Bulan Film Nasional 2010
Bioskop Indonesia Sejak tahun 1900

Acara rutin Kineforum dalam rangka bulan film nasional bertema Sejarah Adalah Sekarang kembali digelar, Sekitar 59 film telah dipersiapkan untuk memeriahkan acara ini. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, acara ini dipersiapkan lebih matang. Hal ini ditunjukkan dengan ragam film yang dibagi menjadi beberapa segmen. Ada film-film karya Soekarno M. Noer, ayah dari Rano Karno, dalam segmen Body of Work. Lalu ada film-film remaja dari tiga dekade film Indonesia, mulai dari film Masa Badai dan Topan di era 1960-an, Catatan si Boy dan Lupus di tahun 1980-an hingga jelang 1990-an, sampai Ada Apa dengan Cinta di tahun 2000-an, dan masih banyak yang lain.

Selain itu, Kineforum kembali mengadakan pameran sejarah bioskop untuk ketiga kalinya setelah yang pertama dilaksanakan pada Maret 2008, di Teater Studio TIM Jl. Cikini Raya no 73, Jakarta Pusat mulai tanggal 1-31 Maret 2010. Pameran kecil ini akan menampilkan sejumlah koleksi foto dan rangkaian teks yang merekam perjalanan bioskop Indonesia dari 1900 hingga kini. Akan dapat disaksikan berbagai permasalahan seputar bioskop, seperti intrik sosial-politik di masa awal bioskop Indonesia, pembagian kelas Eropa dan pribumi, hancurnya bioskop kelas bawah, monopoli distribusi film, beberapa profil bioskop tua, juga tentang integrasi bioskop dengan fasilitas lainyang jika sekarang bioskop menempel mal, maka dulu bioskop menyelenggarakan pertandingan tinju sebelumnya untuk menarik penonton.

Bioskop juga pernah menjadi saksi bisu bagaimana masyarakat dipilah berdasarkan ras dan kelas, impor film ditukar dengan ekspor tekstil, distribusi film dimonopoli, atau film nasional yang hanya bisa diputar di bioskop kelas bawah. Bioskop telah memutar banyak hal, dari film sebagai berita, propaganda, hiburan, hingga film sebagai ekspresi dan kritik artistik. Kini, bioskop tak hanya menjadi tempat menonton, namun juga ruang diskusi. Setelah lebih dari 100 tahun, sejarah bioskop menemani dan merekam erat sejarah masyarakat dan kotanya.

Barangkali hanya sedikit orang yang tahu bahwa sejarah bioskop nasional hampir sama tuanya dengan sejarah bioskop internasional. Sejarah bioskop dimulai tahun 1895, ketika Robert Paul mendemonstrasikan kepada masyarakat di London mengenai kemampuan proyektor film. Alat itu membuat serangkaian gambar statis yang disorot ke layar serta merta menjadi gambar hidup. Menurut tokoh perbiosokopan, HM Johan Tjasmadi, dari segi penayangan gambar hidup hanya terpisah lima tahun dari Indonesia.

Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia periode 1970-1999 ini lewat bukunya "100 Tahun Bioskop di Indonesia (1900-2000)", mengatakan bahwa film masuk ke Jakarta semula hanya lantaran rasa kebanggaan orang kulit putih yang tidak mau kalah dari saudara-saudaranya yang tinggal ditanah airnya. Setahun kemudian muncul fenomena layar tancap, antara lain di Deca Park (Gambir), Lapangan Tanah Abang, Lapangan Mangga Besar, Lapangan Stasiun Kota (Beos). Tidak lama setelah itu (1903), sudah berdiri beberapa bioskop antara lain Elite untuk penonton kelas atas, Deca Park, Capitol untuk penonton kelas menengah, Rialto Senen dan Rialto Tanah Abang buat penonton kalangan menengah dan menengah ke bawah, tulis Johan dalam bukunya.

Pada periode 1942-1945, setiap bioskop di Hindia Belanda diwajibkan menayangkan slide dan memutar film-film pendek berisi bahan penerangan dan propaganda Pemerintah Pendudukan Jepang. Pembentukan Jawa Eiga Kosha (perusahaan film) dan Jawa Eiga Haikyu Sha (perusahaan distribusi) menjadi awal pelarangan bagi film impor (Amerika dan Inggris). Nama bioskop pun banyak yang diganti, misalnya Rex Bioscoop di Jakarta menjadi Yo Le Kwan, Emma Bioscoop di Malang menjadi Ki Rak Kwan, Central Bioscoop di Bogor menjadi Thoeo Gekijo. Dan untuk menarik hati kaum Muslimin, bioskop dilarang beroperasi pada waktu maghrib dan isya. Bioskop yang semula hanya diperuntukkan bagi warga kulit putih, seperti Deca Park dan Capitol dibuat terbuka untuk pribumi.

Saat ini, setidaknya sejarah itu bisa diungkapkan perlahan-lahan, melalui pameran yang memang direncanakan untuk terus berkembang dengan penelitian selanjutnya yang akan menghasilkan data-data baru. Sehingga kita bisa tahu, bagaimana kenyataan perjalanan bioskop yang selama ini telah mempertemukan film dan penonton, antara hasil rekaman kenyataan masyarakat dengan masyarakat yang direkamnya, dalam satu ruang. Pameran ini bertujuan membuka informasi tersebut, sembari mengajak pengunjung dan sejumlah pihak yang peduli, baik melalui dukungan data ataupun dana, untuk membenahi sejarah kita. Dan semoga saja visi dari pameran ini, yaitu melestarikan dan memperkenalkan budaya serta sejarah perfilman nasional bisa tercapai, karena itu event ini tidak hanya berisi pameran bioskop film semata, tetapi juga memutar film-film Indonesia dari beberapa generasi, dan ruang diskusi tentang perkembangan film Indonesia dari masa ke masa.

Titin