- Beranda
- Acara
- Berita Budaya
- Berita Tembi
- Jaringan Museum
- Karikatur
- Makan Yuk
- Temen
- Tentang Tembi
- Video Tembi
- Kontak Kami
Berita-budaya»MENGENANG DICK HARTOKO, MENGINGAT TANDA TANDA ZAMAN
23 May 2011 07:06:00Dick Hartoko, atau yang akrab dipanggil Romo Dick memang telah tiada 10 tahun yang lalu. Namun orang tidak akan pernah lupa terhadap Romo Dick. Bukan karena dia membantu banyak orang, tetapi apa yang telah dia tuliskan di majalah Basis yang diasuhnya dalam rubrik ‘Tanda-Tanda Zaman’ disukai oleh pembaca basis. Rubrik dihalaman pertama dan ditulis secara singkat, menyoroti banyak hal yang terjadi di negeri ini. Bahasanya sederhana dan mudah dimengerti semua kalangan.
Untuk kembali mengenang Dick Hartoko, Sabtu malam (21/5) lalu di Karta Pustaka, Yogyakarta diselenggarakan satu acara yang diberi tajuk ‘Mengenang dan Mengenal Romo Dick Hartoko’. Kata mengenal disertakan lebih diperuntukkan bagi anak-anak muda yang lahir tahun 1985 keatas dan kurang mengenal, atau bahkan tidak mengenali Romo Dick Hartoko. Namun salah seorang anak muda, yang ikut mengisi acara. Kusen Alipah Hadi namanya, menyebutkan, bahwa mustahil orang yang tinggal di Yogya tidak mengenal Romo Dick Hartoko. Ya, kiranya begitu, kalaupun tidak mengenal, setidaknya mendengar nama Dick Hartoko.
Acara mengenal Dick Hartoko, yang utama diisi dengan membaca ‘Tanda-Tanda Zaman’ atau yang sering disingkat menjadi TTZ. Karena ada banyak tulisan TTZ, setidaknya yang sudah dibukukan mulai dari November 1970 sampai Mei 1991. Maka, dipilih sekitar 25 TTZ untuk dibacakan oleh sejumlah seniman ataupun aktivis yang mengenal Romo Dick Hartoko. Dari 25 TTZ yang diambil yang masih relevan meski ditulis tahun 1970-an. Misalnya ada TTZ yang berjudul ‘Korupsi’, ‘Korup’, ‘DPR’, “Multatuli’. “Henk” dan sejumlah judul lainnya. Pada TTZ yang dimuat di Basis oleh Romo Dick Hartoko tidak diberi judul, tetapi ketika diterbitkan menjadi buku, oleh editornya diberi judul.
Para pembaca yang ikut membacakan ‘Tanda-Tanda Zaman’ seperti Landung Simatupang, Slamet Riyadi Sabrawi, Gunawan Maryanto, Kris Budiman, Helga Korda, Mahatmanto, Ikun SK, Uung, Yayuk, Eko Winardi, Untung Basuki, Heru Kesawamurti dan sejumlah pembaca lainnya. Selain itu ada, kisah cerita mengenai Dick Hartoko yang disampaikan oleh Budi Sarjana sekretaris pribadi Romo Dick Hartoko di majalah Basis. Kecuali itu ada selingan musik dari Encik dan Nawakamal.
Karena pergaulan Romo Dick Hartoko dari beragam kalangan, dan sangat dekat dengan anak-anak muda. Acara ‘Mengenag Dick Hartoko’ dihadiri oleh banyak orang yang terdiri dari bermacam kelompok sosial. Ini menandakan, bahwa Romo Dick Hartoko, meski telah tiada, tetapi tidak dilupakan.
Kita kutipkan salah satu tulisan ‘Tanda-Tanda Zaman’ yang dibacakan. Tulisan itu dimuat di majalah Basis April 1976, tetapi apa yang dituliskan 35 tahun yang lalu, hingga kini masih aktual. Dan kita mendapati peristiwa seperti apa yang terjadi 35 tahun lalu. Judul TTZ itu adalah ‘DPR’. Kita sajikan TTZ itu:
“Ketika pada tanggal 28 Februari yang lalu (maksudnya Februari 1976, pen) RUU APBN 1976/1977 disahkan DPR, ternyata dari jumlah 460 orang anggota hanya 135 orang anggota yang hadir, walaupun daftar presensi memperlihatkan angka 284.
Sebuah RUU APBN bukan hal yang sepele. Kehadiran para anggota DPR merupakan salah satu indikasi, tempat mana diduduki APBN itu dalam skala nilai mereka. Kehadiran 135 anggota itu membuktikan bahwa pengesahan ini ternyata bagi kebanyakan mereka tidak penting, bisa ditinggalkan saja.
Padahal harga seorang anggota DPR mahal sekali. Menurut perhitungan, dalam pemilu yang akan datang memilih satu orang anggota DPR itu menelan biaya Rp 166 juta. Rakyat yang demikian banyak biaya telah memilih wakil-wakilnya, boleh mengharapkan, agar sekurang-kurangnya pada acara-acara penting, seperti pengesahan RUU APBN, wakil-wakil rakyat itu memperlihatkan minat mereka
Ataukah para wakil yang terhormat itu juga dihinggapi rasa lesu, semangat ‘mau apa kita?’ Ini masuk akal, kalau kita ingat akan nasib Panitia Angket DPR-GR tahun 1967/1968 di bawah pimpinan Letjen Soedirman yang pernah mengadakan angket tentang perusahan-perusahan milik Negara. Tetapi dari fihak Pertamina tak pernah ada tanggapan atau sikap terbuka terhadap usaha panitia angket tersebut, sehingga DPR tidak dapat memeriksa perusahaan tersebut. Dengan demikian rekomendasi komisi 4 di bawah pimpinan Wilopo dulu tak pernah dapat dijalankan terhadap Pertamina.
Mengingat pengamalam yang sekarang nampak ekornya itu dapat diharapkan, agar DPR yang akan dipilih sebagai hasil dari Pemilu 1977 nanti lebih galak sikapnya, sehingga tidak timbul semangat lesu, semangat ‘Mau apa kita?”
Apa yang ditulis 35 tahun yang lalu, hari-hari ini masih bisa kita dengar dan lihat. Rapat paripuurna DPR seringkali tidak dihadiri oleh banyak anggotanya, TTZ memang berkisah kenyataan 35 tahun lalu, dan rupanya kenyataan itu masih bisa dijumpai kini.
Ons Untoro
Artikel Lainnya :
- 'IJAB QOBUL' UNTUK KEISTIMEWAAN(19/04)
- JEMBATAN BARU KARANGJATI-POGUNG ITU TELAH SELESAI DIBANGUN(11/02)
- 29 Januari 2011, Denmas Bekel(29/01)
- Ornamen Nusantara. Kajian Khusus tentang Ornamen Indonesia(27/07)
- 9 Agustus 2010, Klangenan - KETIKA HANACARAKA DITAFSIRKAN(09/08)
- SENI RUPA DAN CERPEN(22/11)
- Thomas Ramadhan Jadi Produser Anaknya Nge-Band Rock(12/01)
- Guru Membaca Puisi Untuk Mengenali Diri(11/05)
- Pesta Perupa Menggores Jogja(23/10)
- DAFTAR BUKU PERPUSTAKAAN RUMAH BUDAYA Tembi(02/10)