Tembi

Berita-budaya»LARANGAN DALAM BAHASA JAWA DI JOGJA

07 Sep 2011 07:13:00

Jika kita keluar masuk perkampungan atau perkotaan di Jogja, maka akan dengan mudah kita temukan berbagai macam iklan yang dipasang pada hampir semua ruang yang kosong atau dianggap kosong. Kecuali itu di banyak tempat di Jogja dapat ditemukan dengan mudah berbagai papan pengumuman atau peringatan. Entah itu peringatan yang isinya melarang pemulung masuk kampong, jam bertamu hanya sampai jam sekian, dilarang ngebut, jalan pelan-pelan, dilarang kencing sembarangan, dilarang buang sampah sembarangan, ngamen gratis, dan sebagainya.

Hampir semua tulisan entah itu iklan, pengumuman, larangan, peringatan, dan sebagainya dituliskan dalam bahasa Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Indonesia sudah demikian melekat di hati warga Jogja (Indonesia). Artinya, bahasa Indonesia telah menjadi bahasa utama, khususnya bahasa dalam ragam tulis. Sekalipun bahasa tersebut hidup di tengah-tengah masyarakat Jogja yang notabene mayoritasnya terdiri dari etnis Jawa.

Bahkan dalam keseharian etnis Jawa di Jogja pun sesungguhnya telah banyak menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Hal demikian bisa diamati pada rumah tangga-rumah tangga muda. Hampir tidak ditemukan lagi sebutan bapa-biyung atau simbok-bapak. Bahkan anak-anak dari etnis Jawa sudah sangat terbiasa memanggil ayahnya dengan sebutan “papa” atau “papi”. Demikian pun untuk menyebut atau memanggil ibunya “mama” atau “mami”. Ada pula yang menyebutnya dengan sebutan “ayah-bunda”.

Sungguh pun demikian, ada beberapa papan peringatan di kampung atau dusun-dusun yang menggunakan bahasa Jawa, bahkan bahasa Jawa krama. Ada papan peringatan di sebuah dusun yang bila dibaca berbunyi ALON WAE RASAH BANTER. Itu artinya pelan saja tidak usah kencang-kencang. Ada pula yang bila dibaca berbunyi NYUWUN SEWU LE MBUCAL SAMPAH AMPUN TEN LINGKUNGAN JEMBATAN RIKI NGGIH MATUR NUWUN (mohon maaf membuangnya sampah jangan di lingkungan jembatan sini ya terima kasih).

Sebenarnya apa yang maksud di balik tulisan bernada peringatan atau larangan berbahasa Jawa ini, tdak ada yang dapat memperkirakan. Mungkin ini sebagai semacam bentuk kejengkelan dari orang yang membuat atau memasang tulisan. Jengkel karena begitu banyaknya pelanggaran dilakukan orang. Baik pelanggaran dalam membuang sampah maupun menjalankan kendaraannya dengan semena-mena.

Orang Jawa dalam tingkatan tertentu justru akan semakin halus dalam berucap kata (krama/krama inggil) jika ia memendam kemarahan atau kejengkelannya. Hal demikian terjadi karena pada umumnya orang Jawa tidak terbiasa menunjukkan kejengkelan atau kemarahannya secara terbuka, langsung, dan terus terang. Satire atau metafora banyak digunakan dalam masyarakat Jawa untuk menunjukkan protes, kemarahan, kejengkelan, atau juga kebencian mereka pada sesuatu hal. Semakin marah orang Jawa, dia bisa akan semakin halus dalam bertutur kata. Tapi jangan kaget, tutur kata yang halus ini bisa menjadi setajam sembilu, palsu, tidak murni, sangat berbisa, dan sangat bisa melukai hati. Mungkinkah hal demikian dapat dianggap sebagai keadiluhungan, entahlah.

Berikut ini Tembi menyajikan hasil bidikannya mengenai papan-papan peringatan berbahasa Jawa, bahkan Jawa karma. Silakan menikmati.

a.sartono

LARANGAN DALAM BAHASA JAWA DI JOGJA LARANGAN DALAM BAHASA JAWA DI JOGJA LARANGAN DALAM BAHASA JAWA DI JOGJA LARANGAN DALAM BAHASA JAWA DI JOGJA




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta