DIALOG DAN GELAR SENI "YOGYA SEMESTA" SERI-46 ISTIMEWA
Komunitas Budaya “Yogya Semesta” kembali menggelar dialog budaya dan gelar seni di Pendapa Wiyatapraja, Kompleks Kepatihan, Danurejan, Yogyakarta. Acara kali ini merupakan acara seri yang ke-46. Ada pun tema yang diusung adalah “Strategi Kebudayaan Membangun Karakter Bangsa Menuju Kesejahteraan”. Kegiatan ini didukung oleh SKH Kedaulatan Rakyat dan BPD DIY. Acara dilangsungkan hari Selasa, tanggal 6 Desember 2011 mulai jam 16.30-23.00 WIB.
Acara dialog ini menghadirkan Prof. Ir. Wiendu Nuryanti, M.Arch., Ph.D yang menjabat sebagai Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan. Selain itu dihadirkan pula narasumber lain, di antaranya Prof. Dr. Ir. Budi WignyosukartoDiplHE (Staf Ahli Gubenur DIY), Prof. DR. Heddy Shri Ahimsa Putra (Guru Besar FIB-UGM), Prof. Marsono, SU. (Guru Besar FIB-UGM), Kyai H. Muhammad Jazir ASP (MUI DIY), Indra Tranggono (Budayawan/Kritikus), Dr. Hari Untoro Drajat (Staf Ahli Mendikbud), Prof. M. Mochtar Mas’oed (Guru Besar Fisipol UGM), Prof. DR. Gunawan MPd. (Kepala PSP-UGM), KRT. Jatiningrat (Kraton Yogyakarta), Ir. Yuwono Sri Suwito, MM. (Dewan Kebudayaan DIY), DR. Zuly Qodir (PSKP-UGM), DR. Y. Sari Murti Widiyastuti, SH. M.Hum. (Fak. Hukum Atma Jaya), DR. Ikaputra, MSc. (Ketua Komunitas Perencana UGM), Kwartini Wahyu Yunarti, Ph.D. (Fak. Psikologi UGM), dan lain-lain.
Sedangkan kesenian yang dipertunjukkan dalam rangkaian acara itu adalah Uyon-uyon, macapat, dan Tari Bedaya ”Sesaji Rajasuya” dengan koreografernya DR. Bambang Pujaswara, M.Hum. Acara dipandu oleh Hari Dendi selaku pengasuh Komunitas Yogya Semesta.
Prof. Ir. Wiendu Nuryanti, M.Arch., Ph.D. dalam paparannya menyatakan sambutan baiknya atas prestasi Yogya Semesta yang hingga kini telah melakukan serangkaian dialog budaya dan gerlar seni yang ke-46. Forum-forum semacam ini mampu memberikan makna atau nilai-nilai kehidupan yang luas dan bukan hanya melulu soal kebudayaan. Forum semacam ini mampu membuka cakrawala baru yang jangkauan implikasi gagasannya bisa jauh ke depan dalam dimensi kehidupan nyata.
Wiendu Nuryanti menyarankan agar dialog budaya semacam ini bisa diwujudkan di seluruh Indonesia dalam intensitas yang sebanyak-banyaknya. Dengan demikian dapat digali berbagai nilai yang berguna untuk pilar-pilar kebudayaan di Indonesia. Seperti sebuah rumah, rumah budaya Indonesi membutuhkan pilar-pilar sebagai penopangnya. Pilar-pilar itu dapat dipilahkan menjadi lima, di antaranya: Pilar Karakter, Pilar Warisan Pusaka Budaya, Pilar Karya dan Diplomasi Budaya, Pilar Sumber Budaya dan Kelembagaannya, dan Pilar Pendidikan. Semua pilar ini wajib ada.
Sekalipun Pilar Pendidikan dapat dikatakan sebagai salah satu pilar, namun Pilar Pendidikan memiliki peran atau fungsi yang sangat strategis sebab melalui pendidikanlah berbagai nilai, pengetahuan, dan keterampilan itu disalurkan atau dialihkan. Melalui pendidikan pulalah seseorang itu ”dibentuk”. Pun juga dari sisi karakternya. Pendidikan itu sendiri tidak terbatas di bangku sekolah, namun juga di tengah keluarga, organisasi, masyarakat, dan sebagainya.
Pada sisi lain pendidikan yang terjadi di Indonesia kini lebih bersifat pengetahuan kognitif saja (knowledge). Bahkan di bidang pendidikan agama pun demikian. Pendidikan agama hanya sebatas pelajaran agama saja. Sangat teknis. Bukan atau belum sampai pada nilai-nilai agama yang dapat dipraktekkan dalam kehidupan keseharian. Berkait dengan itu pula nilai-nilai semacam rela berkorban, kesatuan dan persatuan, serta kesetiakawanan itu menjadi mengabur.
Berbicara tentang kebudayaan ada pula sisi kelemahan di dalam diri bangsa Indonesia, yakni tidak merasa bahwa di dalam dirinya memiliki ”sesuatu” yang luar biasa. Kita memiliki sekian banyak warisan pusaka budaya, namun sayangnya kita tidak pernah ”mengenal dan mengetahui” hal itu. Kita tidak mengerti dan bahkan tidak percaya diri akan hal itu. Hal demikian menjadikan kita gagap dan terbata-bata ketika harus berhadapan dengan nilai-nilai budaya baru (luar). Hal seperti ini juga menjadikan kita tidak bisa mengerti seberapa banyakatau seberapa dalam nilai-nilai yang dapat diambil dari kebudayaan kita sendiri yang kemudian dapat diformulasikan menjadi unsur pembangun karakter itu.
Dalam bagian akhir dari makalahnya Hari Dendi menuliskan bahwa strategi kebudayaan membangun karakter bangsa menuju kesejahteraan adalah membangun dan menguatkan keindonesiaan dengan mengembangkan media saling sapa antarbudaya-budaya etnik sebagai titik awal untuk membangun dialog budaya yang saling merekatkan kebudaan masing-masing melalui proses yang bernilai dan elegan dari keminangan (Minang), kefloresan (Flores), dan seterusnya.
Mungkin perlu dikemukakan juga pertanyaan-pertanyaan berikut, apakah kebijakan politik kita mengandung strategi kebudayaan yang membawa kesejahteraan ? masih konsistenkah relasi filosofi Pancasila, sistem hukum dan praktek berbangsa kita ? Apakah benar demokrasi yang kini sedang berjalan bisa mengantarkan kita ke arah kesejahteraan ?
a.sartono
Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net/
Baca Juga Artikel Lainnya :
- Sempulur (07/12)
- TAMAN WISATA SUNGAI WINONGO BAGIAN DARI REVITALISASI SUNGAI DI JOGJA(07/12)
- SHADOW LINES INDONESIA MEETS INDIA(06/12)
- MURUKI BEBEK NGLANGI(06/12)
- DOLANAN LUMPAT TALI(06/12)
- SIMON HATE DALAM PERCERAIAN ADAM DAN HAWA(05/12)
- SENAM BARAHMUS DI AKHIR 2011(03/12)
- Denmas Bekel(03/12)
- MENGENANG 1000 HARI RAMA TAN DAN MENEMUKAN SPIRITUALITAS PETANI(02/12)
- Anjani(02/12)