SHADOW LINES: INDONESIA MEETS INDIA
Judul di atas merupakan tema Biennale Jogja XI, yang diselenggrakan dari tanggal 26 Nopember sampai 8 Januari 2012. Biennale, edisi ini memiliki muatan dialog budaya dua Negara, dalam hal ini India dan Indonesia. Negara ini mamang ‘kawan lama’ dari Indonesia. Dan untuk Nusantara, atau setidaknya Jawa, India bukanlah ‘wilayah asing’. Karena banyak simbol-simbol budaya yang ada di Indonesua mempunyai kemiripan dengan India. Tapi, bukan berarti, secara kultural, Indonesia mengambil oper sepenuhnya simbol-simbol budaya India. Di Yogya, kita tahu, ada banyak candi-candi, namun bukan sepenuhnya mengcopy dari simbol budaya dari India.
Beinnale XI mengundang 40 seniman, 25 seniman diantaranya dari Indonesia dan 15 seniman dari India. Dua bangsa dari dua Negara, masing-masing, sebut saja ‘diwakili’ seniman, mencoba melakukan ‘dialog budaya’ melalui karya. Setidaknya mempertemukan dua karya dari latar belakang yang berbeda, namun memiliki spirit yang, hampir-hampir sama, meski corak dan substansi nilanya berbeda.
Menyangkut tema pameran, panitia Biennale XI menuliskannya pada buku panduan, yang bisa dibaca oleh banyak orang. Untuk netter Tembi, kita kutipkan apa yang dikatakan itu:
“Shadow Lines, edisi pertama dari seri Biennale Equator menyaran pada garis yang membawa orang-orang saling berkumpul dan saling terpisahkan: juga merujuk pada batas geo-politis dan penciptaan Negara modern di Asia Selatan. Dengan menjangkau tema ‘religiositas, spiritualitas dan kepercayaan’, Biennale Jogja berupaya untuk mempresentasikan cara-cara di mana seniman dari dua Negara mengalamatkan dan menafsirkan kondisi terkini mereka, dipantulkan dari pengalaman personal mereka, dan juga oleh struktur politik di Negara di mana mereka hidup”
Biennale memang diperuntukkan untuk mempresentasikan perkembangan seni rupa dalam setiap dua tahun. Artinya, karya seni rupa yang dihadirkan di Biennale, setidaknya untuk menunjukkan gejala perkembangan seni rupa yang sedang terjadi dan selama 2 tahun kedepan gejala perkembangan itu akan terus ‘hidup’, yang kemudian akan dilihat lagi gejala perkembangan dua tahun sesudahnya.
Kita tahu, seni rupa bukan hanya seni lukis, tetapi telah berkembang demikian pesat, sehingga batas-batas seni rupa menjadi meluas dan banyak hal bisa (di)masuk(-kan) pada seni kotemporer. Karya video dokumenter bisa kita nikmati dalam Biennale ‘Shadow lines’ ini. Pada pameran ini, ada banyak karya instalasi bisa dilihat. Bahkan, sebagian besar, menampilkan seni instalasi, yang mungkin telah menjadi gejala dalam seni rupa kotemporer. Visual dari seni instalasi memang tidak terwadahi dalam kanvas, karena itu karya ini ‘keluar’ atau malah meninggalkan ‘kanvas’ untuk bertemu kepada publik. Kanvas dari instalasi bisa beripa tembok, langit-langit bangunan, lantai dan seterusnya.
Bagi yang terbiasa dengan seni lukis konvesional, barangkali akan tertegun melihat pameran seni rupa di Biennale XI. Selain tertegun, mungkin juga tidak tahu. Kalau ada yang berdecak, belum tentu ekspresi dari kekaguman, mungkin malah sebaliknya ungkapan dari rasa tidak tahu dan bingung.
Visual dari karya-karya yang dipamerkan, secara bentuk memang bisa dikenali, misalnya mesin ketik, orang tidur, ranjang tempat tidur dan lainnya. Namun, apa yang ‘dimaui’ dari karya itu, yang agaknya tidak segera ditangkap oleh yang melihatnya.
Misalnya, visual yang berupa mesin ketik, karya dari Christine Ay Tjoe, keterangan mengenai karya itu dituliskan seperti bisa disimak berikut:
“Karya ini berwujud mesin ketik mini berwarna perak, dengan delapan belas tuas yang menjulur panjang tanpa bantalan, mengesankan pencarian, tapi juga keseman-menaan. Hanya ada tiga aksara tersisa di ujung pengungkit itu, yakni G-O-D. Melalui rasa nyeri yang tajam pada ujung jari ketika mengetuk bilah-bilah yang telah kehilangan semua penandanya, tiga aksara di ujung pengungkit itu perlahan kita sadari keberadaannya. Penanda yang digunakan Christine lagi-lagi adalah ketukan-ketekukan ‘kebetulan’ yang menghasilkan komposisi bunyi atau musik yang berbeda-beda. Bunyi dihadirkan karena ketukan tuas tertentu di atas permukaan datar berbahan aluminium yang dilengkapi pemutar musik tersembunyi”.
Ini sekedar salah satu contoh seni instalasi yang dipamerkan pada Biennale XI. Sampai tanggal 8 Januari 2011, kita masih bisa melihat jenis karya yang lain dalam Biennale ini.
Ons Untoro
Artikel Lainnya :
Kuntz Agus Ayo Kembali Ke Bioskop(09/03) - 16 Agustus 2010, Kabar Anyar - ATRAKASI DARI BINATANG(15/08)
- 26 Januari 2011, Yogya-mu - ABON IKAN TUNA, SATU MAKANAN KHAS LAIN DARI JOGJA (26/01)
-
Kawasan wisata di nol kilometer Yogyakarta memang boleh dikatakan cukup banyak. Setidaknya di kawasan ini ada beberapa obyek wisata (obwis) seperti Gedung Agung, Malioboro, Kantor Pos Pusat, kantor BNI 46, Pasar Beringharjo, Museum Benteng Vredeburg, Taman Pintar, Taman Budaya, Museum Sonobudoyo, dan Kraton Kasultanan Yogyakarta. " href="https://tembi.net/cover/2010-03/20100318.htm">18 Maret 2010, Kabar Anyar - WISATA "3 IN 1" DI KAWASAN NOL KILOMETER YOGYAKARTA(18/03)- Gamelan Sekati, Tak Lekang Di Segala Zaman(11/02)
- Mengenang Jejak Perjuangan Diponegoro(20/10)
- Jl. KH. DAHLAN -NGABEAN TAHUN 1930(17/10)
- 7 September 2010, Djogdja Tempo Doeloe - GADIS JOGJA MASUK FUJINKAI 1944(07/09)
- 16 Agustus 2010, Klangenan - 65 TAHUN INDONESIA(16/08)
- Seni Pertunjukan Tradisional. Nilai, Fungsi dan Tantangannya(01/02)