After Dream, Nyanyian Tentang Perempuan, Kolaborasi Jen Shyu dan Peni Candra Rini
Jen Shyu mengatakan bahwa judul pementasan “After Dream” timbul setelah dirinya mengalami sebuah mimpi buruk usai membaca tulisan Naldo Rei. Mimpi yang bermakna dalam, apalagi Jen Shyu juga memiliki ikatan kuat dengan Timor Leste.
Pendeta Ngakan Ngurah Mahendrajaya dari Bali membuka pementasan dengan ritual
Minggu malam, 19 Januari 2014, Amphiteater Tembi Rumah Budaya telah sesak dipadati audien. Tempat duduk di amphitheater pun tidak cukup, hingga membuat audien duduk berkeliling di dekat panggung.
“After Dream”, sebuah pentas kolaboratif menyedot rasa penasaran banyak orang. Dalam material publikasi yang disebarkan oleh Forum Musik Tembi (foMbi) di berbagai tempat dan media sosial, tertulis bahwa pentas ini merupakan pentas perdana duet multikultur antara Jen Shyu dan Peni Candra Rini. Apalagi, pentas ini juga merupakan peringatan 50 tahun Asian Cultural Council, sebuah lembaga Amerika yang mewadahi kegiatan lintas budayanegara-negara di Asia, terutama bagi senirupa dan senipertunjukan.
Jen Shyu yang akrab disapa oleh para seniman Yogya sebagai ‘Mbak Jen Shyu’, tinggal di Amerika. Ia merupakan seniman multitalenta yang lahir dari ayah berkebangsaan Taiwan dan ibu dari Timor Leste. Jen Shyu, selain belajar piano klasik dan balet saat kecil, akhirnya juga mendalami berbagai kesenian tradisional, mulai dari instrumen dawai tradisional Korea seperti Gayageum dan gitar bulan, nyanyian tradisional, hingga tari Jawa.
Sedangkan Peni Candra Rini, pesinden dan pengrawit dari Solo, sudah lama malang melintang di dunia seni internasional. Selain aktif berkesenian di Solo, ia pernah berkolaborasi dengan komponis Rahayu Supanggah dalam Pementasan I La Galigo arahan Sutradara Robert Wilson, sebagai vokalis dalam film Opera Jawakarya Garin Nugroho, dan masih banyak lagi. Baik Peni Chandra Rini dan Jen Shyu, keduanya sama-sama pernah menerima award dari Asian Cultural Council (ACC) untuk program fellowship selama 6 bulan di Amerika Serikat. Sehingga kolaborasi ini bisa terjadi berawal dari ACC.
After Dream mengangkat tema tentang perempuan melalui 14 nomor komposisi tanpa jeda selama kurang lebih dua jam. Karya ini didedikasikan khusus untuk Ki Slamet Gundono dan Ibu Bei Mardusari, penari dan pengrawit dan istri dari Mangkunegaran VII. Dalam buku program pementasan, Jen Shyu dan Peni menyampaikan:
Kekuatan dari semua ibu. Saudara, anak perempuan, nenek, dan istri kita lebih sering terasa daripada dilihat, bahkan dalam masyarakat modern hari ini di seluruh dunia.
Keempat belas komposisi tersebut didasarkan pada teks tentang perempuan dan juga hubungannya dengan laki-laki yang terinspirasi dari berbagai sumber. Di antaranya dari nyayian tradisional Korea, hasil kolaborasi terdahulu antara Jen Shyu dan Ki Slamet Gundono, puisiGarin Nugroho, hingga teks tentang perempuan di Timor Leste dari teks Chega! The Report of the Commission for Reception, Truth, and Reconciliation Timor-Leste, Executive Summary.
Pentas After Dream dimulai di Amphiteater Tembi Rumah Budaya. Ada sesuatu yang spesial di awal pementasan ini. Di panggung Amphiteater telah duduk Pendeta Ngakan Ngurah Mahendrajaya dari Bali. Ia duduk tenang dikelilingi cahaya lilin temaram di sekitarnya. Di hadapannya tersedia sesaji dan berbagai perlengkapan ritual. Ritual, menjadi pintu pembuka rangkaian pementasan After Dream.
Pendeta mulai membaca doa. Kemudian perlahan, Jen Shyu dan Peni Chandra Rini dengan pakaian serba putih, menari pelan dan melangkah menuju panggung. Rapal doa disahut dengan nyanyian tradisional Korea oleh Jen Shyu dan sindenan oleh Peni Chandra Rini. Peni dan Jen Shyu menyanyi sambil memukul gamelan Kemanak, gamelan yang dalam tradisi Jawamerupakan gamelan sakral untuk ritual. Nyayian ritual bersahutan, membahana dan membawa energi magis. Pengalaman yang barangkali baru bagi sebagian audien, merasakan sebuah ritual dalam sebuah pementasan.
Nyanyian ratapan Jen Shyu dan Peni Candra Rini
Usai nyanyian pembuka, Jen Shyu dan Peni menghampiri pendeta. Pendeta merapal doa kembali, lalu memberkahi keduanya melalui percikan air. Setelah diberkahi, Jen Shyu dan Peni melanjutkan pementasan, berdiri dan melangkah perlahan menuju Museum Tembi Rumah Budaya, venue kedua rangkaian pementasan After Dream. Langkah Jen Shyu dan Peni diikuti ratusan audien.
Dalam waktu singkat, Museum Tembi Rumah Budaya telah sesak dipadati audien. Rangkaian pementasan terus berlanjut, sementara banyak audiens yang akhirnya tidak kebagian tempat untuk menonton langsung di museum dan harus rela menyaksikan pementasan melalui siaran di layar yang telah tersedia di pendopo.
Pementasan berlangsung khidmat. Jen Shyu dan Peni kian larut dalam pengembaraannya tentang perempuan. Nyanyian-nyanyian terus dilantunkan diiringi gender, rebab, gitar bulan, gayageum, dan piano yang dimainkan oleh keduanya. Persilangan antarmusik tradisional menjadi sebuah jalinan komunikasi yang menarik.
Pementasan di museum diawali dengan komposisi ketujuh karya Peni Chandra Rini berjudul ‘Saya Laki-Laki’. Mengawali sebuah siklus panjang tentang perempuan. Dalam komposisi ini, sambil bernyanyi Peni dan Jen Shyu memperagakan keperkasaan laki-laki melalui tarian. Lirik:
Aku lelananing jagad
Getihku saka urubing lahar bumi
Walulangku keker gung arga
Komposisi berikutnya adalah Kelahiran, karya Jen Shyu dan almarhum Ki Slamet Gundono. Setiap manusia, lahir dari rahim seorang perempuan. Dari sinilah juga, siklus kehidupan dan dunia dimulai dan terus berjalan.
Nyanyian tentang perempuan terus berlanjut. Pada komposisi ketigabelas berjudul ‘Saya Perempuan’, tensi dramatik dari pementasan terus naik menuju klimaks. Komposisi ini diciptakan Jen Shyu dari Puisi ‘Para Pembakar Ombak’ karya penyair Dorothea Herliany Rosa. Sambil bernyanyi, Jen Shyu memainkan gitar bulan, sedangkan Peni Chandra Rini menggesek rebab.
Mengapa ibu tak pulang
Pergi jauh mengandung rindu, teman
Tinggal bau airmata
Riuh duka tepi taman
Di komposisi terakhir, nyanyian berganti menjadi ratapan. “Song for Naldo” menjadi penutup yang penuh perenungan. Komposisi ini terinspirasi dari buku “Resistance: A Childhood Fighting for East Timor” tulisan Naldo Rei. Buku ini berisi perjuangan keluarga Naldo Rei, aktivis Timor Timur dalam masa kelam transisi masuknya Timor-Timur ke wilayah Indonesia pada tahun 1975.
Usai pementasan Jen Shyu dan Peni Candra Rini
bersama Pendeta Ngakan Ngurah Mahendrajaya
Jen Shyu dan Peni begitu larut dalam ratap kesedihan. Apalagi dalam sejarah rekonsiliasi Timor Timur, banyak juga kisah pilu tentang penindasan terhadap perempuan, seperti juga yang terdapat dalam teks Chega! The Report of the Commission for Reception, Truth, and Reconciliation Timor-Leste, Executive Summary.
“After Dream”, setelah sebuah mimpi berlalu. Selepas pertunjukan, Jen Shyu mengatakan bahwa judul pementasan “After Dream” timbul setelah dirinya mengalami sebuah mimpi buruk usai membaca tulisan Naldo Rei. Mimpi yang bermakna dalam, apalagi Jen Shyu juga memiliki ikatan kuat dengan Timor Leste.
Melalui “After Dream” Jen Shyu dan Peni Chandra Rini menyanyikan ratapan bukan untuk mengutuk sebuah pertikaian masa lalu dalam perjalanan sejarah, namun terlebih lagi mereka menyanyikan lagu kemanusiaan. Kedua perempuan kuat ini menyuarakan dengan lantang apa yang mereka perjuangkan, lewat musik dan tarian!
Nonton yuk ..!
Naskah dan Foto:Gardika Gigih Pradipta
Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net - Rumah Sejarah dan Budaya
Baca Juga Artikel Lainnya :
- Festival Musik Tembi 2013, Asep Nata Berkisah Tentang Gamelan Keramik Karyanya Yang Luhung Pun Tidak(03/06)
- Festival Musik Tembi 2013 (2): Penampilan Wukir Suryadi dan Rully Shabara Benar-benar Bersenyawa(31/05)
- Festival Musik Tembi 2013 (1) Spirit Kreatif dalam (29/05)
- Jemek Berkisah Tentang Dirinya di Tembi Rumah Budaya(17/04)
- Peluncuran Album Musik Tradisi Baru 2012, Synthesizer pun Menjadi Siter(22/12)
- Sebuah Film Tentang Untung Basuki Meniti Waktu(13/12)
- Ketoprak Golek, Kesenian Baru yang Lahir dari Keprihatinan(15/11)
- Tiga Malam Menjelajah Musik Aristokrat Eropa Berlatar Ornamen Jawa(14/11)