Langgar Berumur Lebih dari 200 Tahun di Dusun Mangir, Bantul, Yogyakarta
Langgar yang dibuat dengan bahan kayu-bambu di desa-desa yang umumnya dikerjakan secara sederhana, justru menampilkan kebersahajaan yang khas. Namun di balik itu, langgar yang demikian itu ternyata cukup nyaman untuk digunakan.
Ruang utama Langgar Kuno Mangir, dan sang pemilik, Subakri
Langgar, surau, atau mushala mengandung pengertian sebagai bangunan untuk tempat ibadah bagi umat Islam dalam ukuran yang relatif kecil dan sederhana, lebih kecil ukurannya dibandingkan masjid. Pada masa lalu ketika penduduk belum begitu banyak, surau atau langgar sudah dapat menampung atau mencukupi kebutuhan peribadatan warga sekitar atau setempat.
Kini surau atau langgar mungkin sudah relatif sedikit jumlahnya, terutama di Jawa. Mushala justru lebih banyak kita temukan karena umumnya mushala dibangun sebagai kelengkapan dari sebuah kompleks bangunan (kantor, kampus, rumah keluarga, sekolah, pondokan, dan sebagainya).
Dari sekian langgar yang tersisa, ada salah satu langgar yang berusia tua yang terletak di Dusun Mangir Tengah, Kelurahan Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, Provinsi DIY. Langgar ini terbuat dari kayu dan bambu serta berdinding gedhek (anyaman bambu).
Langgar ini berada di pekarangan rumah Subakri (64). Menurut Subakri konstruksi utama (balungan) langgar tersebut telah berusia lebih dari 200 tahun. Langgar itu dulu didirikan oleh leluhurnya yang bernama Darmo Karyo Dasiran.
Langgar sederhana ini seperti umumnya langgar yang lain dibuat dengan sistem rumah panggung. Lantai dari langgar ini berupa susunan papan yang kemudian dilapisi kepang (anyaman bambu) dan tikar di bagian atasnya. Tinggi lantai langgar dari tanah sekitar 75 cm. Ukuran langgar sekitar 5 m x 4 m.
Bangunan langgar dilihat dari sisi selatan
Dulu langgar di Mangir Tengah ini relatif ramai digunakan oleh warga sekitar. Akan tetapi setelah terdapat bangunan masjid di wilayah tersebut dan juga mushala, langgar ini lebih banyak digunakan oleh keluarga Subakri sendiri.
Ada nuansa yang berbeda antara langgar atau mushala yang dibangun dengan bahan kayu dan bambu, dibandingkan dengan langgar atau mushala yang terbuat dari semen, bata, batu, dan lantai keramik. Langgar yang dibuat dengan bahan kayu-bambu di desa-desa yang umumnya dikerjakan secara sederhana, justru menampilkan kebersahajaan yang khas. Namun di balik itu, langgar yang demikian itu ternyata cukup nyaman untuk digunakan.
Bangunan sederhana semacam itu akan terasa relatif hangat di musim penghujan. Akan tetapi juga cukup sejuk di musim kemarau. Mungkin hal itu disebabkan karena dinding gedhek memiliki pori-pori yang besar sehingga menjadi semacam ventilasi-ventilasi kecil di seluruh dinding (bangunan).
Selain itu sifat kayu memang tidak dapat menyerap dan menyimpan dingin dalam waktu lama. Kayu dan bambu juga bukan penghantar panas yang baik sehingga di musim panas tetap akan memberikan rasa sejuk.
Langgar dilihat dari bagian belakang
A. Sartono
Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net - Rumah Sejarah dan Budaya
Baca Juga Artikel Lainnya :
- Makam Hastarengga Kotagede Seluas Setengah Hektar(21/02)
- Petilasan Pohon Timo(14/02)
- Istana Bogor Punya 360 Patung(08/02)
- Masjid Quwwatul Islam, Dulu Bernama Surau Kalimantani(07/02)
- Kyai Slamet, Abdi Setia Sultan Agung(31/01)
- Raden Ayu Kencanasari dan Berdirinya Masjid Pucanganom (IV)(17/01)
- Raden Ayu Kencanasari dan Berdirinya Masjid Pucanganom (III)(10/01)
- Raden Ayu Kencanasari dan Berdirinya Masjid Pucanganom (II)(08/01)
- Raden Ayu Kencanasari dan Berdirinya Masjid Pucanganom (1)(20/12)
- MASJID KAUMAN PIJENAN (3)(13/12)