Tembi

Bale-dokumentasi-resensi-buku»Ungkapan dan Hukum Karma dalam Bharata Yuda

10 Jun 2009 12:32:00

Perpustakaan

Judul : Ungkapan dan Hukum Karma dalam Bharata Yuda
Penulis : Heroesoekarto
Penerbit : GRIP, 1961, Surabaja
Bahasa : Indonesia
Jumlah halaman : 64
Ringkasan isi :

Kata Bharata Yuda berasal dari kata Bharata dan Yuda. Bharata adalah nama seorang raja yang pernah bertahta di negara Astinapura, yuda berarti perang. Jadi Bharata yuda artinya perang besar yang terjadi antar keluarga Bharata (antar keturunan raja Bharata), yaitu Kurawa di satu pihak dengan Pandawa di pihak yang lain. Kurawa (artinya seratus) adalah anak Dewi Gendari dengan Destarastra, sedang Pandawa (lima orang) adalah anak Pandu (adik Destarastra) dengan Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Karena Destarastra buta yang berhak menjadi raja Astinapura adalah Pandu. Sayangnya Pandu meninggal ketika anak-anaknya masih kecil, sehingga Destarastra diangkat menjadi raja untuk sementara waktu sambil menunggu anak Pandu cukup dewasa untuk menjadi raja. Tetapi karena kelicikan Arya Suman (adik Dewi Gendari) akhirnya yang menjadi raja adalah Duryudana (anak sulung Dewi Gendari), sedang Pandawa terusir dari istana. Dewi Gendari sendiri yang merasa kecewa karena sesungguhnya ingin diperistri Pandu, mengeluarkan sumpah bahwa anak keturunannya akan bermusuhan dengan anak keturunan Pandu.

Perang ini merupakan jalan terakhir bagi Pandawa untuk meminta haknya atas tahta Astinapura yang dikuasai Kurawa, setelah berbagai jalan damai yang ditempuhnya gagal. Bharata yuda sesungguhnya merupakan cerita kebaikan dan kebenaran (yang dilambangkan dengan Pandawa) melawan kejahatan (yang dilambangkan dengan Kurawa). Pada akhirnya kebaikan dan kebenaranlah yang memperoleh kemenangan. Cerita Bharata yuda mengandung banyak pelajaran yang bisa kita petik, misal setiap perbuatan pasti ada akibatnya (hukum karma), perbuatan baik akan menuai kebaikan, demikian pula sebaliknya perbuatan jelek akan menuai kejelekan, cerita tentang kepahlawanan dan lain-lain.

Dalam lakon “Bisma Gugur”, Bisma senapati Astina yang sakti akhirnya gugur setelah terkena panah Dewi Srikandi. Srikandi pada mulanya “takut’ melawan Bisma, tetapi setelah sukma Dewi Amba memasuki raganya ia berubah menjadi pemberani. Adpun Dewi Amba, dulunya adalah putri boyongan setelah Bisma memenangkan sayembara. Dewi Amba inginnya diperistri Bisma, tetapi Bisma menolak karena sudah bersumpah untuk hidup wadat (tidak menikah). Hal ini tidak menjadikan keinginan Dewi Amba menyurut sehingga Bisma terpaksa menakut-nakuti dengan senjata. Tanpa sengaja Dewi Amba terbunuh oleh senjata tersebut. Sebelum meninggal ia berpesan bahwa Bisma akan terbunuh dalam perang besar oleh seorang prajurit putri dari negeri Cempalaradya.

Suluhan atau Gatotkaca gugur, Gatotkaca putra Werkudara (Pandawa nomor dua) meninggal setelah senjata Kunta milik Adipati Karna yang “dipegang” arwah Kalabendana memasuki pusar Gatotkaca. Adapun Kalabendana adalah paman Gatotkaca sendiri, yang terpaksa dibunuh karena membuka rahasia perkawinan Angkawijaya (adik sepupunya, putra Arjuna) dengan Dewi Utari kepada Dewi Siti Sendari istri pertama Angkawijaya. Sukma Kalabendana meninggalkan pesan bahwa ia hanya akan masuk surga bersama keponakannya, dan hal itu akan terlaksana dalam sebuah perang besar.

Digambarkan pula bahwa dalam permulaan perang Bharata tampak pihak Pandawa kalah, beberapa senapatinya gugur. Untuk mengatasi hal tersebut Kresna penasehat Pandawa mengusulkan adanya “tawur” (korban manusia untuk sesaji). Pada mulanya Pandawa bingung siapa yang bersedia suka rela jadi “tawur”. Masih dalam kebingungan datanglah Resi Ijrapa dan anaknya Rawan. Keduanya rela menjadi tawur sebagai balas budi kebaikan Pandawa (Werkudara) yang dulunya telah membebaskan dirinya dan semua rakyat dari kekejaman rajanya (Raja Baka) yang suka makan manusia.

Untuk memperoleh kemenangpun Kurawa mengadakan “tawur”. Yang dijadikan persembahan adalah Kyai Sagotra. Sesungguhnya Kyai Sagotra ingin menjadi tawur bagi Pandawa, karena atas jasa Arjuna (Pandawa nomor tiga) istrinya yang selama ini tidak bersedia melayani menjadi bersedia melayani. Sayangnya dalam perjalanan ia tersesat dan ditangkap Kurawa serta dipaksa untuk menjadi “tawur”. Karena ketidakrelaannya Kyai Sagotra mengucapkan sumpah bahwa Kurawa akan menuai kekalahan. Hal ini memang terbukti di akhir perang Kurawa kalah, dan tahta Astinapura kembali pada yang berhak. Tetapi yang jelas sehebat dan sekuat apapun kejahatan pasti kalah oleh kebaikan.

Teks : Kusalamani



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net/


Baca Juga Artikel Lainnya :




Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta