Tembi

Bale-dokumentasi-resensi-buku»Manusia Ulang Alik. Biografi Umar Kayam

01 Apr 2009 12:16:00

Perpustakaan

Judul : Manusia Ulang-Alik. Biografi Umar Kayam
Penulis : Ahmad Nashih Luthfi
Penerbit : Sains dan Eja Publisher, 2007, Yogyakarta
Bahasa : Indonesia
Ringkasan isi :

Umar Kayam adalah “manusia” dengan berbagai wajah akademisi, birokrat, seniman, budayawan dan pecinta makanan. Berbagai kelompok suku, agama, status sosial, dan sebagainya menjadi perhatiannya baik dalam kedudukannya sebagai ilmuwan maupun seniman. Ia adalah seorang multikulturalis yang inklusif, menghargai perbedaan dan keragaman yang ada di nusantara. Meskipun demikian dengan caranya yang khas ia melakukan kritik tajam terhadap budaya feodal yang menutup akses pada keterlibatan wong cilik, dan hanya semakin mengekalkan dominasi para priyayi. Dengan tegas ia menolak ketika pendidikan diarahkan hanya untuk menjadi pegawai, menjadi priyayi khususnya.

Umar Kayam lahir di Ngawi 30 April 1932. Ibunya bernama Koentjiati, ayahnya Sastrosoekotjo. Dari bayi sampai umur kurang lebih 2 tahun bertempat tinggal di Wonogiri, tempat di mana ayahnya ditugaskan sebagai guru bantu (bertugas mengenalkan huruf-huruf latin, membimbing membaca dan menulis). Kemudian pindah ke Surakarta. Pendidikan Umar Kayam dimulai di voorklas (TK), dilanjutkan H.I.S (Hollands Inlands School – sekolah dasar untuk anak-anak priyayi guna menyiapkan priyayi-priyayi gubernemen Pemerintahan Kolonial Belanda) “Siswo” Mangkunegaran sampai dengan lulus. Berbeda dengan HIS di tempat lain HIS Siswo Mangkunegaran mempunyai karakter kejawaan dengan mewajibkan semua anak didiknya berbicara dalam bahasa Jawa krama. Tetapi di dalam kelas mereka diajari bahasa Belanda dengan penuh disiplin. Selepas HIS, Umar Kayam melanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Di lingkungan keluarga, pendidikan yang ditanamkan kedua orangtuanya sangat kuat. Umar Kayam dan adik-adiknya sejak kecil sudah dibiasakan untuk senang membaca. Sampai dengan usia 13 tahun Umar Kayam tinggal di Surakarta dalam lingkungan Mangkunegaran dengan sekali-kali berlibur ke Ngawi (tempat kakek dan neneknya). Lingkungan-lingkungan inilah yang membangun kepribadiannya.

Pada masa clash I, Sastrosoekotjo pindah ke Yogyakarta. Di kota inilah Umar Kayam menyelesaikan SMA-nya. Tahun 1951 Umar Kayam meneruskan pendidikannya ke Universitas Gadjah Mada jurusan Paedagogik Fakultas SPF (Sastra Paedagogik dan Filsafat).

Di SPF, Umar Kayam aktif di bidang kesenian dan kebudayaan. Pribadinya yang ramah, terbuka membuat ia mudah bergaul sehingga mempunyai banyak teman. Ia sering mengadakan pentas teater bersama Rendra, Subagyo Sastrowardoyo, Widyati Saebani dan lain-lain. Tempat yang biasa untuk pentas adalah Gedung Negara, Gedung Batik PPBI, Gedung Chung Hua Tsung Hui (CHTH), Gedung BTN, dan Sriwedari.

Umar Kayam meneruskan pendidikannya untuk memperoleh gelar doktor di Cornell University dalam bidang sosiologi dan lulus tahun 1965. Setibanya di Indonesia ia menjumpai kondisi negara yang morat-marit di segala bidang. Antara ketidak- mengertian dengan apa yang terjadi, kegairahan seorang muda, semangat menyambut tatanan baru, ia menerima jabatan sebagi Dirjen RTF (Radio, Televisi dan Film) Departemen Penerangan RI (1966 – 1969). Pengangkatan ini melalui Keputusan Menteri Penerangan No. 10/SK/M/1966, tertanggal 21 Desember 1966. Umar Kayam yang lebih dikenal dalam bidang kesusastraan dan keilmuan dipilih karena sikapnya yang netral, selain itu juga karena pergaulannya yang luas di berbagai kalangan, baik yang duduk di pemerintahan maupun sastrawan seniman dan kalangan profesional lain. Ketika terpilih menjadi Dirjen RTF Umar Kayam mengeluarkan kebijakan yang disahkan oleh Menteri Penerangan B.M. Diah melalui SK.No. 71/SK/M/1967, untuk menstimulasi importir (baik film maupun barang dagang lain misal tekstil dan mesin) agar mendatangkan film luar negeri sebanyak-banyaknya, disertai kewajiban membeli saham yang akan digunakan untuk mendanai produksi film dalam negeri.

Selain menjadi Dirjen RTF, beberapa jabatan yang pernah diemban Umar Kayam antara lain ketua Dewan Kesenian Jakarta merangkap Rektor Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (1969-1972), Direktur Pusat Latihan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Hasanuddin (1975-1976), Direktur Pusat Penelitian dan Studi Kebudayaan UGM (1977-1997), dosen Fakultas Sastra UGM (1977-1997), Dosen STF Driyarkara (1972), dosen luar biasa Fakultas Ilmu-ilmu Sosial UI (1970-1974) dan Fakultas Sastra UI (1974-1975), anggota Board of Trustees of International Institute of Communications, London (sejak 1969).

Ada tiga hal peranan penting Umar Kayam yang dibahas dalam buku ini yaitu dalam dunia kesastraan, kesenian dan aktifitas keilmuan (kebudayaan) secara umum.

Sebagai seorang sastrawan, Umar Kayam tidak terlalu produktif. Ia hanya menghasilkan beberapa cerpen, dua buah cerpen panjang (novelette), dan dua buah novel. Kekhasan karya Umar Kayam terletak pada cerita-ceritanya yang tidak pernah hanya memiliki satu arti. Ia memberi kebebasan penuh pada pembaca untuk menyimpulkan dan menafsirkan cerita. Ia sekedar memberi gambaran suasana tertentu dan melalui suasana yang terbias dari batin tokoh-tokohnya. Sejumlah tema bisa muncul, pembaca dapat menemukan tema cerita dari banyak segi. Dalam novelnya ia mampu memanfaatkan rekaman realitas individu (data-data pribadi) yang tidak ditangkap oleh sejarah dan sosiologi yang hanya mampu merekonstruksi data-data kasat mata. Umar Kayam telah menyumbangkan pendekatan realisme kultural. Seorang realis dengan kemampuan mengolah data-data cultural dan etnisitas secaran kreatif.

Karya-karya Umar Kayam dapat dikategorikan dalam lima tahap. Pertama karya-karya awal berupa cerpen yang kemudian diterbitkan dalam kumpulan cerpen berjudul Seribu Kunang-kunang di Manhattan (1961). Kedua, dua cerpen panjang (Sri Sumarah dan Bawuk (1975), Kimono Biru untuk Sang Istri (1973)). Ketiga, buku cerita anak, Totok dan Toni (1975). Keempat, novel Para Priyayi (1992). Kelima, cerpen-cerpen yang dipublikasikan Yayasan untuk Indonesia dengan judul Parta Krama (1997). Novel terakhir berjudul Jalan Menikung: Para Priyayi 2.

Dalam bidang kesenian, Umar Kayam mengembangkan tidak hanya sebatas pada kesenian adiluhung atau serius yang saat itu identik dengan dunia kampus, tetapi juga kesenian populer dan rakyat. Foto-foto pertunjukkan di TIM semasa kepemimpinannya mendokumentasikan nama Rendra dalam Scene from Oedipus Rex, Sardono W. Kusumo dalam Sangita Pantjasona, Rhoma Irama si raja dangdut, dan lain-lain. Hal ini tentu saja menimbulkan pro dan kontra. Keterpihakan pada kesenian rakyat juga ditunjukkan ketika menjabat sebagai Direktur Pusat Penelitian dan Studi Kebudayaan UGM Yogyakarta (1977-1997). Kegiatan yang terkenal adalah Pasar Seni Rakyat yang rencananya diagendakan setiap tahun. Dalam Pasar Seni ini digelar berbagai kesenian rakyat (misal srunthul dari Sleman, reog dari Bantul), hasil kerajinan (gerabah, anyaman bambu dan lain-lain), makanan tradisional.

Dalam seni peran, Umar Kayam pernah menjadi aktor dalam film “Karmila”, “Kugapai Cintamu”, “Pengkhianatan G 30 S/PKI”, “Jakarta 66”. Juga penulis scenario untuk film “Yang Muda Yang Bercinta”, “Jago”, dan “Frustasi Puncak Gunung”. Pernah juga menjadi Ketua Dewan Juri Festival Film Indonesia (1984).

Perhatian Umar Kayam di bidang kebudayaan merupakan benang merah pemikiran yang terefleksikan dalam berbagai karyanya, yakni transformasi cultural dari budaya agraris menuju modern. Ilmu dan kebudayaan Indonesia menurutnya, haruslah berangkat dari kotak-kotak kebudayaan dan bukan menuju kotak-kotak kebudayaan. Menghargai fenomena pluralisme dalam masyarakat Indonesia, untuk tidak menempatkannya sebagai kendala namun menjadi modal. Umar Kayam terkenal dengan teorinya tentang manusia Indonesia sebagai “pejalan budaya” (cultural commuter), yaitu sebagai orang yang bergerak secara ulang-alik dari tradisionalitas ke modernitas, dari desa menuju kota. Desa dengan penyangga komunitasnya di satu sisi melahirkan berbagai ekspresi kebudayaannya, demikian pula kota dengan penyangga masyarakatnya.

Sebagai ilmuwan yang seniman atau sebaliknya, Umar Kayam berperan baik sebagai fasilitator (ketika ia menjadi pejabat), memberi sumbangan pemikiran (terutama dengan karya tulis dan penelitiannya), sekaligus dalam bentuk keterlibatan langsung sebagai pelaku seni.

Teks : Kusalamani




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta