Meet Up di Titik Lenyap
Bukan kebetulan kalau pameran senirupa ini berjudul ‘Meet Up’ dan pesertanya adalah Komunitas Titik Lenyap. Keduanya bisa dimaknai sebagai keberagaman dalam kebersamaan. Menurut ketua pameran ini, Nur Hardiansyah, kata meet up yang berarti perjumpaan bisa diartikan sebagai bertemunya batas-batas budaya dan seni. Sedangkan kata ‘titik lenyap’, menurut ketua komunitas ini, Rosanto Bima Pratama, merupakan titik dalam perspektif dimana semua garis akhirnya menyatu.
Lebih jauh Bima menjelaskan kepada Tembi bahwa komunitas ini memberikan ruang berkreasi bagi para anggotanya dengan berbagai ideologi dan aliran masing-masing. Demikian pula pada pameran ini, meskipun sebagian besar pesertanya berasal dari jurusan kriya namun karya-karya yang dipamerkan tidak sebatas kriya.
Dalam pameran ini kita memang bisa menyaksikan media dan bentukan karya yang bermacam-macam. Termasuk mengolah dari bahan dasar tanah liat. Nur Hardiansyah bermain dengan keramik instalasi yang mengisahkan sebuah proses pertumbuhan. Damas Fajar Sangaji juga membuat instalasi dengan memakai tanah kasongan. Asep Maulana Hakim (Asep Lebay) membuat anyaman tanah liat dan menjadikannya keramik.
Media lainnya juga bermacam-macam. Risky Setyawan bermain dengan kawat yang dibentuk menjadi figur-figur dalam pigura-pigura yang disusun simetris. Launa Lutfiyana membuat batik lukis dengan memakai kanji. Damas Fajar Sangaji membuat labu Hallowen dari kulit nabati yang dipantulkan oleh cahaya sehingga membentuk wajah menyeramkan khas Hallowen. Rosanto Bima Pratama membentuk boneka dengan mix media.
Menurut Rain Rosidi, dalam pengantar katalog, melihat beberapa potensi kelompok ini. Pertama adalah usaha untuk menghadirkan karya seni dalam ruang spesifik. Dalam beberapa pameran bersama dengan para mahasiswa ISI Yogyakarta yang lain tahun lalu (In Flux di Jogja Galery, dan pada pameran tunggal I Gede Oka Astawa “Menjawab Kegelisahan”di Tembi Rumah Budaya), mereka menghadirkan karya kolaborasi yang menggunakan ruang pameran sebagai salah satu aspek penting penyajian karya. Karya-karya ‘site spesific’, biasanya menggunakan media seni instalasi. Pada kelompok Titik Lenyap, kerja seni yang menggunakan kemampuan craftmanship menjadi bagian dari kelebihan mereka, disamping keberanian mereka untuk mengeksplorasi ruang seperti pengetahuan mengenai teknik keramik, ornamen, dan sebagainya.
Potensi yang lain, menurut Rain, adalah pada penerapan apa yang dipelajarinya di kampus dalam bentuk penyajian yang berbeda, seperti pada pameran mereka yang bertema “Ornament Syndrome” di Karta Pustaka. Pameran itu menawarkan penyegaran kembali dalam melihat modal visual yang sudah dimiliki secara tradisi dalam masyarakat kita (seperti ornamen), tetapi dalam bentuk yang segar dan penuh kemungkinan.
Potensi yang ketiga, bagi Rain, adalah pada kerja-kerja seni dalam komunitas yang ditawarkan. Mereka menjadi salah satu pewaris kelompok seni yang biasanya tumbuh dalam ruang belajar bersama di lingkungan ISI Yogyakarta. Dinamika kreatif kampus seni seperti ISI Yogyakarta dibangun melalui dinamika kelompok-kelmpok atau komunitas-komunitas mahasiswa. Bisa dilihat dalam sejarah kampus, bagaimana kelompok-kelompok itu memberikan kontribusi pada wacana seni dan perkembangan kreativitas seni pada umumnya. Dari kampus, biasanya mereka berkembang menjadi salah satu kontributor penting perkembangan seni kita. Komunitas menjadi ruang belajar bersama dan sarana untuk berbagi pengetahuan baik dalam persoalan produksi seni secara spesifik, maupun persoalan sosial budaya pada umumnya.
Rain juga melihat gejala lain dari komunitas ini yakni upaya untuk membawa kriya pada wacana seni kontemporer. Masalah ini bisa menjadi bumerang ketika kriya cenderung pada ‘konsep’, atau tema karya, dan mengabaikan aspek teknik dan proses berkarya. Padahal pada aspek teknik dan proses berkarya juga terjadi pembentukan pengetahuan yang khas di dalam media itu sendiri. Pada kelompok ini, tantangannya adalah untuk mempertemukan antara gagasan-gagasan yang hendak mereka sampaikan dengan kekuatan teknik dan visual yang dihadirkan. Peran ‘kenikmatan kerja di studio’, bisa menjadi kekuatan yang berbeda. Potensi itu bisa jadi menjadi kekuatan kelompok ini di masa mendatang. Kesadaran untuk merambah medan seni yang lebih luas, dan diimbangi dengan kesadaran akan potensi yang dimiliki, akan menjadi harapan yang baik bagi masa depan kelompok ini.
Pameran ini menarik karena keterbukaannya, yang ditunjang skill para perupanya yang masih duduk di bangku kuliah. Dari berbagai passion, gagasan, media, aliran dan gaya mereka bertemu di satu titik yang open mind. Sebuah sikap dan atmosfer yang wajib dipuji dan didukung.
Pameran yang berlangsung pada 25-30 April 2012 di Galeri Biasa ini diikuti Nur Hardiansyah, Rosanto Bima Pratama, Apri Susanto, Damas Fajar Sangaji, Launa Lutfiyana, Sheila Sonia, Rifky Kribo, Asep Lebay, Khusnul Momo, Burhanudin Afiko,dan Rizky Setyawan, serta “bintang tamu” Ethel Kings (Estonia) dan Alejandra Sanchez (Ekuado).
barata
Artikel Lainnya :
- Hasil Berburu Batu dari Bol Brutu(19/01)
- 1 April 2011, Figur Wayang - Nilai yang ditinggalkan(01/04)
- Memilih Hari dan Tanggal(22/09)
- MELALUI PAMERAN TUNGAL, OKA MENJAWAB KEGELISAHAN(20/12)
- Dapur dan Alat-alat Memasak Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta(18/01)
- 25 Juni 2010, Pasinaon basa Jawa -(25/06)
- Ada Juga Museum Bahari di Yogyakarta(09/01)
- Sendang Payungan dan Terjadinya Dusun Payungan(20/09)
- SEGELAS SECANG MENGHANGATKAN(14/07)
- Nadya Janitra Bawa Musik Tradisional Keliling Dunia(22/12)