- Beranda
- Acara
- Berita Budaya
- Berita Tembi
- Jaringan Museum
- Karikatur
- Makan Yuk
- Temen
- Tentang Tembi
- Video Tembi
- Kontak Kami
Berita-budaya»SENI RUPA DAN CERPEN
22 Nov 2011 07:14:00Seni rupa dan cerpen adalah dua hal yang berbeda, namun keduanya bisa disatukan. Setidaknya pada cerpen yang dimuat Kompas Minggu selalu ada ilustrasinya berupa seni rupa. Karya seni rupa yang ditampilkan memang berangkat dari cerpen, artinya perupanya membaca cerpennya untuk kemudian menghasilkan karya rupa sebagai ilustrasi. Tapi rupanya, seni rupa itu bukan sebagai ilsutrasi cerpen, melainkan memiliki narasi sendiri, yang bisa melompati kisah cerpennya. Atau setidaknya, keduanya tidak saling berhubungan. Dengan demikian, sesugguhnya seni rupa dan cerpen sedang bercerita sendiri-sendiri.
Lagi-lagi pameran Ilustrasi cerpen diselenggarakan di Bentara Budaya Yogyakarta, 16-24 Nopember 2011. Sebelumnya pada bulan yang berbeda di tahun yang sama, ilustrasi cerpen telah dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta, Bali dan Balai Soedjatmoko, Solo. Rupanya, selain telah dipublikasikan melalui media cetak, dalam hal ini Kompas Minggu, Bentara Budaya masih merasa perlu memamerkan ilustrasi cerpen kepada publik, ini setidaknya bisa untuk kembali mengingatkan akan cerpen-cerpen yang pernah dibaca dan tertarik pada ilustrasinya.
Terhadap ilustrasi cerpen ini, atau bisa disebut sebagai seni rupa-sastra ini, kita bisa mengambil sikap, dengan menempatkan ilustrasi cerpen di luar teks cerpen dan memposisikannya sebagai seni rupa. Artinya kita bisa ‘membaca’ seni rupa tanpa mengingat (ingat) cerita cerpennya. Karena di dalam cerpen ada tokoh, dialog dan juga setting. Pada karya seni rupa, detil itu tidak ditemukan, namun kita bisa berjumpa pada garis-garis, permainan garis, warna, bidang dan seterusnya. Visual dari ilustrasi cerpen ‘keluar’ dari teksnya dan bergerak sendiri sebagai karya seni rupa.
Efix Mulyadi, direktur Bentara Budaya, agaknya melihat, bahwa ilustrasi cerpen telah ‘bergerak’ menjadi karya seni rupa yang terlepas dari cerpennya, meski karya seni rupa itu bermula dari cerpen. Dengarkan apa yang dilantunkan Efix. Mulyadi:
“Dengan cara pandang yang dipilih oleh Kompas, fungsi dan posisinya diperluas. Karya rupa tersebut memang dibuat sebagai tanggapan atas karya sastra, namun tidak harus semata-mata memperjelas secara linear. Ia bahkan boleh tumbuh sebagai karya yang mandiri. Ia merupakan dunia lain yang menantang untuk dijelajahi sebelum, ketika tengah, atau selepas membaca karya sastra bersangkutan. Harapannya adalah di lembar Koran yang sama pembaca yang tenggelam di dalam suasana yang mungkin lirik atau bersuasana tragik, di dalam dunia rekaan yang bisa diwadahi oleh kata-kata, ditarik lagi ke ranah percaturan garis dan warna, aneka permainan bidang dan rangkaian tanda-tanda visual yang juga memancing permenungan. Fungsinya adalah pendamping cerpen, posisinya setara, dan relasinya tidak lagi berdasar keunggulan salah satu pihak. Kita bahkan membayangkan memperoleh pencapaian karya rupa yang melampaui karya sastra yang menjadi alasan ia digarap. Sehingga kegiatan ini berharga untuk diselenggarakan.”
Dari judul cerpen dan ilustarsinya, yang tak lain adalah karya seni rupa, kita memang bisa melihat visual, yangseolah ‘menterjemahkan’ cerpen, setidaknya judulnya. Tetapi, bila kita amati, seni rupa itu memiliki kisah lain. Ambil contoh ilustrasi cerpen karya Nus Salomo, yang visualnya berupa bola mata meneteskan air mata untuk ilustrasi cerpen yang berjudul ‘Ada Yang Menangis Sepanjang Hari” karya Agus Noor. Sepintas, bola mata yang menetes itu adalah untuk judul cerpen. Tetapi kita bisa melihat lain, sebab detil dari karya ilustrasi cerpen itu memiliki kisahnya sendiri.
Hal yang tak bisa dipungikri, karya rupa dilahirkan berangkat dari cerpen. Tetapi, meski demikian, perupanya boleh mempunyai tafsir sendiri, dan mengembangkannya sesuai ‘kehendak’ perupanya. Sehingga yang sering bisa kita lihat, karya rupa pada cerpen memiliki kisahnya sendiri, dan mungkin malah berbeda dari kisah yang dipakai sebagai pijakan untuk berkarya. Ini artinya, sebenarnya perupanya sedang membuat kisahnya sendiri dan mencoba tidak meniru kisah cerpen. Keduanya sedang bertutur dan berkisah sesuai pengalaman masing-masing, dalam hal ini perupa dan cerpenis.
Hal yang tidak bisa dipungkiri, setidaknya setiap minggu (kecuali hari,libur nasional jatuh hari Minggu) kita bisa ‘menikmati’ dua kisah karya seni yang berbeda di halaman yang sama, yakni seni rupa dan cerpen di Kompas Minggu. Itu saja.
Ons Untoro
Artikel Lainnya :
- PETILASAN GUSTI AMAT DI BALERANTE II(23/06)
- 20 Nopember 2010, Jaringan Museum - MENGENAL KERETA-KERETA PUSAKA MUSEUM KRATON KASULTANAN YOGYAKARTA (7)(20/11)
- Bakal Terus Gumebyar(22/02)
- DJAKA LODANG 1 (15/06)
- MENIKMATI PATIN BAKAR(06/07)
- 17 September 2010, Kabar Anyar - LAUNCHING ALBUM SAUNINE DI Tembi(17/09)
- WAYANG MITOLOGI KREASI BARU PAKELIRAN HASIL KOLABORASI MEXICO DAN JAWA(22/09)
- PANCASILA DI LERENG MERAPI(06/06)
- 31 Juli 2010, Denmas Bekel(31/07)
- KETEDUHAN DI JALAN PAKUNINGRATAN, BAGAIMANA MEWUJUDKANNYA (27/01)