Festival Musik Tembi 2013: Asep Nata Berkisah Tentang Gamelan Keramik Karyanya Yang Luhung Pun Tidak

Kreasinya seperti Gamelan Keramik dan Karinding Diatonis bukanlah sikap menyaingi atau bahkan menandingi tradisi. Justru sebaliknya. Asep Nata yang sedari kecil bergelut dengan seni karawitan menuturkan bahwa semua kreasinya adalah ungkapan rasa cintanya pada ibu tradisi yang telah melahirkan dan membesarkannya

Festival Musik Tembi 2013, Asep Nata, Mei 2013, foto: Gardika Gigih Pradipta
Asep Nata (kiri) dan Rizaldi Siagian (kanan)
saat Bincang-Bincang Musik di Tembi Rumah Budaya

“Saya ini tidak adiluhung. Luhung pun tidak. Karena saya dibuat dari tanah, maka saya ingin akrab dengan tanah”. Begitulah jawaban ringan Asep Nata saat ditanya seorang hadirin mengenai filosofi kreasinya, gamelan keramik, dalam Bincang-Bincang Musik di Tembi Rumah Budaya, Kamis siang, 23 Mei 2013. Program Bincang-Bincang Musik merupakan rangkaian dari Festival Musik Tembi (FMT) 2013, selain program Pertunjukan Musik dan Panggung Musik Tradisi Baru.

Jawaban ringan Asep Nata diiringi derai tawanya yang khas sontak membuat para hadirin tertawa. Ngabodor, begitulah istilah orang Sunda mengenai sikap kreatif, main-main, jahil dan nothing to lose alias tanpa beban. Begitu pula Rizaldi Siagian, etnomusikolog yang menjadi pengamat musik dalam FMT 2013 tak luput tertawa mendengar jawaban jenaka Asep Nata.

“Bang Rizaldi ini guru saya sewaktu di USU (Universitas Sumatera Utara),” ujar Asep Nata bersemangat saat mengetahui bahwa mantan dosennya ikut hadir untuk menyimak penjelasannya mengenai Gamelan Keramik. Siang itu hadir pula Frans Sartono, wartawan musik dari Harian Kompas, yang sudah dua kali menjadi pengamat musik dalam FMT sejak tahun 2012.

Asep Nata, etnomusikolog lulusan Universitas Sumatera Utara (USU), yang mengajar di Universitas Pasundan (Unpas) Bandung, datang ke Tembi Rumah Budaya bersama beberapa mahasiswanya untuk mengikuti rangkaian FMT yang berlangsung tanggal 22-24 Mei 2013. Asep Nata dikenal dengan berbagai ide kreatifnya dalam membuat berbagai instrumen musik. Di antaranya adalah instrumen Gamelan Keramik dan Karinding Diatonis.

Forum Musik Tembi (foMbi) pertama kali bertemu dengan Asep Nata dalam Festival Musik Keramik 2012 yang berlangsung di Jatiwangi - Jawa Barat, November 2012. Saat itu Rosiana dan Tien Natalia Sitorus dari Tembi Rumah Budaya juga berkunjung ke Jatiwangi dan berkesempatan untuk wawancara serta melihat proses kreatif Asep Nata bersama para mahasiswanya. Relasi ini terjalin hingga Asep Nata menanggapi dengan antusias tawaran foMbi untuk berbagi ilmu di FMT 2013.

Festival Musik Tembi 2013, Asep Nata, Mei 2013, foto: Gardika Gigih Pradipta
Asep Nata dan rekan-rekannya dari Universitas Pasundan
mendemonstrasikan Gamelan Keramik

Gamelan Keramik, nama yang menggelitik. Gamelan Keramik kreasi Asep Nata hingga saat ini sejatinya berupa instrumen dengan anatomi menyerupai gender dalam karawitan Jawa, lengkap dengan bilah dan tabung resonatornya. Bilah-bilah terbuat dari keramik yang dipotong sedangkan resonatornya dari bahan pipa PVC atau tanah liat.

Asep Nata menyampaikan rencananya di masa depan untuk membuat instrumen gong keramik, kenong, dan sebagainya. Sehingga Gamelan Keramik menjadi satu set perangkat gamelan yang utuh. (Tien Natalia dari Tembi Rumah Budaya pernah membahas Gamelan Keramik kreasi Asep Nata di tembi.net November tahun lalu. Untuk membaca lebih lanjut, Berikut ini linknya: https://tembi.net/id/news/berita-budaya/gamelan-dari-keramik-karya-asep-nata-3927.html)

Dalam Bincang-Bincang Musik, Asep Nata membagikan proses kreasi Gamelan Keramik dan sejarah awal mula ide kreatifnya ini. Ia bercerita bahwa Gamelan Keramik adalah hasil eksperimennya dengan PGT (Penghuni Gelap Tetap) di Unpas. PGT, begitu Asep Nata menyebutnya dengan jenaka, adalah para mahasiswanya di Unpas yang sering berkegiatan hingga larut malam dan tidur di kampus. Sekali lagi lontaran istilah ‘PGT’ membuat suasana bincang-bincang menjadi penuh tawa.

Para ‘PGT’ ini kemudian diajak Asep Nata untuk membuat kreasi Gamelan Keramik. Ide kreasi diawali secara nyata ketika proses pembangunan masjid di Unpas. Apa hubungan masjid dengan Gamelan Keramik?.

Asep Nata bersama para PGT mencari-cari keramik sisa pembangunan masjid. Proses kreasi pun dimulai. Keramik dipotong menjadi bilah-bilah dengan alat pemotong keramik. Dilaras dengan cara menipiskan ujung atau bagian tengah. Prinsipnya menggunakan ilmu fisika. Sederhana, begitulah cerita Asep Nata.

Saat Bincang-Bincang Musik, Asep Nata bersama para mahasiswa Unpas membawa Gamelan Keramik dan beberapa peralatan kreasinya. Mereka bermain, mempratekkan bunyi dan proses kreasi Gamelan Keramik secara sekilas kepada para hadirin. Sungguh menarik dan unik.

Gamelan Keramik kreasi Asep Nata bisa dimaknai sebagai cara yang segar dalam memaknai tradisi. Tradisi sejatinya adalah proses yang berkembang dan berjalan terus menerus. Rizaldi Siagian ikut memberikan pandangannya mengenai kreasi Asep Nata. Ia mengutip pandangan seorang antropolog kelahiran Skotlandia, Victor Turner. “Culture is becoming. Kebudayaan adalah proses menjadi”.

Rizaldi menjelaskan bahwa tradisi bukanlah sesuatu yang mandeg atau beku di masa yang lalu. Tradisi selalu berjalan di masa lalu, kini dan masa depan. Lebih lanjut, Rizaldi menyampaikan bahwa sekarang adalah saatnya kita untuk berkreasi seluas-luasnya, bekerja keras dan aktif berkarya. Bukan lagi saatnya untuk saling mempertentangkan pandangan tapi seringkali menghambat keberanian berkarya dan kontraproduktif. Di masa depan akan menjadi seperti apa, itu persoalan lain. Namun roda kreativitas itu harus terus berputar dengan penuh semangat.

Festival Musik Tembi 2013, Asep Nata, Mei 2013, foto: Gardika Gigih Pradipta
Asep Nata

Norbertus Nuranto, direktur Tembi Rumah Budaya yang juga menjadi pengamat musik FMT 2013 menyampaikan pemikirannya bahwa proses kreatif adalah sebuah proses ‘menjadi’, menjadi apa itu urusan nanti.

Terkait dengan perbincangan seputar tradisi, Frans Sartono, salah satu pengamat FMT juga mengemukakan pendapatnya bahwa seringkali konsepsi adiluhung yang disematkan pada kesenian tradisi membuat tradisi tersebut terasa enggan untuk didekati dan diperlakukan dengan beragam cara.

Konsepsi adiluhung memang seringkali menempatkan tradisi dalam sebuah kotak yang indah dan sakral, namun hanya sebatas dikagumi saja. Tidak disentuh dan dikembangkan dengan semangat yang segar.

Maka jikalau konteksnya seperti ini, jawaban ringan Asep Nata diiringi tawanya sama sekali bukanlah hal guyonan atau ujaran tanpa makna. Seperti yang telah dibahas dalam awal tulisan ini, penilaian Asep Nata tentang diri dan kreasinya yang tidak adiluhung, bahkan luhung pun tidak, sesungguhnya merupakan ekspresi kecintaannya terhadap tradisi itu sendiri.

Lebih lanjut ia menuturkan bahwa kreasinya seperti Gamelan Keramik dan Karinding Diatonis bukanlah sikap menyaingi atau bahkan menandingi tradisi. Justru sebaliknya. Asep Nata yang sedari kecil bergelut dengan seni karawitan menuturkan bahwa semua kreasinya adalah ungkapan rasa cintanya pada ibu tradisi yang telah melahirkan dan membesarkannya. Selanjutnya ia berkreasi sesuai kemampuannya.

Nonton yuk ..!

Naskah & foto:Gardika Gigih Pradipta



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net/


Baca Juga Artikel Lainnya :




Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta