Gairah berpuisi dan Antologi Puisi
Tampaknya, gairah berpuisi tidak tambah surut, malah sebaliknya, semakin bergelora, apalagi tersedia media ‘bebas’, yang setiap saat bisa untuk memajang puisi. Para penyair, atau penulis syair, tak henti-hentinya menulis puisi. Buku puisi, yang acap disebut antologi puisi, diterbitkan dan menampilkan 51 penyair yang tinggal di kota-kota di Indoensia. Judul antologi puisi itu ’ Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia’.
Antologi puisi itu, Jum’at (10/2) lalu diperbincangkan dan dibacakan beberapa karya puisinya. Dua penyair Yogya, yang puisinya ‘tampil’ dalam buku antologi ini, Slamet Riyadi Sabrawi dan Boedi Ismanto, hadir dalam perbincangan di radio eltira.
“Penyair yang ikut dalam antologi ini mengiriman 10 puisi dan oleh editor/kurator akan dipilih. Publikasinya melalui fecabookdan terbuka untuk semua penyair. Dari jumlah penyair yang mengirim kemudian dipilih 51 penyair ini” kata Slamet Riyadi.
Boedi Ismanto menambahkan, “tidak semua puisi dimasukan dalam antologi. Dari 10 puisi yang dikirim, ada yang diambil 3 puisi, ada juga yang 4 puisi”.
“Puisi saya hanya diambil 3 biji” kata Boedi Ismanto.
Dari 51 penyair yang mengikuti antologi puisi ‘Bangga Aku Jadi Rkyat Indonesia’, 5 penyair diantara dari Yogyakarta, selain Slamet Riyadi Sabrawi dan Boedi Ismanto, ada juga Sutirman Eka Ardana, Mustofra W. Hasyim dan Joko Pinurbo.
Slamet Riyadi Sabrawi membacakan puisi karyanya, baik yang ada di antologi, atau sesuai permintaan pendengar, membacakan puisi cinta. Hal yang sama juga dilakukan oleh Boedi Ismanto, memenuhi permintaan pendengar dengan membacakan puisi cinta.
Boedi membacakan puisinya yang terdapat di buku antologi ‘Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia’, yang berjudul ‘Petani Hujan’. Puisinya agak sedikit panjang, lebih dari satu halaman, tetapi kalimatnya pendek-pendek. Dengarkan petikannya:
“Apa kata hujan
kepada angin
yang membawanya
ke mana-mana?”
Slamet Riyadi juga membacakan puisinya, yang ada di buku antologi ini. Berbeda dengan puisi Boedi Ismanto yang panjang. Puisi Slamet Riyadi pendek, hanya kalimat-kalimat puisinya, dari baris pertama ke baris berikutnya panjang. Judul puisi yang dibacakan, ‘Malam Menanti Hujan’. Kita kutipkan tiga baris dari puisi ini:
“Suara jengkrik masih sama, mengendap seringkali menggelitik.
Udara jengah menumpahkan oksigen di teras yang lengah. Sumuk,
Katamu. Butir hujan masih bermain di halaman rumah teman.“
Selain membacakan puisinya sendiri, Boedi Ismanto juga membacakan puisi Endang Werdiningsih, yang berjudul ‘Tragedi Sandal Jepit’. Puisi ini, agakanya, terinspirasi dari kasus sandal jepit yang menuai protes terhadap peradilan di negeri kita. Coba kita simak petikan beberapa baris puisi Endang Werdiningsih:
“Kita tak menemukan pasal dan ayat di langit
bukan pula di samudra lepas
langit menciptakan taman
kita membuat pagarnya
agar hidup tidak berpihak
yang bengkok diluruskan
yang lurus dilenturkan”
Antologi puisi ini, setidaknya bisa untuk menunjukkan, bahwa gairah berpuisi penyair Indonesia, dari yang tua maupun yang muda, tidak pernah surut. Puisi tidak pernah berhenti ditulis, dan kita bisa menikmatinya dengan mudah. Bahkan setap hari kita bisa membaca puisi melalui facebook.
Ya, puisi tidak sulit dicari hari-hari ini.
Ons Untoro
Artikel Lainnya :
- JALAN SETAPAK DI PINGGIR YOGYA(14/12)
- Sing Nyilih Kudu Mbalekake Sing Utang Kudu Nyaur(02/10)
- Pameran Tunggal Yuleo Krisdono Wahyu Teambull Curhat Lewat Gambar(22/02)
- Perempuan dalam Seni Pertunjukan Minangkabau. Suatu Tinjauan Gender(28/10)
- Maudy Koesnadi Menggali Akar Budaya Negeri (01/12)
- BANGUNAN SEBAGAI PENANDA BATAS WILAYAH DI YOGYAKARTA(16/06)
- LUMPANG Tembi LESTARI DI TENGAH SAWAH PADI(21/04)
- 23 Desember 2010, Primbon - Watak Dasar Bayi(23/12)
- Ketoprak Golek, Kesenian Baru yang Lahir dari Keprihatinan(15/11)
- UJIAN TARI PERIODE KE-3 SANGGAR ANAK Tembi(05/08)