Tembi

Bale-dokumentasi-resensi-buku» Elo, Elo Lha Endi Buktine Seabad Kelahiran Empu Karawitan Ki Tjokrowasito

15 Apr 2009 12:19:00

Perpustakaan

Judul : Elo, Elo! Lha Endi Buktine? Seabad Kelahiran Empu Karawitan Ki Tjokrowasito
Penulis : Djohan Salim, dkk
Penerbit : Maskarja, 2005, Yogyakarta
Bahasa : Indonesia
Jumlah halaman : 124
Ringkasan isi :

Karawitan adalah sebuah istilah atau kata yang cukup populer di kalangan masyarakat Jawa. Pada masa sekarang ini seni karawitan telah berkembang tidak hanya di wilayah Nusantara tetapi juga di luar Nusantara. Beberapa tokoh pemerhati dan pelopor pengembangan karawitan antara lain Prof. Mantle Hood (Amerika Serikat), Dr. Jaap Kunst (Belanda). Di Indonesia lahir tokoh-tokoh seperti Ki Wasitodipuro/ Tjokrowasito, Rahayu Supanggah, Narto Sabdo, dan lain-lain. Kehadiran tokoh-tokoh tersebut telah membawa dinamika tersendiri bagi seni karawitan. Karawitan sendiri sebagai produk budaya harus dilestarikan dan dikembangkan agar dapat dimanfaatkan.

Buku biografi Ki Tjokrowasito ini diterbitkan bersamaan dengan momen ulang tahunnya yang ke 100, sekaligus sebagai penghormatan terhadap dirinya. Tjokrowasito lahir di Gunungketur, 17 Maret 1909 dengan nama Wasi Jolodoro. Nama Tjokrowasito didapatkan setelah tiga tahun magang sebagai calon abdi dalem Langen Praja di Puro Pakualaman (1925–1927) dan pada tahun 1932 diangkat menjadi abdi dalem dengan nama Raden Bekel Tjokrowasito.

Keinginan dan kesediannya menyebarkan gamelan untuk rakyat semakin terpenuhi ketika dia terlibat dalam siaran radio untuk pertama kalinya tahun 1934. Waktu itu ia menyiarkan gending-gending dari dalam Puro Pakualaman melalui radio Belanda MAVRO. Keterlibatannya ini dibantu kelompok karawitan Mardi Wirama.

Selama duapuluh tahun berikutnya (1935-1959) Tjokrowasito hidup dalam jaman yang sarat pergolakan politik, dari pendudukan Jepang sampai dengan kemrdekaan, dari masa revolusi sampai dengan krisis konstitusi dan dari perebutan Irian Barat sampai pengganyangan Malaysia. Tjokrowasito tidak menghindar dari perubahan-perubahan di atas. Perubahan-perubahan tersebut justru menjadi tanah subur tempat merintis kesenimannya dan secara khusus menjadi periode pembaharuan karawitan.

Ketika Jepang masuk tahun 1942, Tjokrowasito direkrut untuk memperkuat siaran karawitan pada radio Hosyokyoku. Tugas di radio ini terus berlanjut sampai dengan kemerdekaan saat ia ditugaskan untuk merekrut para pangrawit dan melatihnya untuk kepentingan RRI. Posisinya semakin mantap ketika dia diangkat sebagai Pimpinan Kesenian Jawa di RRI (1951-1976). Salah satu acara ciptaan Tjokrowasito yang terkenal adalah uyon-uyon mana suka. Acara ini menjadikan RRI sebagai salah satu lembaga siaran yang menyediakan hiburan bagi para pendengar. Memang jejak-jejak kesenimanan Tjokrowasito yang paling mengesankan ditemukan lewat profesinya di lembaga penyiaran radio. Melalui radio Tjokowasito menyajikan gending-gending hiburan, gending-gending yang bisa mendukung fungsi radio sebagai informasi pemerintah dan lain-lain.

Jabatan lain yang tidak mungkin dilepasnya adalah sebagai abdi dalem di Puro Pakualaman yang bertugas mengembangkan kesenian Jawa. Tahun 1951 pangkatnya naik menjadi Mantri Langen Praja bergelar Raden Ngabehi Tjokrowasito. Tahun 1964 diangkat sebagai Bupati Anom Langen Praja dengan gelar K.R.T. (Kanjeng Raden Tumenggung) Wasitodipuro.

Pada tahun 1951-1959, Tjokrowasito juga tercatat sebagai pegawai di Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K) pada Jawatan Kebudayaan, Bagian Kesenian. Pada tahun 1951 sebagai pengajar pada Konsevatori Karawitan Solo yang berdiri tahun 1950 di mana Tjokorowasito juga ikut mendirikan. Tahun 1963 ikut mendirikan Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) di Surakarta serta menjadi salah satu pengajar. Tahun 1964 mulai mengajar di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) di Yogyakarta.

Tjokrowasito juga mendirikan “lembaga” sendiri seperti Langen Budaya (1958) dan Lebda Swara (1958), tempat ia menularkan kemampuan agar waranggana bisa membaca notasi angka dan tempat mendidik ketrampilan ‘garap”.

Memasuki usia 50-an (tahun 1960-an) kegiatan kesenian Tjokrowasito banyak dicurahkan untuk menciptakan iringan seni tari. Dalam persiapan sendratari (gabungan antara drama dan seni tari) Tjokrowasito bersama Martopangrawit diberi kepercayaan menciptakan gending-gending untuk iringan Sendratari Ramayana di Candi Prambanan yang sangat terkenal itu. Kreatifitas Tjokrowasito dalam sendratari lebih dikembangkan lagi di Pusat Latihan Tari (PLT) yang didirikan oleh Bagong Kussudiardjo. Dari sini lahir antara lain Sendratari Gadjah Mada (1964), Sendratari Pangeran Diponegoro (1968) dan Sendratari Kelahiran dan Kebangkitan Isa al Masih (1968).

Tjokrowasito dengan alasan-alasan tersendiri juga mempertimbangkan untuk pergi ke luar negeri (Amerika Serikat). Rencana ini terlaksana pada tahun 1969 ketika ia sudah berusia 60 tahun. Selama beberapa waktu di sana ia mengajar seni tari di California Institute af Art. Pada tahun 1976 Tjokrowasito memutuskan tinggal di Amerika bersama keluarganya. Di negara ini kemampuan dan keahlian Tjokrowasito dalam hal kesenian benar-benar tersalurkan dengan statusnya sebagai pendidik. Tjokrowasito tidak hanya mengajarkan notasi-notasi karawitan dan cara memainkannya, tetapi juga mengajarkan rasa budaya Jawa. Ketika kembali ke tanah air setelah berada di sana hampir dua dekade , ia mendapatkan gelar maestro.

Dalam hal berkesenian, dengan memperhatikan hubungan kekuasaan yang ada dalam sebuah negara modern (ditandai dengan kekuasaan negara, pemerintahan dan rakyat) karya-karya Tjokrowasito dapat dibedakan menjadi tiga macam. Pertama gending-gending yang diperuntukkan bagi negara, meminjam istilah Pengeran Puger “persembahan kepada negara”. Misal Jaya Manggala Gita (1952) dan Ketawang Basanta (1958). Masing-masing diciptakan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia. Kedua, gending-gending yang dipakai untuk kepentingan pemerintah yang sedang berkuasa. Ditinjau dari dukungannya kepada pemerintah waktu itu, karya-karya Tjokrowasito bisa dibedakan menjadi dua kategori. Pertama, gending-gending yang mengajak rakyat untuk percaya pada penguasa secara ideologis, misal Nekolim (1964), Ayo Nyang Ganefo dan Orde Baru (1966). Kategori kedua, gending-gending yang mengajak rakyat untuk melakukan program-program yang disiapkan oleh pemerintah. Gending ini berfungsi memberikan informasi dan pengajaran pada massa, misal Cacah Jiwa (1955), USDEK (1961), Lancaran Keluarga Berencana (1968) dan Modernisasi Desa (1970).

Kategori ketiga adalah gending-gending yang dipakai untuk kepentingan rakyat atau gending kerakyatan (suara yang muncul adalah suara rakyat dan untuk rakyat). Gending kerakyatan ini tidak bisa dilepaskan dari eksperimentasi karawitan Tjokrowasito dengan media radio. Melalui radio, Tjokrowasito mentransformasikan karawitan sebagai seni Jawa dan kraton-sentris menjadi seni radio yang bisa didengarkan oleh siapa saja, dan oleh karena itu berbicara tentang pengalaman orang kebanyakan (dari kelas mana saja). Dilihat dari pesan yang disampaikan gending-gending kerakyatan ini berisi kisah sosial (berisi pengalaman rakyat akan perubahan jaman yang sedang terjadi dengan berbagai kisahnya yang lucu, pahit atau pun manis) dan kritik sosial (berfungsi sebagai bahasa rakyat untuk menilai secara kritis apa yang sedang terjadi). Misal lagu Bemo, Montor Cilik, Lancaran Gugur Gunung, Kuwi Apa Kuwi dan Lancaran Aja Ngono. Tjokrowasito menciptakan gending-gending kerakyatan dengan standar keindahannya tersendiri, sebuah standar idenpenden/bebas dengan apa yang selama ini disebut pakem. Karawitan yang terkesan pasif, lamban bisa menjadi musik yang dinamis, dan bisa menyerap idiom-idiom dari musik lain. Meskipun begitu Tjokrowasito tidak mengesampingkan gending-gending klasik yang sudah ada. Gending-gending klasik tetap menjadi sumber inspirasinya.

Di samping tiga kategori tersebut Tjokrowasito juga menciptakan gending untuk kepentingan kerohanian, misal gending Windu Kencana dan Gending Lokananta yang diciptakan untuk ajaran Kawruh Bejo, gendhing Aasdha untuk perayaan Waisak dan Gending Rahayu untuk memperingati 1 Muharram.

Tjokrowasito adalah seniman karawitan yang berpendapat nilai seni karawitan tidak ditentukan oleh daerah atau gaya melainkan oleh kualitas penggarapan, sehingga enak didengar, dirasakan dan dinikmati. Garapan tidak datang secara tiba-tiba, tidak dibawa dari kelahiran (entah Solo atau daerah lain, entah Barat atau Timur), melainkan harus dipelajari dan dilahirkan terus-menerus. Prinsip utama yang digunakan dalam kreasi gending adalah membangun suasana yang nges, mengena, tepat dan harmonis.

Teks : Kusalamani




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta