Pameran Foto Dokumentasi "Ngayogyakarta" :
Membaca Ulang Sejarah Yogyakarta

Pameran Foto Dokumentasi "Ngayogyakarta" : Membaca Ulang Sejarah YogyakartaApa yang disebut sebagai heritage tampaknya mulai menjadi semakin menarik dan diminati banyak orang. Tidak terkecuali foto-foto kuno menarik minat banyak orang. Warisan rekaman masa lalu yang hadir dalam wujud foto kuno seolah mampu menghadirkan kembali suasana atau keadaan masa lalu. Hal ini barangkali mampu mengusik romantisme banyak orang tentang masa lalunya sendiri, masa lalu nenek moyangnya, masa lalu keadaan kotanya, masa lalu yang menjadi mata rantai dari kehidupannya sendiri dan pada gilirannya menjadi mata rantai kehidupan generasi berikutnya dan berikutnya lagi.

Bentara Budaya Yogyakarta pun tertarik dengan hal itu. Puluhan reproduksi foto kuno yang dibingkai dalam tema Pameran Foto Dokumentasi ”Ngayogyakarta” dihadirkan dalam pameran yang dimulai tanggal 17-28 Januari 2012. Sebagian besar foto yang dipamerkan diambilkan dari buku album foto yang berjudul ”Souvenir Album Midden Java” yang diterbitkan oleh N.V.vhn. Buning Djocjakarta. Buku album inPameran Foto Dokumentasi "Ngayogyakarta" : Membaca Ulang Sejarah Yogyakartai memuat 19 cetakan foto hitam putih dengan ukuran 23 x 27 Cm. Kemungkinan album foto ini dicetak di Haarlem Belanda pada tahun 1920. Album foto itu sendiri tidaklah memuat foto asli yang ditempelkan, tetapi sudah berupa print atau offset yang dicetak diu atas kertas setebal 120 gram dan dilekatkan pada kertas 120 gram pula sehingga terlihat agak tebal.

Sebenarnya ada beberapa buku lain, terutama buku-buku terbitan zaman penjajahan Belanda yang memuat hal-hal yang pada saat sekarang kita anggap sebagai kuno, antik, dan bernilai heritage. Buku-buku itu di antaranya ”Een Blik in Het Javaansche Volksleven,” karya L. Th. Mayer yang diterbitkan di Leiden tahun 1897, ”Djokja en Solo Beeld van de Vorstenden”, karya M.P. van Bruggen, dkk. yang diterbitkan di Nederland tahun 1998, ”Gegevens over Djokjakarta 1926 A,” dengan pengantar oleh L. F. Dingemans (Resident van Djokjakarta) dan diterbitkan di Yogyakarta., ”Camera-Beelden van Sumatra, Java, & Bali,” karya K.T. Satake yang diterbitkan tahun 1935 di Middlesbrough. Ada lagPameran Foto Dokumentasi "Ngayogyakarta" : Membaca Ulang Sejarah Yogyakartai buku lain yang memuat foto-foto Yogyakarta tempo dulu yakni, ”De Javansche Vorstenlanden in Oude Ansichten,” yang terbit di Amsterdam tahun 1970.

Foto-foto yang termuat di album di atas dan dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta dapat dikategorikan dalam dua bagian. Bagian pertama objek yang disajikan berupa foto bangunan dan lingkungannya. Bagian kedua dapat dikategorikan sebagai foto salon dengan objek utama adal manusia dengan kegiatannya. Kegiatan yang tersebut sebagian besar adalah semacam ”akting” yang telah diatur oleh fotografernya.

Foto-foto yang dipamerkan ini mau tidak mau mampu memberikan bantuan kepada orang untuk mengimajinasikan dan mencoba merekonstruksi masa lalu tentang kehidupan dan bangunan di Yogyakarta. Hal demikian dapat kita simak misalnya dari foto Candi Sewu kini sudah berhasil direkonstruksi, ternyata dulunya nyaris berusa serakan batuan yang bertebaran memenuhi semacam tanah lapang. Kita bisa membayangkan bagaimana kerja berat dan keras para arkeolog dalam melakukan hal ini. Demikian juga misalnya dengan Masjid Agung Keraton Yogyakarta ternyata dulu kolamPameran Foto Dokumentasi "Ngayogyakarta" : Membaca Ulang Sejarah Yogyakartaatau parit yang mengelilinginya menjadi arena bermain anak-anak (mandi-berenang). Hal demikian tidak dapat ditemukan lagi pada zaman sekarang.

Teknologi saat itu tentu berbeda dengan zaman sekarang dimana era digital demikian menguasai manusia. Dulu untuk melakukan aktivitas pemotretan diperlukan persiapan dan perangkat yang cukup ribet. Pemotretan di lapangan akan lebih membuat repot mengingat peralatan fotografi saat itu memang bisa dikatakan tidak praktis. Foto studio (salon) pun juga tidak sepraktis sekarang. Objek (orang) yang difoto di studio selalu diminta untuk tidak bergerak. Bahkan juga tidak boleh berkedip ketika lampu blistz (flash) menyala. Bahkan untuk memberikan kesiapan kepada objek untuk tetap pada posisi yang dianggap ideal sang fotografer zaman itu sering memberikan aba-aba dengan hitungan, satu... dua... tiga.... cepret ! Dengan demikian pula hasil foto di studio menunjukkan aktivitas manusia yang nyaris selalu kaku dan bahkan tegang. Hal demikian sering tampak dari ekspresi sorot mata dan mimik wajah si objek bidik.

Foto masa lalu selalu membuka kenangan. Menarik romantisme masa lalu. Namun daripadanya kita juga bisa banyak belajar tentang masa lalu, tentang sejarah, bahkan tentang kehidupan itu sendiri yang sesungguhnya memang selalu merupakan perkembangan dari masa lalu yang hampir selalu kita lupakan.

a.sartono




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta