Kesenian (Di) Jalanan

Kesenian (Di) Jalanan

Melewati jalan-jalan di Yogya, pada beberapa titik jalan, terutama di kawasan ring road utara dan selatan, atau juga di beberapa warung lesehan yang ada di wilayah utara, seringkali kita menemukan, seseorang, atau beberapa orang, atau setidaknya satu kelompok, termasuk penggamelnya melakukan ‘pentas’ di tengah jalan, saat lampu merah menyala. Pertunjukkan itu hanya berdurasi beberapa detik, namun akan selalu diulangi pada detik berikutnya. Orang menyebutnya sebagai pengamen.

Kita tahu, Yogya tidak pernah sepi dari acara kesenian. Ruang pertunjukanpun tidak hanya menggunakan ruang tertutup, melainkan bisa menggunakan ruang terbuka. Yang lebih hebat lagi, mengadakan pentas di tengah sungai, di tengah jalan ataupun di trotoar. Ada sementara seniman yang memang sengaja memilih ruang terbuka seperti itu untuk mementaskan karya seni, bisa berupa tari, performace art, musik dan lainnya. Ada yang mengambil istilah ngamen, untuk melakukan pentas di tengah jalan, tetapi lebih untuk mengenalkan karya seninya bukan untuk kepentingan mencari uang receh.

Tetapi, para penari yang seringkali, bahkan bisa dikatakan setiap hari secara berturut-turut, melakukan ‘pentas’ di tengah jalan pada saat lampu merah menyala, yang utama bukan untuk ‘mengenalkan’ karya seni, meski sekaligus hal itu akan bisa dikenali, melainkan lebih untuk mencari uang receh. Sebab sebelum lampu merah berganti lampu hijau, penari tersebut berhenti dan meminta uang pada orang yang sedang menunggu di lampu merah, di atas kendaraan roda dua maupun mobil. Tentu, ada yang memberi dan ada yang tidak memberi. Kepada yang tidak memberi, pengamen tersebut tetap sopan.

Kesenian (Di) Jalanan

Para penari, sebut saja sebagai kesenian jalanan, pada saat lampu belum merah, mereka pada duduk di tepi jalan, tak jauh dari lampu merah. Namun, begitu lampu merah menyala, gamelan ala kadarnya mulai ditabuh dan seorang penari maju di tengah jalan, persis digaris penyebrangan, sambil seolah menyapa dengan cara membungkuk, penari itu mulai ‘pentas’ dan tariannya khas, selalu sama dan diulang-ulang. Irama musiknya juga khas, sama dan monotoni. Orang menyebutnya sebagai jathilan, tetapi berbeda dengan jathilan yang bisa ‘trance’. Kesenian jathilan ini ‘murni’ pentas ditengah jalan dan untuk mencari uang.

Di Yogya, kita bisa menemukan produk kesenian yang di jalanan. Artinya, produk karya seni itu dipajang di tepi jalan, di trotoar misalnya. Atau juga, kita bisa melihat pertunjukan kesenian yang ruang pertunjukannya ada ditepi jalan, sehingga dengan duduk di atas sepeda motor sambil menunggu lampu merah orang bisa melihat pertunjukan itu, misalnya di kawasan Malioboro kita sering menyaksikan pertunjukan kesenian yang mengambil lokasi di plasa Monumen 1 Maret. Atau, pertunjukan sastra dalam bentuk pembacaan puisi dan pentas musik yang dikemas dengan tajuk ‘Malam Malioboro’ yang mengambil tempat di trotoar jalan Malioboro.

Kesenian jalanan dan kesenian di jalanan, di Yogya saling berbaur, yang masing-masing memiliki perbedaan kepentingan sekaligus memiliki persamaan pada ruang ekspresi. Pada kesenian jalanan lebih untuk kepentingan ngamen, artinya mencari uang receh. Pada yang kedua, kesenian di jalanan, sengaja memilih ruang terbuka untuk ‘mementaskan’ karya seni agar langsung berinterkasi dengan publik. Dari segi kualitas keduannya berbeda. Namun keduanya sama-sama ‘menghibur’ masyarakat.

Rasanya, masyarakat Yogya dalam keseharian tidak jauh dari kesenian. Selalu saja ada ‘menu kesenian’ disuguhkan kepada masyarakat dalam bentuk yang berbeda-beda. Satu hal yang bisa kita lihat: bahwa kesenian sudah tidak alergi dengan ruang terbuka sebagai arena pentas.

Kesenian (Di) Jalanan

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta