Gramedia, Toga Mas dan Social Agency. Sedangkan buku bekas gampang diperoleh di Shopping Centre (sebelah Taman Pintar), selain di daerah Jalan Teuku Cik Ditiro, Jalan Katamso, Bulak Sumur, Pasar Klithikan, kios sebelah barat Kantor Pos, dan, last but not least, di trotoar dekat Kantor Pos.

Yang disebut terakhir ini gaungnya tidak cukup luas. Tidak banyak yang tahu jika di trotoar sebelah tenggara Kantor Pos ada penjual buku bekas. Salah satu penyebabnya adalah jam bukanya yang pendek, pukul 18.00 hingga pukul 20.00 atau 21.00. Penjual di sini pun sedikit, hanya tiga orang. Tapi bagi kalangan tertentu, tempat ini menjadi salah satu tempat favorit mencari atau berburu buku.

Menurut salah seorang penjual, Rustam (37 tahun), harga buku di sini cukup terjangkau, termasuk jika ingin menjualnya kembali harganya tetap terjangkau. Sekian lama membeli buku bekas di sejumlah tempat, Tembi juga menyimpulkan hal serupa. Harga di tempat ini lebih miring dibanding di tempat lain.

Selain harga yang terjangkau, buku-buku yang sudah jarang ditemui kerap ada di sini. Termasuk buku-buku lama yang masih distensil seperti pelajaran sejarah karangan Soebantardjo terbitan tahun 1963 (bagi pembaca yang duduk di SMA pada tahun 1970-an mungkin masih ingat buku ini). Ada pula buku-buku lusuh bersampul coklat dari Zoetmoelder tentang pelajaran Bahasa Kawi, Al-Quran surat At-Thaha dengan terjemahan bahasa Jawa, atau pun pelajaran sastra dan bahasa Indonesia pada tahun 1960-an.

Buku-buku yang paling laris di sini, menurut Rustam dan Santo (38 tahun), adalah buku sastra dan filsafat, kemudian buku sejarah dan politik, lalu buku agama, dan terakhir text book. Tampaknya ada pangsa pembeli tersendiri dari pasar buku bekas. Buku pelajaran sekolah SD hingga SMA di sini tidak laku. Orang mencari buku-buku jenis ini di Shopping Centre. Tapi buku filsafat –yang umumnya cenderung dihindari-- justru paling banyak dicari. Buku jenis ini hanya sebentar dipajang untuk kemudian berpindah tangan ke pembeli.

Ada kejadian menarik mengenai buku filsafat. Suatu ketika Frans Magnis Suseno, penulis buku-buku filsafat, mampir di sini. “Wah ini buku saya,” katanya senang. Romo Magnis lalu memborong buku-buku karangannya tanpa menawar.

Para penjual buku bekas tersebut mulai berjualan di sini sejak tahun 1995. Sebelumnya, Santo, asal Klaten, berdagang di trotoar depan Monumen Serangan Umum Satu Maret, di seberang Kantor Pos pada tahun 1993. Sementara Rustam, asal Yogya, sebelum itu berjualan di Shopping Centre sejak 1991. Setelah melihat Santo berdagang di depan Monumen, pada 1993 ia ikut pindah lokasi. Setelah dilarang berjualan di sana, mereka pindah ke tempat sekarang. Ipung, asal Kota Gede, menyusul. Ia lebih banyak menjual majalah bekas. Bintoro (35 tahun), adik Rustam, ikut membantu kakaknya, terkadang menggelar dagangan sendiri.

Bagaimana mereka mendapatkan buku-buku itu? Setidaknya ada tiga cara. Pertama, orang mendatangi mereka. Biasanya mahasiswa yang sudah lulus, dan meminta mereka membeli semua buku, karya tulis, dan segala macam kertas di kamar kosnya. Yang paling sering dan rutin adalah pengumpul rosok, ibu-ibu yang mengendarai sepeda dengan keranjang bambu di belakangnya. Pengumpul rosok ini membawa buku-buku bekas secara teratur. Kedua, mereka mendatangi pengepul rosok. Di sana buku-buku bekas sudah dikelompokkan tersendiri. Ketiga, mereka mendatangi penghuni rumah yang ingin melepas koleksi bukunya. Biasanya koleksi orang tuanya atau suaminya yang sudah almarhum. Informasi tersebut diperoleh mereka dari ibu-ibu pengumpul rosok. Bisa dikatakan cara ketiga ini seperti mendapat durian runtuh karena banyak buku-buku bagus yang didapat. Rustam, misalnya, pernah mendapatkannya dari keluarga seniman Wisnu Wardhana.

Durian runtuh lainnya jika mereka memperoleh buku kiloan yang langka dan berharga tapi ini jarang terjadi. Santo pernah mendapat 10 buku bahasa Belanda tentang candi. Buku itu dijual dengan harga Rp 400 ribu per buah. Rustam yang ikut membeli dari Santo seharga Rp 300 ribu, bisa melepasnya ke pembeli dengan harga Rp 500 ribu per buah. Namun harga itu jauh di bawah harga buku serupa di Shopping Centre, yang menurut Rustam, terjual seharga Rp 2 juta per buahnya.

Penghasilan per bulan mereka tidak menentu, tapi menurut mereka cukup untuk hidup seadanya dan menyekolahkan anak. Yang repot kalau musim hujan tiba. Karena tempat usaha mereka tanpa atap, mereka pun libur berjualan. Santo menyiasatinya dengan menitipkan sebagian bukunya di Square Store, dekat UGM, dengan sistem konsinyasi 10%. Sedangkan Rustam menjual buku-buku pelajaran SD-SMA ke Shopping Centre. Toh mereka tetap memilih bertahan di sini ketimbang berjualan di Shopping Centre misalnya. Alasannya, di sini mereka tidak dipungut uang sewa, selain bahwa kalangan tertentu sudah mengenal tempat ini dan menjadi pelanggan mereka.

Di tengah mahalnya harga buku, dengan menyediakan buku murah, maka para penjual buku bekas ini ikut membantu pemenuhan kebutuhan membaca. Termasuk di rumahnya yang banyak buku, anak Rustam yang masih duduk di TK ternyata sudah bisa membaca karena dikondisikan atmosfir yang kondusif. Meski penampilan dagangan para penjual buku bekas ini kumuh dan tidak menarik tapi sesungguhnya kontribusi peran mereka cukup penting.

a. barata



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net/


Baca Juga Artikel Lainnya :




Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta