Sendang Payungan dan Terjadinya Dusun Payungan
Keletakan
Sendang Payungan secara administrative terletak di Dusun Payungan, Kalurahan Triharjo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, Propinsi DIY. Lokasi ini dapat dijangkau melalu perempatan Palbapang, Bantul ke arah Srandakan/Brosot. Setelah sampai di depan SD Jigudan pengunjung akan menemukan jalan masuk kampung di sisi barat SD Jigudan. Pengunjung dapat mengikuti jalan masuk kampung tersebut menuju Sendang Payungan. Jarak Sendang Payungan dengan SD Jigudan tersebut kurang lebih satu kilometer.
Kondisi Fisik
Sendang Payungan telah dibangun cukup bagus. Bibir sendang ini telah dibuat atau diberi pengaman berupa dinding tembok. Dinding tembok ini dibuat melingkar sehingga permukaan sendang ini kelihatan relatif bundar. Sendang Payungan juga dilengkapi semacam cungkup atau balai yang digunakan untuk upacara bersih sendang atau merti sendang yang biasanya dilakukan tiga tahun sekali (nyewu dina). Balai tersebut berdenah menyerupai huruf L. Bangunan balai berdenah L ini seperti mengapit sendang di sisi timur-selatan dan utara-baratnya nya. Sementara di sebelah barat sendang terletak bangunan rumah dan warung warga setempat dan di sisi selatan sendang terdapat jalan dusun. Diameter Sendang Payungan sekitar 6 meter. Sedang kedalamannya mencapi 4-5 meter. Sedangkan bangunan balai tersebut pada sisi timur-selatan memiliki ukuran sekitar 6 m x 12 m. Sedangkan bangunan balai di sisi utara-barat sendang berukuran sekitar 6 m x 10 m.
Keberadaan Sendang Payungan tidak bisa dilepaskan dalam keterkaitannya dengan makam abdi penongsong di dusun tersebut. Makam abdi penongsong atau pembawa payung raja tersebut terletak di sisi selatan-timur dari kompleks sendang pada jarak sekitar 100 meter. Makam abdi penongsong ini berada dalam sebuah cungkup dengan ukuran sekitar 2 m x 2,5 m. Nisan dari abdi penongsong ini terbuat dari batu putih dengan ukuran sekitar panjang 115 Cm, lebar 45 Cm, dan tinggi 75 Cm.
Sendang Payungan juga sering dikaitkan dengan sumur tua di dusun tersebut. Sumur tua atau sumur kuno tersebut dikenal sebagai Belik Sumur Sepuh. Sumur Sepuh ini terletak di sisi utara-timur kompleks sendang pada jarak sekitar 400 meter. Sumur Sepuh ini terletak di tengah kebun milik warga setempat. Belik Sumur Sepuh ini juga telah dibangun cukup bagus. Dinding sumur telah diperkuat dengan dinding yang terbuat dari patu putih. Demikian pula bibir sumurnya pun telah diperkuat dengan bangunan berupa dinding tembok. Bangunan bibir sumur ini dibuat bersegi 6. Lantai di kompleks Sumur Sepuh ini juga telah dibangun (diplester) semen. Diameter Belik Sumur Sepuh ini sekitar 1,5 meter dan kedalamannya sekitar 4 meter.
Latar Belakang
Nama Sendang Payungan sebenarnya diambilkan dari nama dusun tempat sendang tersebut berada, yakni Dusun Payungan. Nama Dusun Payungan menurut sumber setempat berasal dari adanya seorang abdi dalem keraton yang di masa lalu bertugas membawakan payung raja. Abdi yang demikian itu sering disebut sebagai abdi penongsong atau abdi pemayung. Berdasarkan kata payung atau profesi sebagai pemayung itulah, maka dusun tempat tinggal abdi pemayung tersebut kemudian dinamakan Dusun Payungan. Hanya saja sampai sekarang tidak pernah diketahui siapa nama sesungguhnya dari abdi pemayung tersebut. Sumber setempat juga menerangkan bahwa abdi pemayung tersebut bertugas membawakan payung kebesaran dari Sultan Hamengku Buwana III (1811-1812). Ia pulalah yang dianggap sebagai cikal bakal atau orang yang membuka wilayah Dusun Payungan menjadi dusun atau kampung di wilayah itu.
Sakiyo Sudiharjono (69) sebagai orang yang dituakan di Dusun Payungan dan sering mengantarkan orang berkunjung ke Sendang Payungan mengatakan bahwa menurut oran-orang tua Sendang Payungan dulunya dibuat oleh Raden Sahid yang kelak bergelar Sunan Kalijaga. Raden Sahid membuat sendang ini karena dulu melihat bahwa wilayah ini dilanda kekeringan. Akan tetapi pada pembuatan sendang yang pertama debit air yang dikeluarkan tidaklah besar sehingga kurang mampu memenuhi kebutuhan penduduk setempat. Raden Sahid kemudian mencari lokasi lain di sisi selatan-barat dan ia kemudian berdoa dan menancapkan tongkatnya ke dalam tanah. Setelah itu ditemukanlah sumber air dengan debit yang lebih besar. Sendang atau sumber air yang dibuat pertama itulah yang sekarang dikenal sebagai Belik Sumur Sepuh. Sedangkan sumber air yang dibuat setelah Belik Sumur Sepuh dengan debit yang lebih besar kemudian terkenal dengan nama Sendang Payungan.
Berdasarkan cerita rakyat setempat Belik Sumur Sepuh konon ditunggui makhluk halus yang bernama Ibu Dewi Sekar Kemuning. Sedangkan Sendang Payungan ditunggui oleh makhluk halus lain bernama Kyai Setyrasetiko dan Nyai Setrasetiko serta Kyai Setro Wijoyo dan Nyai Setro Wijoyo.
Pembersihan Sendang Payungan dan sekitarnya dilakukan setiap 1000 hari sekali (nyewu dina). Hal ini dilakukan pada hari Selasa Kliwon. Selasa Kliwon memiliki jumlah naptu 11 (sebelas) dalam sistem primbon Jawa. Istilah sebelas yang dalam bahasa Jawa disebut sewelas ini dalam upacara tersebut dimaksudkan sebagai memohon kawelasan (belas kasih) dari Tuhan Yang Maha Esa agar seluruh warga diebrikan kesehatan, keselamatan, dan kemakmuran.
Dalam Upacara Bersih Sendang Payungan yang disebut sebagai Nyewu Dina Sendang Payungan ini seluruh warga terutama anan-anak dan remaja juga saling menyiramkan air ke tubuh orang lain. Dalam tradisi ini setiap orang yang terkena siraman air tidak boleh atau dipantangkan marah. Mereka semua yang terlibat di dalamnya diharapkan untuk saling bekerja bersama dan bergembira. Hal ini juga menjadi lambang dari belas kasih atau kawelasan tersebut.
Ikan-ikan di dalam Sendang Payungan menurut tradisi setempat juga tidak boleh diambil sembarangan. Ikan hanya boleh diambil pada saat nyewu dina. Cara mengambilnya pun tidak boleh dengan merogoh sarang atau liang-liang tempat persembunyian ikan.
Dalam tradisi Upacara Nyewu Sendang juga akan disajikan sajen berupa Pisang Sanggan. Tumpeng Robyong, Sekul Suci (Nasi Gurih), Ulam Sari (Ingkung Ayam), Aneka Macam Jenang, Nasi Kebuli, Golong Empat Rakitan Gangsal (Golong 4 macam plus 1 macam). Golong Empat Macam Satu Rakitan menggambarkan empat kiblat (arah mata angin) dan satu pancer (pusat/tengah).
Ada pula Tumpeng Jene (Tumpeng Kuning) yang bermakna simbolis bahwa warga memohonkan pikiran dan hati yang terang. Selain itu Tumpeng Jene juga mengandung maksud agar warga diberi kegembiraan. Selain itu ada pula sajian berupa Jajan Pasar yang terdiri atas aneka macam dan rasa buah. Ada buah berasa manis, asam, tawar, sepet, dan sebagainya. Hal demikian dimaksudkan bahwa pergaulan di dunia ini akan melibatkan banyak orang dengan berbagai watak, tindakan, dan tabiat. Semuanya itu seperti sekian banyaknya macam buah dengan segala rasanya. Itu artinya sama dengan bahwa pergaulan di masyarakat akan bersinggungan dengan segala macam sifat manusia. Ada yang manis mengenakkan. Ada yang asam membuat senewen. Ada yang tawar dan tidak memberikan inspirasi dan semangat, dan sebagainya. Untuk itulah orang dituntut untuk selalu waspada dan bijak dalam menentukan langkah hidupnya.
a.sartono
Artikel Lainnya :
- PAKAIAN PERANG ALA JAWA ABAD 18(02/03)
- Kesenian (Di) Jalanan(11/09)
- 23 Oktober 2010, Jaringan Museum - SENAM BARAHMUS DAN FESTIVAL MUSEUM 2010(23/10)
- PUNAHKAH MEMEDI SAWAH(13/07)
- MBAH BREGAS DAN PENINGGALANNYA(22/12)
- BATU AKIK DI YOGYAKARTA(01/01)
- Dewi Durgandini(21/09)
- Catatan Hari untuk Minggu Depan(29/03)
- Kampung-kampung Ramadhan di Jogja(25/07)
- 28 April 2010, Perpustakaan(28/04)