Sinyo Semar Batal ke Kahyangan
Akhirnya Yamadipati, dewa pencabut nyawa, memutuskan untuk tidak kembali ke kahyangan sebagai wujud protesnya atas keputusan Guru dan Narada, pimpinan para dewa di kahyangan. Keputusan yang menghendaki Sumi, sinden di Dusun Watugundul, diboyong ke kahyangan. Bukan saja Yamadipati yang berani menyatakan penolakannya, Panjang juga demikian. Suami Sumi ini menolak keinginan Sumi untuk pindah ke kahyangan. Tanpa basa basi, dengan penuh emosi ia menggeret istrinya meninggalkan Narada dan Yamadipati.
Dalam dunia antroposentris dimana manusia diberi ruang untuk melawan dewa, penolakan ini lumrah saja. Apalagi kalau tampilan para tokoh ini beserta hirarkinya ternyata lebih merupakan cerminan realitas banal sosial politik. Jika memang begitu, pesan dari pementasan ini jadi lebih kena.
Dengan atmosfir kejawaan, lakon ‘Sinyo Semar’ dipentaskan di pendapa Tembi Rumah Budaya, 18 Juni lalu, oleh Komunitas Teater Pebel Universitas Ahmad Dahlan. Tembi yang terletak di Kabupaten Bantul menjadi persinggahan pertama dari pementasan keliling mereka di DIY. Setelah itu mereka tampil di Kulonprogo (21/6), Sleman (24/6), Gunung Kidul (26/6), dan Gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta di Kota Yogya (28/6).
‘Sinyo Semar’ merupakan singkatan dari Sinden Nyonya Semi ing Marcapada. Tidak ada makna terkait dengan istilah sinyo dan nama Semar kecuali singkatan judul ini jadi lebih menarik. Lakon ini diadaptasi dari naskah ‘Sinden’ karya Heru Kesawa Murti, disutradarai Erik Nandra Risman. Kisahnya mengenai keinginan Guru, pimpinan para dewa, untuk memboyong Semi, sinden kondang dari Desa Watugundul. Untuk itu ia mengutus Narada dan Yamadipati turun ke marcapada.
Semi digambarkan sebagai sinden yang ambisius. Ia diayomi oleh Raden Lurah Tanpa Sembada, yakni kepala desa Watugundul. Pak Lurah bukan orang yang bersih. Ia korup, dan diisyaratkan berselingkuh dengan Semi. Begitu pula 2 orang asistennya, Genjik dan Sawi juga korup. Ditambah lagi seorang wartawati yang datang mewawancarai pak Lurah ternyata gampang disuap agar menulis citra baik pak Lurah. Seorang warga yang suaminya gila gara-gara ‘diporoti’ Semi berdemo sebentar, lantas diam setelah diberi amplop oleh pak Lurah. Praktis tidak ada suara nurani yang konsisten mengingatkan, atau tokoh protagonis yang tampil menyuarakan kebenaran. Tak ada Semar dalam ‘Sinyo Semar’ ini. Bu Lurah yang mengancam akan membongkar praktik korupsi suaminya lebih didorong rasa cemburunya atas perlakuan pak Lurah terhadap Semi. Kecuali mungkin sikap Yamadipati yang ‘mbalelo’, yang mempertanyakan otoritas dewa untuk bertindak sewenang-wenang terhadap manusia, alih-alih Semi bukan tokoh yang bersih. Namun Yamadipati tidak sekaligus mengingatkan manusia atas kekeliruan mereka.
Walhasil, hanya secuil sikap Yamadipati ini menjadi pesan yang tertangkap di akhir pentas. Agar para pemimpin tidak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Sedangkan fragmen-fragmen yang mendominasi pementasan ini, yakni segala macam perilaku pak Lurah terkait dengan tudingan istrinya, wawancara dengan wartawati, dan demo beberapa warga terhadap Semi yang dibela pak Lurah, agaknya lebih merupakan cerminan praktik kekuasaan yang ada. Praktik yang bisa jadi, tanpa tokoh protagonis, baik-baik saja bagi sebagian penonton.
Penjajaran fragmen-fragmen yang senada ini tanpa konflik yang setimpal bisa terpeleset jadi membosankan. Utamanya karena bangunan konflik tampaknya memang tidak ditegaskan. Sebagai daya tarik, kelucuan-kelucuan situasional dimunculkan berulang kali. Meski beberapa di antaranya, seperti polah anak-anak Panjang dan Sumi, terasa tempelan, tidak mendukung integralitas lakon. Untungnya ada akting bicara dan gesture pak Lurah yang cukup lentur dengan gaya karikaturalnya yang bisa membangun suasana.
Kelemahan penggarapan bangunan ketegangan ini berdampak pada klimaks pementasan yang tidak menggigit. Sikap Yamadipati yang seharusnya bisa jadi gong tidak dioptimalkan. Tak ada konflik atas sikapnya sehingga seperti berlalu begitu saja. Open endingnya terasa kurang bertenaga untuk memancing renungan para penonton. Kehadiran “Semar”, dengan kekentalan nilainya, tak terasakan dalam ‘Sinyo Semar’ ini.
Namun secara keseluruhan, pementasan ini terasa enteng mengalir. Tak terasa kekikukan, asyik saja.
Teks : barata
Foto : Sartono
Artikel Lainnya :
- TOMBAK GUNUNGAN TANGGUH MADURA(05/11)
- EMBER BAMBU DI MASA LALU(26/05)
- 5 Januari 2011, Yogya-mu - BROWNIES SALAK PONDOH: OLEH-OLEH KHAS JOGJA YANG MASIH KINYIS-KINYIS (1)(05/01)
- Peperangan Kerajaan di Nusantara. Penelusuran Kepustakaan Sejarah(30/06)
- MENGENANG DICK HARTOKO, MENGINGAT TANDA-TANDA ZAMAN(23/05)
- PENJUAL BUNGA TABUR DI YOGYAKARTA(01/01)
- Sing Nyilih Kudu Mbalekake Sing Utang Kudu Nyaur(02/10)
- Memilih Hari dan Tanggal untuk Berpergian(12/01)
- MELONGOK ANCOLNYA JOGJA(24/02)
- Memilih Hari Untuk Minggu Depan(26/07)