Tembi

Bale-dokumentasi-resensi-buku»Perempuan dalam Seni Pertunjukan Minangkabau. Suatu Tinjauan Gender

28 Oct 2009 01:36:00

Perpustakaan

Judul : Perempuan dalam Seni Pertunjukan Minangkabau.
Suatu Tinjauan Gender
Penulis : Fuji Astuti
Penerbit : Kalika, 2004, Yogyakarta
Bahasa : Indonesia
Jumlah halaman : xxx + 212
Ringkasan isi :

Pada hakekatnya seni adalah kebutuhan dasariah manusia yang tidak mengenal bias gender. Hanya saja dalam kenyataan sosio-kultural suatu masyarakat etnis, kebutuhan itu tidak jarang terkonstruksi menjadi kebutuhan yang sah bagi laki-laki dan ditabukan bagi perempuan, seperti halnya pada masyarakat Minangkabau. Kenyataan menunjukkan bahwa pada masa silam masyarakat Minangkabau telah melembagakan batasan-batasan yang ketat bagi perempuan untuk melibatkan diri dalam seni pertunjukan tradisi. Pembatasan itu tentunya tidak dapat dipisahkan dari sistem norma dan nilai yang dilembagakan dalam sistem sosial yang bertumpu pada sistem matriakatnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada masa silam konsep malu dalam adat dan aurat dalam Islam secara bersama-sama memberi kontribusi bagi terbatasnya akses perempuan memasuki dunia kesenian. Tetapi terjadinya perubahan sosial menyebabkan batasan itu mengalami kelonggaran.

Masyarakat Minangkabau mengidealisasikan perempuan sebagai bundo kanduang Dalam hal ini perempuan merupakan pemegang otonomi rumah gadang, semarak yang dijunjung tinggi, pengelola perekonomian, dan keindahan yang terjaga. Sementara itu fungsi laki-laki dalam masyarakat Minangkabau tampak dari kedudukan mamak (saudara laki-laki ibu) di tengah keluarga saudara perempuannya. Dalam hal demikian ruang gerak perempuan (remaja/dewasa, gadis/sudah menikah) sangat dipengaruhi oleh peran mamak. Jadi dalam konsep keluarga matrilineal fungsi pendidikan moral bukan diperankan oleh laki-laki yang disebut ayah, melainkan oleh mamak. Dengan begitu secara tradisional lapangan kehidupan yang dimasuki seorang perempuan seperti dunia keagamaan, pandangan, pendidikan, seni pertunjukan, perkawinan merupakan hal yang senantiasa memerlukan ijin dan pengontrolan mamak.

Masyarakat Minangkabau mendukung berbagai genre seni pertunjukan dalam kawasan-kawasan kesatuan kenagarian. Meskipun bersifat kenagarian dunia seni pertunjukan diidealisasikan sebagai pencerminan falsafah hidup adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Pentingya aktifitas seni pertunjukan ditunjukan dari pentingnya galanggang atau sasaran, yaitu suatu tempat yang difungsikan untuk aktifitas anak nagari, misal latihan pencak silat, bagalombang, barandai, dan kegiatan lain. Sehubungan dengan pentingnya seni pertunjukan pada masing-masing nagari hingga dikatakan kesenian adalah pamainan anak nagari (permainan anak nagari). Klasifikasi pertumbuhan tari Minangkabau dapat dibagi tiga gaya yang kekhususannya terlihat pada teknik dan fungsinya. Pertama, gaya sasaran merupakan tarian yang tumbuh dan berkembang di lingkungan sasaran yang didukung pemuka adat dan pendukungnya. Gaya sasaran mengacu pada pola gerak pencak silat dengan menggunakan musik talempong, saluang, gendang, sarunai dan dendang. Kedua, gaya surau yang tumbuh dan berkembang di lingkungan surau. Gaya surau dominan pada gerakan tubuh bagian atas seperti gerakan badan, tangan, kepala dan dilakukan dalam posisi duduk. Ketiga, gaya Melayu/bandar yang tumbuh dan berkembang di lingkungan sosial masyarakat perkotaan sebagai tari hiburan untuk kepentingan pergaulan. Gaya Melayu/bandar mengacu pada motif gerak lenggang, lenggok, langkah biasa, langkah baranak dan lain-lain. .

Alam Minangkabau secara tradisional terbagi atas dua wilayah yaitu darek dan rantau. Darek adalah negeri kelahiran dan pusat budaya Minangkabau. Penduduknya bersifat homogen dan asli, baik segi budaya mau pun etnis. Rantau adalah wilayah pemukiman perbatasan yang dibangun kemudian oleh orang-orang dari darek, penduduk bersifat heterogen dan “campuran”. Rantau menurut sejarah dipandang kaya sebagai sumber alam dan berfungsi sebagai gerbang ke arah dunia luar dan merupakan daerah awal bagi masuknya pengaruh baru. Sedangkan darek sebagai daerah awal dipandang sebagai sumber acuan bagi kelangsungan adat tradisi asli yang secara terus-menerus menyebar ke daerah sekelilingnya. Hubungan ini dilukiskan sebagai syarak mendaki, adat menurun. Artinya pengaruh dari luar dimulai dari daerah rantau, sementara kebertahanan budaya bersumber dan menyebar dari daerah perkampungan asal.

Sebagai perbandingan peran perempuan dalam dunia seni pertunjukan, penulis buku mengadakan studi kasus di Desa Sungai Janiah, Kecamatan Baso, Kabupaten Agam sebagai tipologi kehadiran perempuan di desa dan studi kasus sanggar-sanggar tari di Padang sebagai tipologi kehadiran perempuan di perkotaan. Walaupun aktifitas seni pertunjukan (randai, tari dan musik) di Sungai Janiah sebagai seni pertunjukan tradisi menjadi suatu kebanggaan masyarakat setempat, akan tetapi kebanggaan itu hanya ditunjukkan jika aktifitas tersebut didukung dan dilakukan laki-laki, dan bernilai terbalik jika dilakukan perempuan. Akibatnya peran perempuan juga dilakukan oleh laki-laki. Hal ini didasari bahwa perempuan sebagai bundo kanduang harus mencerminkan perilaku yang berbudi luhur figur bagi generasi penerusnya. Ketidakhadiran perempuan dalam seni pertunjukan di daerah pedalaman Miangkabau dipahami sebagai sikap untuk mempertahankan konsep ‘malu’ menurut adat dan ‘aurat’ menurut Islam. Konsep sumbang salah dua belas/”sumbang salah duo baleh” juga menjadikan perempuan untuk bertindak hati-hati. Pada perkembangan selanjutnya pandangan masyarakat semakin berkembang, sehingga pemahaman dan kekhawatiran terhadap kehadiran perempuan dalam seni pertunjukan mulai berubah. Perubahan ini dimulai dengan pemahaman bahwa peran perempuan yang dibawakan oleh laki-laki dengan busana perempuan dianggap sikap yang kurang manusiawi. Perubahan pandangan ini terjadi juga di Desa Sungai Janiah.

Kota Padang merupakan pusat perkembangan seni pertunjukan terutama tari gaya Melayu. Fungsi seni pertunjukan lebih diutamakan untuk kebutuhan rekreasional/hiburan yang bersifat sekuler. Masyarakat kota Padang yang heterogen berpengaruh terhadap pertumbuhan seni pertunjukan. Misal pada masa lampau seni pertunjukan lebih diarahkan untuk kepentingan religi (terkait dengan pesta upacara adat) yang mengutamakan ungkapan ekspresi kolektif, pada masa orde baru seni pertunjukan dijadikan sebagai sarana komunikasi pembangunan, bahkan kadang-kadang ‘pesan sponsor’ ikut diselipkan dalam pertunjukan.

Munculnya sekolah-sekolah kejuruan seni di Sumatera Barat berdampak bagi munculnya lembaga-lembaga seni pertunjukan amatiran di perkotaan. Sejumlah sanggar bermunculan, misal Syofani Grup, Nan Jombang, Indo Jati, Alang Babega. Semua lembaga seni ini (formal mau pun non formal) ikut andil mengembangkan seni budaya Sumatera Barat sekaligus memberi tempat bagi meningkatnya peran perempuan dalam dunia seni pertunjukan. Di pihak lain menguatnya pola kehidupan komunitas kota yang sifatnya heterogen semakin melemahkan pengontrolan mamak terhadap kemanakan perempuannya. Ini terjadi karena sistem kenagarian di pedesaan berbeda dengan di perkotaan. Sistem kenagarian di pedesaan komunitas diikat oleh satu kesatauan adat, sementara kenagarian di perkotaan komunitas hanya diikat oleh kesatuan teritorial.

Bersamaan dengan maraknya sanggar-sanggar tari atau grup pertunjukan di perkotaan, perempuan mendapat ruang yang lebih leluasa untuk memasuki dunia seni tari. Huriah Adam adalah perempuan Minangkabau yang berjasa memperbaharui tari Minangkabau. Ia seorang koreografer yang dibesarkan di tengah keluarga berdarah seniman dan ulama. Orang tuanya yang memilih kediaman secara neolokal memberi andil yang besar dan mendukungnya untuk terjun ke bidang seni. Huriah Adam tercatat sebagai orang pertama yang memperlihatkan upaya mengkonstruksi sendi-sendi tari Minangkabau dengan gaya sasaran. Dengan merujuk pada gaya sasaran, ia mengemas dalam nafas kreasi kontemporer. Tekanan sosial yang didapatkan (dari orang yang tidak setuju dengan aktifitasnya) membuatnya hijrah ke Jakarta, tahun 1968. Di Jakarta ia berkarya dengan orientasi garapan geraknya yang bertumpu pada idiom-idiom gerak Minangkabau yang dinamis dan energik. Gaya surau dan sasaran merupakan dua khasanah tradisi Minangkabau yang mendasari karya-karyanya. Suatu kenyataan yang menganjal orientasinya adalah bahwa dunia surau dan sasaran merupakan dunia laki-laki, sehingga gerak-gerak yang ada dalam dunia sosial ini terkesan menjadi otonomi laki-laki. Berhadapan dengan kenyataan ini Huriah Adam mengungkapkan konsepsinya mengenai pentingya perempuan memperoleh kebebasan yang nyata dalam kehidupan.

Gusmiati Suid adalah koreografer tari yang ciri khas garapannya bertumpu pada gerakan-gerakan yang kuat, berkualitas tinggi, mengarah pada pencapaian keindahan estetik. Karakter cepat, kuat dan dinamis yang terlukis dalam bentuk karya-karyanya menyebabkan adanya reaksi keras dari tokoh masyarakat Minangkabau. Namun hal ini tidak membuatnya mundur, karya-karyanya dengan segar merefleksikan konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat. Keberhasilan ini tidak lepas dari latar belakang pendidikannya. Sebagai anak tunggal (merupakan satu-satunya tumpuan harapan orang tua), Gusmiati sejak kecil dilatih silat oleh mamaknya, suatu hal yang tidak lazim pada masa itu. Tetapi Gusmiati tetap dilarang mempelajari seni tari oleh mamaknya. Beruntung ibunya mendukung, sehingga larangan mamaknya diabaikan. Konsep dasar bagi Gusmiati dalam berkarya adalah selalu konsisten dengan nilai-nilai yang terkandung dalam adat Minangkabau, dan menjadikan ‘alam terkembang menjadi guru’ sebagai falsafah utama dalam setiap gerakannya. Prinsip yang terkandung di dalamnya adalah siap dengan perubahan-perubahan, tanggap terhadap perkembangan jaman, peka terhadap gejolak-gejolak sosial yang kemudian direfleksikan dalam karyanya. Ia menganut pandangan bahwa setiap insan mempunyai hak untuk mewujudkan pengalaman emosionalnya melalui seni pertunjukan.

Syofyani Busataman adalah seorang koreografer perempuan Minangkabau yang garapan tarinya cenderung memakai gerak yang lembut, indah, tetapi tidak meninggalkan kesan estetis yang memadai. Gerak gaya Melayu merupakan corak yang dominan dalam karya-karyanya. Lingkungan hidupnya yang merupakan keluarga seniman perkotaan sangat mendukung kariernya. Syofyani memadukan nilai-nilai dan bentuk tari gaya sasaran dengan tari gaya Melayu, sehingga memunculkan karya tarinya yang khas, yakni perpaduan gerak gaya sasaran dengan gaya Melayu dengan iringan musik diatonis. Dalam berkarya Syofyani tidak menemukan hambatan yang berarti karena ia tidak melakukan pendobrakan terhadap konvensi-konvensi kultural yang sudah mapan di tengah masyarakat Minangkabau. Ia menempuh jalan keselarasan dengan cara memadukan gaya sasaran dengan gaya Melayu. Orientasi garapan geraknya yang bersifat kemelayuan membuatnya tetap sepadan dengan pandangan bahwa gerak perempuan mestilah lembut dan gemulai serta manis di pandangan mata.

Ery Mefri seorang koreografer laki-laki, terkenal sebagai koreografer yang berani memberi penari-penarinya peran ‘menantang’ terhadap sistem nilai yang telah mapan dalam masyarakat. Bagi Ery gerak yang diberikan pada penari perempuan maupun laki-laki secara teknis tidak dibedakan, semua pendukung karyanya diusahakan memiliki kemampuan yang seimbang, suatu hal yang dapat dicapai dengan latihan rutin dan berkesinambungan. Sebagai koreografer kontemporer, sekilas ciri-ciri pola garapan Ery yang mewarnai karyanya kadangkala menjadi awal munculnya hujatan baginya. Pola dan teknik-teknik yang digunakan dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam adat Minangkabau dan pertunjukannya tidak sesuai untuk masyarakat umum lingkungan sosial Minangkabau. Namun di sisi lain Ery dipuji dan kreasinya dihargai. Dalam berkarya Ery Mefri berusaha mengangkat fenomena realita kehidupan yang bergejolak di tengah masyarakat.

Begitulah, seni pertunjukan di daerah Minangkabau yang pada mulanya ditabukan bagi perempuan, karena perkembangan jaman akhirnya menjadi tidak tabu lagi. Sekarang perempuan lebih bebas untuk terlibat dalam seni pertunjukan baik sebagai koreografer, penari atau peran yang lain.

Teks : Kusalamani




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta