Keteladanan Patriotisme Tiga Tokoh
Catatan dari Pementasan “Tripama Kawedhar ” oleh Ki Singgih Nurjono dan Ki Kiswan Dwi Nawaeka, Produksi ke-8 dari Sukro Kasih

Keteladanan Patriotisme Tiga Tokoh

Dalang muda Jogja yang tergabung dalam kelompok atau organisasi Sukra Kasih kembali mementaskan pertunjukan wayang kulit satu kelir dua dalang. Pementasan yang dilakukan di Tembi Rumah Budaya, Jumat, 15 Juni 2012 itu menghadirkan dalang muda potensial, Ki Kiswan Dwi Nawaeka dan Ki Singgih Nurjono. Pementasan kali ini merupakan produksi ke delapan. Ada paun lakon yang dibawakan adalah Tripama Kawedhar.

Pementasan dengan sengaja dikemas baru dan memang mencoba keluar dari pakem gaya Jogja atau Solo. Keluar dari pakem bukan berarti merusakkan pakem. Hal ini dilakukan sebagai bentuk kreativitas (baru) yang mencoba memberikan sentuhan baru pada pementasan wayang kulit.

Pementasan langsung dimulai dengan pengadeganan yang langsung masuk kepada inti persoalan. Adegan permata menggambarkan tentang perjuangan Raden Sumantri untuk mengabdi kepada Prabu Arjunasasrabahu di Kerajaan Mahespati. Pengabdian Sumantri akan diterima jika ia bisa melamarkan dan memboyong Dewi Citrawati, bunga dari Kerajaan Magada. Sumantri pun melaksanakan tugas itu dan berhasil dengan mengalahkan seribu raja yang juga menghendaki Dewi Citrawati.

Keteladanan Patriotisme Tiga Tokoh

Keberhasilan ini membuat Sumantri lupa diri. Sumantri ingin mencobai kemampuan Prabu Arjunasasrabahu. Keduanya pun berperang. Sumantri mengandalkan senjata pamungkasnya berupa panah Cakra. Prabu Arjunasasrabahu marah atas kesombongan Sumantri dan berubah wujud menjadi raksasa. Sumantri tidak kuasa menandingi Prabu Arjunasasrabahu. Ia menyerah dan dihukum untuk dapat memindahkan Taman Sriwedari dari Kayangan Utarasegara ke Kerajaan Mahespati. Semua itu berhasil dilakukan Sumantri atas bantuan adiknya, Raden Sukasarana (Sukrasana).

Kemunculan Sukasarana di Taman Sriwedari membuat semua penghuni keputren takut, termasuk Dewi Citrawati. Sumantri diminta mengusir/membunuh Sukrasarana yang berwajah raksasa dan bertubuh kerdil. Sukasarana tidak mau pergi. Sukasarana akhirnya tewas karena menikam dirinya sendiri dengan keris yang dibawa Sumantri. Hal demikian membuat ayah Sumantri yang bernama Begawan atau Resi Suwandagni dan mengutuk negara Mahespati akan hancur lebur. Negara ini memang berhasil dilebur Alengka di bawah Prabu Dasamuka. Sumantri sendiri gugur ditangan Dasamuka yang kemasukan ruh Sukrasana yang hendak menjemput kakaknya.

Adegan berikutnya adalah tentang Kumbakarna yang semula menolak permintaan kakaknya untuk membela Alengka dari ancaman kehancuran akibat serbuan bala tentara Ayodya-Pancawati di bawah Prabu Rama. Kumbakarna menolak karena tahu persis bahwa kakaknya berbuat kejahatan. Dasamuka menjelaskan bahwa Kumbakarna sudah mengenyam banyak kenikmatan di Alengka selama hidupnya, jika ia menolak membela negara Alengka itu sama artinya ia tidak tahu diri. Kumbakarna mengalami dilema yang berat. Akhirnya ia berangkat perang dengan tekad tidak membela kejahatan kakaknya, namun membela negaranya yang rusak diserang musuh. Kumbakarna tahu bahwa ia tidak akan menang perang, sehingga ketika ia berangkat perang ia sudah berpamitan untuk mati. Ia pun gugur di meda perang membela negaranya sekalipun negaranya dipimpin oleh seorang pemimpin yang lalim yang tidak lain adalah kakaknya sendiri.

Keteladanan Patriotisme Tiga Tokoh

Hal yang mirip juga dilakukan oleh Prabu Basukarna (Karna/Suryatmaja). Ia bertekad untuk membela bangsa Kurawa yang menguasai Astina. Kurawa lah yang telah memberikan kenikmatan dunia, pangkat, derajat, bahkan wilayah kekuasaan sebagai adipati di Awangga, dan gelar kehormatan pada dirinya. Sementara saudaranya para Pandawa termasuk ibunya, Dewi Kunti telah mengabaikan dirinya. Karna merasa menjadi anak terbuang, kehilangan harkat dan martabatnya. Harkat dan martabatnya dipulihkan oleh Kurawa. Untuk itu ia bertekad membela Kurawa sekalipun Kurawa berada di pihak yang salah dalam persengketaan perebutan Kerajaan Astina. Ia pun menetapkan hati untuk berperang melawan adik-adiknya sendiri sampai titik darah penghabisan. Karna gugur di tangan Arjuna. Ketiga pahlawan tersebut menjadi suri tauladan tentang jiwa patriotisme, tentang bagaimana bela negara.

Kemasan dua kelir dalam pementasan ini mungkin memberikan nuansa baru. Demikian pula pengadeganan yang langsung pada titik-titik pokok inti cerita juga membawa nuansa baru. Iringan gending-gending garapan pun seolah menegaskan bahwa pakeliran yang ditampilkan memang mencirikan kreativitas atau garapan baru. Tampaknya tarik-menarik antara tradisi beroposisi dengan inovasi tengah dan terus digeluti Sukra Kasih untuk menuju pakeliran garapan yang ”jadi”.

Teruslah berkarya dan berkreasi.

Keteladanan Patriotisme Tiga Tokoh

a.sartono




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta