Festival Musik Tembi 2013 (1): Spirit Kreatif dalam "Musik Tradisi Baru"
Dari tahun ke tahun Musik Tradisi Baru merupakan sebuah laboratorium kreatif untuk berbagai ide yang segar dengan semangat bermain-main. Ini adalah proses menjadi. Menjadi apa? Itu soal nanti. Yang penting bermain saja
Penampilan atraktif grup Java Migran
Dengan gaya yang begitu atraktif, sekelompok remaja menabuh gamelan. Mereka memainkan dengan lincahnya metrik (birama) 5/4 yang notabene tidak ada dalam tradisi karawitan Jawa. Semua lebur, tanpa tendensi untuk sekadar menunjukkan eksperimen. Kemudian di tengah komposisi, mereka bernyanyi ‘pam, pam, pam, pam’ sambil diiringi kotekan kentongan.
Itulah komposisi musik berjudul ‘Dedelikan’ yang disajikan oleh grup Java Migran, salah satu peserta Panggung Nominasi Musik Tradisi Baru 2013. Java Migran terdiri dari siwa-siswi SMA 1 Bantul dan SMA 1 Jetis yang rata-rata usianya masih 15 tahun.
Para remaja ini memain-mainkan berbagai ide kreatif melalui instrumen gamelan dengan sikap polos. Java Migran bermain lepas, seakan tradisi karawitan dibahasakan kembali dengan ide-ide musik yang segar dan kreatif. Audiens terlihat begitu antusias dengan tampilan memikat dari Java Migran.
Panggung Nominasi Musik Tradisi Baru (MTB) 2013, yang merupakan tema utama dari Festival Musik Tembi 2013, benar-benar penuh warna. Ada 10 grup yang lolos dari seleksi tahap awal dan bisa tampil, menyajikan kreasi mereka dalam pertunjukan Panggung Nominasi MTB, yang berlangsung pada hari pertama Festival Musik Tembi, Rabu, 22 Mei 2013.
Aksi Alam Dewata, band dari Bali
Pertunjukan diawali oleh Akim yang menyajikan karya berjudul ‘Ayunan’. Akim bermain rekorder sendirian di panggung dengan diiringi lantunan gitarnya yang sudah direkam sebelumnya. ‘Ayunan’ dibuka dengan permainan solo rekorder Akim yang terampil. Berbagai laras-laras dalam musik tradisional, seperti laras madenda dan pelog diadaptasi Akim ke dalam permainan rekordernya. Sebuah tafsir yang menarik.
Setelah Akim, ada grup Megho Etnik Nusantara yang mencoba menggabungkan 3 instrumen dengan latar belakang berbeda, yakni Tarawangsa dari tanah Sunda, Sapeq dari Kalimantan, dan gitar. Gagasan penggabungan ini menarik. Ada interaksi lintas budaya melalui ketiga instrumen dan Megho Etnik Nusantara berkreasi memainkan idiom-idiom musik tradisi melalui ketiga instrumen ini.
Penampil ketiga adalah Angela Lopez, seorang pianis dari Spanyol yang saat ini tinggal di Yogyakarta. Angela Lopez bermain solo piano dan bernyanyi dalam karya ‘O Mio Flamenko Karo’. Karya ini terinspirasi dari perjalanan Angela ke tanah Karo.
Saat ia mendengarkan musik tradisional Karo, ia menemukan ada berbagai persamaan dengan musik Flamenco dari Spanyol, tanah kelahirannya. Angela Lopez menafsirkan persamaan ini dan berkreasi dengan caranya dalam ‘O Mio Flamenko Karo’. Tafsir dan ide kreatif Angela Lopez sangat menarik.
Ell-Phant, penampil keempat dalam MTB 2013. Keempat personilnya berasal dari suku Batak Toba yang saat ini sedang studi di Jurusan Musik ISI Yogyakarta. Mereka mengangkat berbagai unsur musik tradisi Batak dalam ‘De-Diapenta Batak’. Diapenta merupakan singkatan dari Diatonis dan Pentatonis, dua skala nada yang mereka gunakan dalam karya ini. Sebuah pembahasaan tradisi yang segar. Ell-Phant juga berkreasi dengan memakai botol sebagai sumber bunyi perkusif serta melodi biola, suling Batak, dan piano.
Angela Lopez dari Spanyol memainkan piano, menyuguhkan ‘O Mio Flamenko Karo’
Alunade Gita Rahina penampil kelima, bereksplorasi dengan instrumentasi yang menarik. Ada gender, piano, kendang Sunda, gender, dan clarinet. Clarinet banyak memainkan nada-nada panjang di awal komposisi berjudul ‘Asmaranande’. Eksplorasi bunyi instrumen dari grup ini juga berlanjut pada instrumen saron yang ditabuh dengan stik mallet glockenspiel. Bunyi Saron menjadi berbeda walaupun tentu gaungnya tidak semaksimal ketika ditabuh dengan penabuh ‘aslinya’.
Setelah Alunade Gita Rahina, giliran grup Java Migran tampil, yang telah dibahas pada awal tulisan ini.
Penampil ketujuh yakni The Reason Day’Z, seorang beatmaker, musisi elektronik yang berkreasi dengan bunyi-bunyian saron, bonang, kendang dan diolah kembali dengan instrumen ‘komputer’. The Reason Day’Z juga memunculkan ide yang segar dan unik.
Penampil kedelapan adalah Kareba, grup dari Bandung yang menyuguhkan komposisi ‘Suara Alam’. Kareba mencoba menggabungkan instrumen Kecapi Sunda dalam alunan musik yang mereka sebut sebagai world Jazz.
Berikutnya tampil Alam Dewata Band dari pulau Bali. Alam Dewata menggabungkan instrumen tradisi Bali dan instrumen gitar elektrik, bas elektrik dan drum. Instrumen tradisi Bali yang mereka mainkan yakni gangsa pemade sangsih, gangsa pemade polos, cengceng ricik, kendang, dan suling Bali. Mereka juga memasukan unsur tari kecak dalam karya berjudul ‘Pulau Dewata’.
BWJ Youth merupakan penampil terakhir dalam Panggung Nominasi MTB 2013. Para musisi muda dari Bandung ini menyajikan karya berjudul ‘Musik Arwah’. Hal yang unik dari BWJ Youth, mereka tidak memakai satu pun instrumen tradisi Indonesia. Melalui vokal, keyboard, perkusi, drum, dan bass mereka berkolaborasi memadukan musik jazz, reggae, rap dengan nada-nada pentatonik seperti laras Madenda dari Sunda dan juga mengangkat ritme-ritme perkusi Nusantara. BWJ Youth, muda, segar dan atraktif.
Penampilan The Reason Day's, beat maker hip hop
yang menggali bunyi-bunyian instrumen tradisional
Dengan berakhirnya penampilan dari BWJ Youth, berakhir pula Panggung Nominasi MTB 2013. Ada satu hal yang berbeda di Panggung Nominasi MTB tahun ini. Audiens dilibatkan langsung dalam proses apresiasi.
Sejak awal tim foMbi membagikan lembar apresiasi kepada para audiens agar mereka bisa menuliskan apresiasinya mengenai para penampil dalam Panggung Nominasi MTB 203. Sehingga di tahun ini bisa dikatakan ada sinergi yang kuat antara para musisi, pengamat musik, dan audiens. Semua menjadi satu kesatuan dalam proses kreatif yang berlangsung dalam MTB 2013.
Panggung Nominasi MTB tahun ini menghadirkan 3 pengamat musik, yakni Norbertus Nuranto-direktur Tembi Rumah Budaya, Rizaldi Siagian–etnomusikolog, dan Frans Sartono–wartawan Harian Kompas.
Dalam sebuah perbincangan, Norbertus Nuranto mengatakan bahwa dari tahun ke tahun MTB merupakan sebuah laboratorium kreatif untuk berbagai ide yang segar dengan semangat bermain-main. “Ini adalah proses menjadi. Menjadi apa? Itu soal nanti. Yang penting bermain saja”, begitu ujarnya.
Sedangkan Frans Sartono mengamati bahwa MTB 2013 bukanlah ritus kompetisi. Semua yang berpartisipasi mencoba kreasi masing-masing dan menyajikan dengan cara mereka sendiri. Inilah sebuah model apresiasi yang sehat. Sedangkan Rizaldi Siagian mengemukakan bahwa MTB merupakan ajang yang sangat menarik, karena pada dasarnya kebudayaan adalah ‘proses menjadi’, yang berjalan terus menerus. Lintas waktu masa lalu, kini dan masa depan.
Maka biarlah program Musik Tradisi Baru dalam rangkaian Festival Musik Tembi dari tahun ke tahun menjadi sebuah laboratorium kreasi yang terbuka dengan berbagai gagasan yang segar dan menarik. Ayo, mari berkreasi bersama di sini!
Nonton yuk ..!
Naskah & foto: Gardika Gigih Pradipta
Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net/