Tembi

Berita-budaya»ALUN ALUN KIDUL

31 Oct 2011 06:46:00

ALUN-ALUN KIDULBagi orang Yogya, pastilah mengenal dimana letak alun-alun kidul. Karena selain alun-alin kidul (alun-alun selatan), ada juga alun-alun lor (alun-alun utara). Kedua alun-alun berada dalam satu area benteng Kraton Yogyakarta. Alun-alun kidul terletak dibagian belakang. Sebut saja sebagai pekarangan mburi (halaman belakang) dari Kraton Yogyakarta.

Kita tidak akan melihat alun-alun kidul yang dulu, tetapi alun-alun kidul sekarang. Karena dulu wilayah ini termasuk sepi, hampir-hampir jarang dikunjungi orang. Jika malam tiba, suasananya seperti senyap, meski berdekatan dengan pemukiman. Hanya jika sore tiba, di tahun 1970-an alun-alun kidul seringkali dipakai untuk latihan sepak bola. Karena itu. Pada sore hari, alun-alun kidul tampak ramai.

Namun kini, alun-alun kidul tidak lagi senyap. Tiap hari, dari pagi sampai malam, selalu saja ada orang yang ‘mengunjungi’ alun-alun kidul. Jika sore tiba, banyak orang yang bermain di alun-alun kidul, dan mereka menikmati alun-alun kidul dengan permainan. Selain ada yang olah raga lari misalnya, ada juga yang bermain dengan permainan yang disewakan, termasuk bisa menyewa becak kecil dan mengendarai keliling alun-alun kidul.

Selain itu, pengunjung bisa merasakan naik gajah berjalan di alun-alun kidul. Atau juga permainan lain yang tersedia, seperti permainan yang menggunakan koin. Pendek kata, alun-alun kidul menjadi daerah yang hidup. Tidak senyap lagi dan berbagai macam aktivitas kebudayaan dan ekonomi ‘menyatu’ di alun-alun kidul. Apalagi di gedung Sasonohinggil Dwi Abad, setiap bulan selalu ada pergelaran wayang kulit.

Ada yang unik dan memberikan ciri khas padaALUN-ALUN KIDULalun-alun kidul, yakni satu aktivitas yang kemudian dikenal dengan nama ‘masangin’, ialah masuk diantara dua beringin. Di alun-alun kidul, seperti halnya alun-alun lor (utara) ada dua beringin ditengah alun-alun. Pengunjung yang datang di alun-alun kidul sering berjalan dengan matanya ditutup untuk bisa melewati jalan ditengah diantara dua beringin. Yang selalu sering terjadi, orang tidak bisa melewatinya. Entah kenapa, langkahnya belok dengan sendirinya sehingga jalannya selalu keluar, atau kalau tidak menabrak pagar pohon beringin.

Masangin menjadi aktivitas favorit. Orang yang berkunjung ke alun-alun kidul, apalagi orang dari luar Yogya, biasanya mencoba masangin. Biasanya pula, sambil tertawa kakinya melangkah untuk terus mencoba melewati jalan diantara dua pohon beringin, dan gagal. Tertawa gembira tidak terhindarkan dalam kegagalan itu.

Alun-alun kidul, kini telah berfungsi menjadi ruang publik dalam arti sebenarnya. Berbagai macam aktivitas dilakukan di alun-alun kidul. Jika petang tiba, warung-warung lesehan mengisi ruang trotoar di alun-alun kidul. Pengunjung menikmati malam di alun-alun kidul sembari ngobrol. Berinterakasi dengan orang-orang lain.

Tak ada dominasi pemaknaan di alun-alun kidul. Setiap elemen bisa memaknai alun-alun kidul dengan aktivitasnya. Dengan demikian, ruang kultural telah terbentuk di alun-alun kidul. Pemaknaan ekonomi tidak mendomonasi pemaknaan kesenian, malah masing-masing saling interaksi dan saling menguntungkan secara sosial dan ekonomi. Peristiwa kesenian yang berlangsung di alun-alun kidul dengan sendirinya bermanfaat terhadap aktivitas ekonomi.

Sebagai ruang publik, alun-alun kidul diakses oleh bermacam keloALUN-ALUN KIDULmpok sosial masyarakat. Masing-masing saling menggunakan dan menjaga, sehingga keberlangsungan ruang publik bisa terus berjalan.

Yogya, rasanya, membutuhkan ruang publik seperti alun-alun kidul. Semakin ada beberapa ruang publik, artinya pemerintah kota memperhatikan terhadap warganya. Karena kota tanpa ruang publik, artinya, kota tidak peduli pada dinamika kebudayaan yang terus bergerak dan tidak bisa dihalangi. Kebudayaan akan terus bergulir, bahkan bisa meninggalkan masyarakat yang tidak peduli pada kebudayaan.

Alun-alun kidul telah berfungsi sebagai ruang budaya bagi masyarakat. Akan menjadi lebih menarik apabila ruang-ruang lainnya tidak dimaknai secara tunggal, apalagi dengan cara memaksakan pemakanaan agar diterima. Ruang sekolah, yang tak lain adalah ruang publik untuk siswa, telah dimaknai untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu, dan seolah tidak ada kelompok lain di ruang sekolah. Padahal kita tahu, ruang sekolah terdiri dari beragam kelompok sosial, yang masing-masing memiliki hak yang sama untuk memaknai ruang. Tetapi dengan otoritas sekolah seolah (di)’syah’(kan) dominannya makna tunggal di ruang sekolah.

Dari alun-alun kidul, kita perlu belajar bagaimana memaknai ruang secara beragam.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta