Raden Ayu Kencanasari dan Berdirinya Masjid Pucanganom (III)

Ketika ditinggalkan Nyai Pucanganom (RA. Pucangsari) dalam kondisi hamil sekitar enam bulan. Kepergian Kyai Pucanganom yang cukup lama membuat Nyai Pucangsari mencarinya. Ketika ketemu Kyai Pucanganom tidak mau kembali, dan bahkan ia telah menikahi wanita lain di daerah Bagelen.

Masjid Pucanganom, foto: Sartono
Kondisi terakhir Masjid Pucanganom setelah berulang kali mengalami renovasi

Dusun Sogan atau Soge yan baru saja didirikan oleh Raden Ayu Pucangsari ternyata merupakan wilayah yang selalu tergenang banjir, terutama saat musim penghujan. Oleh karena itu, RA. Pucangsari berniat membuka dusun baru. Ia membuat dusun baru dengan bantuan orang-orang sekitar. Cara membuka dusun dengan membakar hutan yang dalam bahasa Jawa disebut dengan melagar (membakar). Berdasarkan sebutan itu kemudian lahirlah Dusun Klagaran.

Sisa pembakaran hutan (abu dan arang) yang oleh orang Jawa disebut sebagai tegesan berjumlah sangat banyak. Berdasarkan hal itu kemudian lahir pula Dusun Tegesan. Selain itu, ternyata sisa api dari pembakaran hutan itu merembet kemana-mana. Orang-orang pun kebingunan untuk memadamkannya. Akhirnya dengan bergotong royong mereka menyirami api tersebut dengan air. Aktvitas menyirami api dengan air sering disebut sebagai menggunturi api. Berdasarkan hal ini kemudian lahir pula Dusun Guntur Geni.

Setelah peristiwa itu, Kencanasari bermukim pada sebuah dusun tidak jauh dari dusun-dusun tersebut. Di tempat pemukiman baru ini Kencanasari kedatangan seorang pengembara yang bernama Kyai Pucanganom. Keduanya kemudian menikah. Setelah menikah Kyai Pucanganom juga dikenal dengan nama Kyai Pucangsari. Sedangkan dusun tempat mereka berdua bermukim kemudian dikenal dengan nama Dusun Pucanganom.

Suatu ketika Kyai Pucanganom meninggalkan dusun untuk mengembara. Ketika ditinggalkan Nyai Pucanganom (RA. Pucangsari) dalam kondisi hamil sekitar enam bulan. Kepergian Kyai Pucanganom yang cukup lama membuat Nyai Pucangsari mencarinya. Ketika ketemu Kyai Pucanganom tidak mau kembali, dan bahkan ia telah menikahi wanita lain di daerah Bagelen. Di sana pula Kyai Pucanganom membuka dusun baru yang juga dinamakan Dusun Pucanganom. Kepada Nyai Pucangsari, Kyai Pucanganom memberikan wasiat nama bagi calon bayi yang dikandung Nyai Pucangsari. Nama yang diwasiatkan adalah Murtisari. Oleh karena itu putra dari Kyai Pucanganom-Nyai Pucangsari ini dinamakan Murtisari.

Masjid Pucanganom, foto: Sartono
Mustaka masjid yang konon masih asli

Setelah beberapa tahun hidup bersama Murtisari, Nyai Pucangsari kedatangan saudaranya yang bernama Syeh Jambikarang. Syeh Jambikarang pun telah meninggalkan Majapahit dan cukup lama mengembara. Akan tetapi setelah sampai di Pucanganom dan bertemu dengan saudaranya itu Syeh Jambikarang kemudian menyatakan akan menetap di Pucanganom. Di tempat ini ia menyiarkan agama Islam.

Saat Murtisari berusia 10 tahun wilayah Pucanganom kedatangan guru agama Islam lain yang bernama Syeh Mukharom, yang berasal dari Kulon Progo. Bertepatan dengan usia 10 tahun Murtisari, orang yang bertahta di Mataram waktu itu adalah Sultan Agung Hanyakrakusuma. Pada masa pemerintahannya itulah Sultan Agung Hanyakrakusuma meminta pada punggawanya untuk secara diam-diam meletakkan sebuah mustaka masjid dan sebuah jambangan besar di salah satu sudut Dusun Pucanganom. Orang pun heboh demi mendapatkan kedua benda yang mereka anggap sebagai mustaka dan jambangan tiban (ada begitu saja).

Mustaka dan jambangan itu akhirnya dipindahkan ke pekarangan rumah Nyai Pucangsari. Adanya mustaka dan jambangan tiban itu kemudian ditanggapi oleh Nyai Pucangsari dan seluruh warga dusun tersebut sebagai sasmita (pertanda) bahwa warga setempat diminta untuk membuat sebuah masjid.

Masjid pun akhirnya dibangun dengan cara gotong royong. Mustaka pun diletakkan di atas kemuncak masjid. Sementara jambangan digunakan untuk menampung air yang digunakan untuk berwudu. Lokasi pendirian masjid berada di sisi timur-utara rumah Nyai Pucangsari. Ditengarai masjid tersebut didirikan tahun 1630.

bersambung

Sartono

Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta