Banyaknya Acara Seni Budaya di Yogya
Hampir setengah jam setelah pembukaan pameran bersama senirupa Komunitas Daun Pintu ‘Indah dalam Kebersamaan’ di TembiRumah Budaya (12/7), Nia Artistika dan Fitria Damayanti pamitan, lantas berjalan menuju sepeda motornya. “Permisi pak, mau ke Langgeng,” kata Nia yang masih kuliah di jurusan disain interior ISI Yogyakarta.
Malam itu di Langgeng Art Foundation juga sedang berlangsung pembukaan pameran tunggal senirupa seniman Iran, Leila Pazooki ‘Magical Thought’. Lokasinya di Jalan Suryadiningratan bisa ditempuh Nia dan Fitri sekitar 15 menit dari Tembi.
Kalau mau, dari Langgeng mereka masih bisa pergi ke pembukaan pameran senirupa di Rumah Seni Cemeti, Jl. DI Panjaitan, yang berjarak tempuh sekitar 5 menit dari Langgeng. Malam itu sedang ada pembukaan pameran bersama senirupa ‘Domestic Stuff’, yang antara lain diikuti oleh Samuel Indratma, Melati Suryodarmo, Afrizal Malna, Mie Cornoedus, Setu Legi, Restu Ratnaningtyas, dan Agung Kurniawan.
Kalau “berusus panjang”, dari Cemeti bisa mampir ke Jalan Nagan Lor 25, markas I-AM (Independent Art-space & Management). Jarak tempuhnya cuma sekitar 10 menit. Di sana juga berlangsung pembukaan pameran senirupa. Pameran bertajuk ‘A Breathing Voice of South East Asia’ ini merupakan hasil program residensi Nafa’s yang berlangsung sejak Januari lalu, dan diikuti oleh 4 seniman Malaysia dan 2 seniman Indonesia.
Jadi Kamis malam itu, 12/7, sedikitnya ada 4 pembukaan pameran senirupa. Untungnya sebagaimana lazimnya sebuah pameran, masih ada kesempatan bagi publik yang tak bisa datang pada malam itu. Pameran Nafa’s sampai 22 Juli, di Tembisampai 25 Juli, bahkan di Cemeti sampai 25 Agustus dan di Langgeng sampai 31 Agustus.
Repotnya kalau acara yang berbenturan waktunya adalah senipertunjukan, publik tidak bisa memilih opsi hari berikutnya. Kecuali kalau pertunjukan itu diselenggarakan lebih dari satu hari, namun hal seperti ini jarang. Coba lihat agenda pada hari Jumat, 13 Juli. Di TembiRumah Budaya berlangsung pentas musik etnik Asril Gunawan ‘The Spiritual of Contemplatif’, sedangkan di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri UGM berlangsung pentas tari, pesta emas 50 tahun Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa (YPBSM), yang didirikan empu tari Yogya KRT Sasmintadipura.
Pentas tari YPBSM ini berlanjut pada Sabtu, 14 Juli, dengan karya-karya tari yang berbeda. Pada malam yang sama TembiRumah Budaya menyelenggarakan resital perkusi mallet ‘Experience for Percussion’ oleh Ridhlo Gusti Pradana. Pentas lainnya adalah pagelaran wayang kulit ‘Mbangun Candi Saptoargo’ dengan dalang Ki Seno Nugroho di lapangan Dwi Windu Bantul, yang diselenggarakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI).
Masih tanggal 14 Juli malam, ada pembukaan perhelatan yang cukup besar yakni Jogja Art Fair atau ArtJog di Taman Budaya Yogyakarta, yang berlangsung 15 hari. Tahun ini ArtJog mengambil tema ‘Looking East: A Gaze upon Indonesian Contemporary Art’. Perhelatan besar sebelumnya adalah Festival Kesenian Yogyakartayang juga berlangsung selama 15 hari sejak 20 Juni 2012.
Sementara ini catatan sampai pada hari Minggu 15 Juli dulu. Malamnya ada pembukaan pameran tunggal senirupa PH Andreromes ‘Kelenturan dalam Rotan’ di Tujuh Bintang Artspace. Bersamaan dengan itu adalah pembukaan pameran bersama senirupa Southeast Asia Art Group Exchange (SAGE) di Perahu Art Connection, Tamantirto, Kasihan, Bantul. Pameran ini diikuti 6 artis residen dari Indonesia, Malaysia dan Filipina. Tak jauh dari sini, di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI), Bugisan, dilangsungkan pentas wayang kulit oleh Aneng Kiswantoro dengan lakon ‘Sumpah Pralaya’. Pentas ini merupakan karya tugas akhirnya di Pascasarjana ISI Yogyakartayang menerapkan inovasi wayang kolosal multi dimensi.
Jadwal acara yang berbenturan sudah lumrah di Yogya meskipun hampir setiap hari ada acara senidan budaya. Orang dikondisikan memilih salah satu acara, atau kalau waktu tempuhnya memungkinkan orang bisa mendatangi lebih dari satu acara. Pembukaan pameran masih berpeluang untuk opsi kedua ini. Misalnya, awal Juni lalu Galih Reza sempat bingung memilih apakah menghadiri pembukaan pameran tunggal kawan baiknya dari Solo, Tri Wahyudi, di Bentara Budaya Yogyakarta, atau pameran tunggal Eva Bubla di TembiRumah Budaya. Akhirnya Reza, peserta program residensi di Tembi Rumah Budaya asal Solo ini, hadir di Bentara dulu, lantas datang ke Tembi.
Soal waktu tempuh ini terkadang jadi penting karena jika hadir pada pembukaan pameran bisa memperoleh katalog pameran. Kalau memilih hari kedua atau berikutnya, meski masih bisa menikmati karya-karya yang dipamerkan, namun belum tentu mendapat katalog karena stoknya habis.
Bagi penyelenggara acara sendiri, persoalan pemilihan waktu pelaksanaan kadangkala penting. Hari Leo, koordinator Studio Pertunjukan Sastra yang konsisten menggelar acara sastra setiap bulan, mengatakan kepada Tembibahwa bagi sejumlah penyelenggara acara baca sastrareguler ada kesepakatan untuk tidak memilih waktu yang sama agar penontonnya tidak terpecah. Termasuk acara Sastra Bulan Purnama yang diselenggarakan TembiRumah Budaya secara reguler, oleh penggagas dan koordinatornya, Ons Untoro, tanggal pelaksanaannya pernah digeser agar tidak berbenturan dengan pentas baca sastradi Taman Siswa. Kesepakatan ini sebuah upaya agar penikmat sastradapat menikmati acara-acara sastra ini secara bergilir, bisa menghadiri acara sastra, tanpa harus bingung memilih. Namun ini mungkin pengecualian dari umumnya acara seni budaya yang penentuan jadwalnya berjalan sendiri-sendiri.
Menjelang ramadhan ini makin terasa banyaknya jadwal acara seni budayayang berbenturan. Yang jelas, ini sekaligus mencerminkan aktifnya kehidupan seni budayadi Yogya.
barata
Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net - Rumah Sejarah dan Budaya