Mengunjungi Dunia Sepi

Mengunjungi Dunia Sepi

Ada dunia yang sehari-harinya kita lupakan, atau setidaknya luput dari perhatian. Dunia yang kelak menjadi tempat tinggal kita semua. Namun, pada bulan sebelum puasa, yang pada penanggalan Jawa dikenal sebagai bulan Ruwah. Dunia sepi itu dikunjungi, dan kita mengenal apa yang disebut sebagai nyadran.

Pada bulan Ruwah, dunia sepi dikunjungi oleh banyak orang, terutama yang saudaranya sudah tiada. Kirim bunga adalah salah satu bentuk ‘pertemuan’ itu, tentu saja sambil mendo’akan yang sudah meninggal. Di atas pusara, kembang mawar memberi bau harum. Taburan bunga mawar mudah sekali ditemukan di makam-makam.

Tentu saja, bulan Ruwah memberi rejeki pada penjual bunga. Para penjual bunga, di pasar-pasar di Yogya, misalnya di pasar Kranggan, atau juga penjual bunga di jalan Bantul, tak jauh dari gereja Katolik di Pugeran Yogyakarta, telah memiliki pelanggan. Yang hendak kirim bunga sekaligus menengok dunia sepi, biasanya mampir dulu pada penjual bunga, dan bunganya sudah dibungkus dalam ukuran kecil, sedang dan besar. Harganyapun beragam dari Rp 15.000 perbungkus sampai Rp 25.000.

Di pasar Pijenan, Wijirejo, Pandak, Bantul, misalnya, dan juga di pasar-pasar lainnya, penjual bunga tidak masuk di dalam pasar, melainkan berada di luar pasar sehingga orang mudah sekali mengaksesnya. Kita tahu, para penjual bunga ini hanya berjualan khusus pada bulan Ruwah, bulan dimana orang berkunjung ke makam.

Mengunjungi Dunia Sepi

Makam dimana saja, setidaknya di Yogya, atau juga ditempat-tempat lain, pada bulan Ruwah tidak sepi seperti biasanya. Apalagi pada hari minggu, keluarga yang hendak kirim bunga pada yang sudah tiada, bisa meluangkan waktu untuk kirim bunga. Di makan, kita tahu, tidak bertemu pada orang yang dulu kita kenal, tetapi kita bisa membaca namanya yang tertulis di batu nisan. Dan barangkali, kita bisa membuka ingatan mengenai orang yang sudah tiada dan kita tengok di tempat peristirahatannya.

Dunia sepi, dunia yang kita kunjungi, setidaknya satu tahun sekali. Dunia yang ditinggali, namun tidak kita mengerti. Karena hanya jasadnya yang ada, atau setidaknya yang sudah puluhan tahun, tinggal tulang-tulang yang ada di makam. Kita memang bukan mengunjungi tulang-tulang, melainkan ‘bertemu’ denga relasi masa lalu dan makam sebagai simbol dari ‘pertemuan’ itu.

Dalam kata lain, setiap bulan Ruwah, relasi masa lalu, kepada orang yang (pernah) kita kenal, atau bahkan sangat dekat, seperti ‘dibuka’ kembali. Kisah-kisah yang pernah dijalani bersama seperti membuka ingatan dan kita merasa perlu berjumpa. Melalui kembang mawar, kembang kanthil dan lainnya, berelasi dijalankan kembali.

Memang, kunjungan di dunia sepi tidak lagi seperti dulu, yang menggunakan kemenyan yang di bakar di dekat nisan. Kini, cukup berdo’a dan menabur bunga di nisan, kita sudah merasa ‘bertemu’ dengan relasi yang (pernah) kita kenal dekat.

Rombongan keluarga, dari anak-anak muda sampai nenek-nenek, terlihat mengunjungi makam. Mereka berkumpul pada satu makam di bawah pohon kamboja, seolah seperti sedang bertemu dengan relasi yang pernah mereka kenal. Mereka tampak bergembira, seperti sedang berbincang dengan relasinya. Sejenak sepi, mereka sedang mendo’akan relasinya yang sudah tiada.

Mengunjungi Dunia Sepi

Dunia sepi, dunia yang sepenuhnya tidak dilupakan, tetapi tidak tiap hari dikunjungi. Berbeda dengan dunia yang memberi mimpi seperti mall, tidak pernah sepi dan selalu dikunnjungi.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta