Pesanggrahan Parangtritis yang Tak Berbebas

18 Jun 2015

Oleh karena wujud fisik dari Pesanggrahan Parangtritis tidak lagi diketahui (hilang), maka rekonstruksi imajinasi atas wujud fisik petilasan ini hanya bisa dilakukan dengan membaca teks yang menceritakan hal itu. Selain itu, pengamatan di lapangan yang dilakukan penulis mungkin juga akan dapat sedikit membantu.

Secara administratif Pesanggarahan Parangtritis terletak di Dusun Mancingan, Kelurahan Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi ini dapat dijangkau melalui Pojok Beteng Wetan ke arah selatan masuk Jalan Parangtritis terus ke selatan hingga sampai Pantai Parangtritis. Lokasi Pesanggrahan Parangtritis tepatnya berada di kompleks Terminal Bus Pantai Parangtritis (sekarang).

Pesanggrahan Parangtritis bisa dikatakan sudah tidak berbekas. Lokasi pesanggrahan ini telah berubah menjadi terminal bus. Sekalipun demikian tulisan nama Pesanggrahan Parangtritis masih dapat ditemukan, setidaknya di sisi barat terminal bus. Tulisan tersebut dipasang di atas loket kompleks kolam renang yang dulu merupakan satu kompleks dengan Pesanggrahan Parangtritis.

Oleh karena wujud fisik dari Pesanggrahan Parangtritis tidak lagi diketahui (hilang), maka rekonstruksi imajinasi atas wujud fisik petilasan ini hanya bisa dilakukan dengan membaca teks yang menceritakan hal itu. Selain itu, pengamatan di lapangan yang dilakukan penulis mungkin juga akan dapat sedikit membantu.

Menurut penjaga kolam peninggalan Tuan John Kersch yang juga sekaligus jurukunci Gua Panepen yang bernama Warji (65), Pesanggrahan Parangtritis memang sudah tidak ada bekasnya. Ia menunjukkan mungkin rumah panggung di belakang kompleks kolam renang yang dijaganya dulu merupakan bagian dari kompleks Pesanggrahan Parangtritis. Menurut cerita orang-orang tua yang didengarnya, Pesanggrahan Parangtritis dulu berada di tempat yang sekarang menjadi Terminal Bus Parangtritis. Sedangkan mengenai wujudnya ia sendiri tidak mengetahuinya. Sejauh pengamatan penulis, memang tidak ditemukan lagi peninggalan yang bisa menjadi bagian dari pengidentifikasian tentang Pesanggrahan Parangtritis kecuali tempatnya yang kini telah menajdi terminal bus.

Tempat beristirahat

Berita mengenai Pesanggrahan Parangtritis pernah dimuat dalam buku yang berjudul Pesanggrahan Parangtritis karya Raden Ngabei Djajalana yang diterbitkan oleh Batavia Centruum pada tahun 1933. Hal Pesanggrahan Parangtritis juga pernah dicoba direkonstruksi oleh Bentara Budaya Yogyakarta dalam wujud pameran foto-foto lama dan baru. Apa yang dilakukan oleh Bentara Budaya itu juga mengacu pada buku karya R. Ng. Djajalana. Untuk itu Bentara Budaya Yogyakarta juga menerbitkan buku berjudul Pesanggrahan Parangtritis 1933-2011.

Nama Pantai Parangtritis juga berasal dari nama Pesanggrahan Parangtritis. Disebutkan dalam buku terbitan Bentara Budaya itu bahwa nama Pantai Parangtritis berasal dari istilah parang dan tritis. Parang berarti batu karang dan tritis adalah air yang menetes dari atau di tritisan (bagian paling ujung depan dari atap rumah/serambi).

Diceritakan bahwa pada masa lalu di Pantai Parangtritis terdapat pesanggrahan, yakni semacam bangunan bali yang tampaknya difungsikan untuk tempat beristirahat dan menikmati suasana alam pantai selatan. Pesanggrahan tersebut menghadap ke arah selatan (menghadap pantai) sementara di bagian belakang merupakan kebun yang ditumbuhi banyak pohon kelapa. Bagian depan pesanggrahan ini adalah berupa jalan kampung yang sekarang menjadi jalan utama di wilayah tersebut.

Pada sisi barat pesanggrahan terdapat mata air (umbul) yang airnya kemudian mengalir melewati Bukit Senara (senara adalah intisari stalaktit dan stalagmit). Mata air tersebut dinamakan Umbul Payung. Air tersebut kemudian jatuh menimpa bebatuan yang kemudian memantul ke atas dan jatuh di tritisan pesanggrahan. Oleh karena peristiwa inilah maka pesanggrahan itu kemudian dinamakan Pesanggrahan Parangtritis. Pantai yang membentang di sisi selatannya pun kemudian dinamakan Pantai Parangtritis. Air dari tritisan ini kemudian jatuh ke kolam yang ada di sisi pesanggrahan. Disebutkan bahwa suara air yang jatuh ini menimbulkan bunyi cling-clong kumarenceng sehingga menimbulkan ketenteraman hati yang mendengarnya.

Tidak ada yang mengetahui siapa sesungguhnya yang telah mendirikan Pesanggrahan Parangtritis. Akan tetapi setidaknya pantai ini telah dikenal pada zaman Panembahan Senopati pada kisaran abad ke-16 karena pada saat Panembahan Senopati akan mendirikan Keraton Mataram ia sering melakukan semadi di kawasan ini khususnya di Parangkusuma.

Dijaga abdi dalem

Pada zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwana V (1822-1826) pesanggrahan (lama) yang letaknya dekat dengan Umbul Payung tersebut dinamakan Bale Kencur. Di dekat Bale Kencur kemudian dibangun pesanggrahan baru yang lebih besar yang dimaksudkan sebagai tempat istirahat keluarga keraton jika mereka berkunjung ke kawasan Parangtritis. Pada waktu itu pesanggrahan yang dibangun atas restu Sultan Hamengu Buwana V ini dilengkapi juga dengan perabot rumah tangga yang lengkap serta dijaga oleh abdi dalem keraton yang dikepalai oleh seorang demang. Demang ini mendapatkan gaji berupa sawah pelungguh yang dinamakan narawita. Hasil dari sawah tersebut disimpan dan akan dipersembahkan kepada keluarga keraton jika keluarga keraton datang di pesanggrahan/Pantai Parangtritis. Pada masa itu demang tersebut berpangkat penatus.

Disebut-sebut bahwa sebelum Sultan Hamengku Buwana VII diangkat menjadi sultan, ia berkunjung ke Parangtritis. Bahkan disebutkan pula bahwa ia pernah tinggal di Parangtritis selama 30 hari. Oleh karena itu ia cukup akrab dengan warga Mancingan saat itu. Ia juga gemar berburu babi hutan (celeng) bersama warga setempat. Biasanya celeng ini diburu dan ditangkap hidup-hidup untuk kemudian diadu dengan anjing atau kambing bandot yang tanduknya telah dilapisi dengan besi yang tajam. Hanya saja setelah Sultan Hamengku Buwana VII (1855-1877) naik tahta ia tidak pernah lagi datang ke Parangtritis. Pada akhirnya orang yang berkunjung ke Parangtritis bukan hanya orang Jawa saja, namun juga orang-orang asing pun mulai berdatangan ke pantai ini. Pesanggrahan Parangtritis dan Bale Kencur kemudian semakin diperbaiki.

Pada tahun 1890 peraturan penjagaan Pesanggrahan Parangtritis diubah. Antara lain bahwa orang yang menjaga pesanggrahan digantikan oleh seorang mandor yang digaji oleh Gupremen (pemerintah Hindia Belanda). Selain itu, sawah pelungguh ditarik kembali dan hasil dari sawah itu masuk ke Gupremen. Kuli untuk menjaga dan memperbaiki pesanggrahan juga ditiadakan. Jika ada perbaikan pesanggrahan biayanya ditanggung oleh Gupremen. Akan tetapi jika ada kunjungan, gugur gunung (gotong royong) tetap diberlakukan.

Setelah tahun 1929 pesanggrahan kembali diminta oleh Keraton Yogyakarta. Sedangkan pengelolaannya dikuasakan kepada seorang bendara pangeran yang masih adik sultan sendiri, sementara mandor digaji oleh keraton.

Naskah dan foto: asartono 
sumber: 
1. Wawancara dengan jurukunci Gua Panepen, Parangtritis, Kretek, Bantul 
2. Buku Pesanggrahan Parangtritis 1833-2011 terbitan Bentara Budaya Yogyakarta, 2011

Di sekitar bangunan inilah Pesanggrahan Parangtritis pernah berdiri, difoto: Selasa, 12 Mei 2015, foto: a.sartono Tulisan Pesanggrahan Parangtritis yang ditempel pada lokasi ini menegaskan bahwa di tempat itu pernah berdiri Pesanggrahan Parangtritis, difoto: Selasa, 12 Mei 2015, foto: a.sartono Terminal bus Parangtritis dulunya merupakan lokasi berdirinya Pesanggrahan Parangtritis, difoto: Selasa, 12 Mei 2015, foto: a.sartono Suasana gerbang terminal bus Parangtritis dan sekitarnya difoto dari arah tenggara, difoto: Selasa, 12 Mei 2015, foto: a.sartono EDUKASI

Baca Juga

Artikel Terbaru

  • 18-11-15

    Sebaran Batu Lumpang

    Ada relatif banyak lumpang batu yang ditemukan di Bantul. Sebagian diamankan di Museum Purbakala Pleret, namun sebagian lagi masih tersebar di... more »
  • 18-11-15

    Bibit-bibit baru Pem

    Jumlah film yang masuk ke panitia Kompetisi Film Pendek ada 183 buah. Karya-karya tersebut, 70% berasal dari luar Jakarta. Film-film tersebut... more »
  • 17-11-15

    Jakarta Biennale 201

    Gelaran seni rupa dua tahunan Jakarta Biennale kembali hadir, mengusung tema Maju Kena Mundur Kena : Bertindak Sekarang. Jakarta Biennale 2015 ingin... more »
  • 17-11-15

    Aturan Sewa Menyewa

    Buku mengenai aturan sewa menyewa tanah di Kerajaan Surakarta ini memang terlihat sudah lawas. Maklum, buku berbahasa Belanda ini terbitan Yogyakarta... more »
  • 16-11-15

    Godlob Dipentaskan D

    Cerpen ini menarasikan dan menampilkan tokoh-tokoh yang berkubang dalam tragedi kemanusiaan berupa perang. Setting tempatnya adalah medan pertempuran... more »
  • 16-11-15

    Sawitri (2): Meningg

    Sawitri sangat kagum kepada pola pikir serta sikap hidup Setiawan dalam menghadapi tragedi kehidupan. Oleh karenanya dalam hati Sawitri berani... more »
  • 16-11-15

    Peresmian Patung Sap

    Untuk mengenang jasa Sapto Hoedojo, tepat pada hari pahlawan, 10 November 2015, di pelataran Giri Sapto, diresmikan patung Sapto Hoedojo. Patung ini... more »
  • 16-11-15

    Entek Alas Entek Oma

    Peribahasa ini bermaksud menggambarkan keadaan atau situasi tentang orang yang sudah kehabisan kekayaan atau harta sehingga ia tidak punya apa-apa... more »
  • 14-11-15

    Tapa Ngali Sebagai A

    Sebagai awalan dari rencana “merti sungai” oleh warga Dusun Glondong, Kelurahan Pakembinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, yang akan... more »
  • 14-11-15

    Selasa Kliwon Hari B

    Selasa Kliwon, 17 November 2015, kalender Jawa tanggal 4, bulan Sapar, tahun 1949 Jimawal, hari baik untuk berbagai macam keperluan. Namun tidak baik... more »