- Beranda
- Acara
- Berita Budaya
- Berita Tembi
- Jaringan Museum
- Karikatur
- Makan Yuk
- Temen
- Tentang Tembi
- Video Tembi
- Kontak Kami
Berita-budaya»Nasib Situs Budhis dan Missing Link Perkembangan Agama Budha Abad 14
06 Feb 2012 07:44:00Ada begitu banyak situs atau candi yang hingga kini belum tersingkap latar belakang kesejarahannya. Baik itu situs yang bersifat Budhis maupun Hindu. Situs Budhis yang populer dan dikenali oleh awam umumnya hanya Candi Borobudur, Mendut, dan Pawon. Mungkin juga Kalasan, Plaosan, dan Sewu. Namun di balik semua yang telah disebutkan ada cukup banyak situs Budhis lain yang tersebar di wilayah DIY maupun Jawa Tengah. Hal demikian mendakan bahwa pada masanya agama Budha cukup berkembang dan bahkan mekar di bumi Nusantara (Jawa). Perkembangannya bahkan berdampingan secara cukup selaras dengan agama lain yakni Hindu. Sekalipun di beberapa rentang masa tentu juga diwarnai pergesekan.
Demikian prolog dari Diskusi Reboan di Pendapa Hijau, LKIS, Jl.. Pura 203, Sorowajan, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta yang dilaksanakan hari Rabu malam, 1 Februari 2012. Diskusi ini menghadirkan satu pembicara, Kris Budiman (pengajar program media dan budaya, novelis, penggerak komunitas Bol Brutu) dengan moderator Hairus Salim (LKIS).
Hingga kini situs Budhis yang ”dihidupi” hanyalah Candi Mendut karena di tempat tersebut terdapat sebuah vihara. Menurut Kris Budiman Candi Mendut memiliki ciri-ciri khas tentang Budhisme di Jawa abad 8, 9, dan 10 yang sangat kompleks sistemnya. Sedangkan Candi Kalasan pada masanya berkorelasi dengan Candi Sari . Candi Kalasan juga merupakan mahakarya candi Budhis pada masanya. Di Candi Kalasan ditemukan releif kepala Kala yang paling indah. Ornamen relief pada Candi Kalasan demikian rumit. Demikian juga dengan ornamen relief Kala di tempat ini yang penggambarannya tampak dikelilingi oleh para pemain musik dengan alat musiknya masing-masing. Pada Candi Kalasan ini bisa dikatakan terjadi barokisasi (perumitan/pencanggihan) pola hias. Apa yang digambarkan pada Candi Kalasan ini menggambarkan kehidupan surgawi.
Sekalipun demikian banyak situs atau candi Budhis yang hal ini menunjukkan (bukti material) bahwa Budha berkembang baik di Nusantara, namun pada kisaran abad ke-14 gaung tentang agama Budha itu bisa dikatakan tidak ada lagi. Baru pada awal abad ke-20 agama Budha di Nusantara mulai muncul kembali. Kemunculan ini diawali dengan mulai berkembangnya lagi studi teosofi di berbagai tempat. Hal yang menjadi persoalan kemudian, ada apa dalam rentang waktu selama kurang lebih 6 abad yang lampau itu sehingga Budha di Nusantara (Jawa) seperti hilang ditelan bumi. Hal yang sama mungkin juga dialami oleh para penganut agama Hindu yang hijrah ke Bali, Tengger, dan sebagainya.
Jawaban akan hal itu masih bersifat dugaan. Remang-remang. Ada dugaan hal tersebut terjadi karena ada bencana alam yang besar. Keruntuhan candi-candi (baik Hindu maupun Budha) sangat dimungkinkan oleh karena faktor alam ini. Akan tetapi pada sisi lain juga tampak mata bahwa ada begitu banyak arca Budha (dan Hindu) yang hilang bagian kepalanya. Terputusnya kepala-kepala arca tersebut sepertinya terjadi karena sebuah kesengajaan (dipenggal). Mungkinhal itu dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab atau semacam pencuri benda purbakala untuk dijual. Mungkin bagian kepala arca merupakan bagian yang paling laku untuk dijual. Sementara untuk mengambil satu arca utuh mungkin dirsakan cukup sulit dan berat. Mungkin juga hal ini dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk menakut-nakuti atau menekan para penganut agama Budha (mungkin juga Hindu).
Barangkali juga alasan keterputusan mata rantai sejarah perjalanan/perkembangan agama Budha pada abad 14 itu tidak sama sekali hilang, namun laten. Ia muncul kembali setelah sikonnya memang memungkinkan untuk itu. Periode abad 14 atau sebelumnya hingga abad 16 dengan munculnya Mataram mungkin memang merupakan periode yang tidak terlalu terang dalam penulisan sejarah. Kejujuran, keberanian, keterbukaan, ketulusan untuk menelusuri jejak remah-remah sejarah masa itu mungkin perlu diupayakan terus-menerus. Bukan untuk komoditas politik dan kekuasaan, namun untuk kebenaran sejarah yang terang. Bukan remang-remang.
a.sartono
Artikel Lainnya :
- Puisi, Tari, Seni lukis RoKancane(31/05)
- Banyaknya Acara Seni Budaya di Yogya(14/07)
- Sing Nyilih Kudu Mbalekake Sing Utang Kudu Nyaur(02/10)
- Apa Kata Dunia?(06/10)
- GEREJA HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN, GEREJA BERWAJAH JAWA(16/09)
- SENDANG SARI MULYO DAN LEGENDA(15/09)
- Pameran Artist In Residence # 6 Rosit Mulyadi Aku dan Sekitarku(02/02)
- Gabul, Ampas Singkong yang Populer di Pundong, Bantul, Jogja(29/02)
- DOLANAN GULA GANTHI-1 (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-58)(19/04)
- NASI GORENG B2 DAN JERUK PANAS(05/09)