WAYANG MITOLOGI:
KREASI BARU PAKELIRAN HASIL KOLABORASI MEXICO DAN JAWA
Wayang Mitologi tentang terjadinya gunung api di Jawa dan Mexico baru saja dipentaskan di Pendapa Tembi Rumah Budaya (19/09/2011). Mitologi yang diangkat adalah mitologi terjadinya Gunung Merapi dan Gunung Popocatepetl serta Iztaccihuatl. Wayang yng digunakan sebagai alat pertunjukan tetap menggunakan wayang kulit. Satu wayang kulit purwa dan satunya lagi menggunakan wayang kulit dengan gambaran tokoh mitologi Mexico: Popocatepetl, Iztaccihuatl, Raja Tenochtitlan, dan Raja Tlaxcala.
Pementasan Wayang Mitologi ini dilakukan oleh 2 orang dalang. Satu dari Mexico bernama Miguel Escobar Varela (27) dan Ki Catur Benyek Kuncoro (36) dari Jogja, Indonesia. Mereka berkolaborasi mementaskan mitologi gunung api dari daerahnya masing-masing. Konsep pementasan wayang tidak lagi menggunakan unsur-unsur pementasan wayang purwa secara konvensional. Bahasa yang digunakan pun bahasa Indonesia dicampur dengan bahasa Inggris. Bahkan juga bahasa Spanyol.
Dalang dalam pementasan Wayang Mitologi ini tidak bisa dilihat penonton ketika pertunjukan berlangsung. Pasalnya kedua dalang berada dalam sebuah ruangan yang ditutup dengan kain berwarna hitam. Penonton pun hanya bisa melihat kelir atau layar dari satu sisi saja. Layar pun dibuat dari lembaran plastik relatif tebal. Pilihan ini bukan tanpa alasan. Ada pun alasannya adalah bahwajika layar atau kelir terbuat dari kain, maka sorot cahaya dari lampu proyektor akan tembus pandang. Jika hal ini terjadi, maka kenyamanan penonton yang menonton bayang-bayang wayang akan sangat terganggu.
Iringan musik pun tidak lagi menggunakan gamelan atau karawitan, namun menggunakan unsur bunyi-bunyi musik modern yang direkam dan ditampilkan ketika pertunjukan berlangsung. Demikian pun proyektor bisa menampilkan aneka macam rekaman film tentang Gunung Merapi, keadaan alam Mexico, Gunung Popocatepetl, gambar tata surya, kobaran api, dan Gunung Iztaccihuatl. Rekaman gambar atau film ini bila disorotkan ke layar menjadi setting atau latar belakang bermainnya cerita sekaligus setting dari aktivitas dan dialog tokoh yang sedang dimainkan. Hal demikian menjadikan pertunjukan wayang ini menjadi menarik. Penonton seolah dibawa kepada tempat-tempat yang menjadi setting penceritaan atau setting tokoh. Suasana akan keadaan yang melingkupi tokoh dapat terbangun baik karenanya. Hal demikian diperkuat pula oleh lighting dan iringan musik yang ”kena”.
Dialog yang cerdas yang dibangun oleh Ki Catur Benyek Kuncoro dan Miguel Escobar Varela dengan selipan-selipan humor yang kritis menjadikan pertunjukan Wayang Mitologi ini menjadi tontonan yang menyegarkan sekaligus memberikan wawasan baru di jagad pakeliran. Paparan cerita mitologis tentang terjadinya Gunung Merapi, Popocatepetl dan Iztaccihuatl menjadikan pertunjukan ini juga penuh dengan informasi akan kekayaan budaya masing-masing bangsa. Bahwa pada sisi mitologis bangsa Mexico dan bangsa Jawa (Indonesia) memiliki sisi-sisi kemiripannya. Artinya ialah bahwa fenomena jagad raya (terjadinya gunung, sungai, desa, dan lain-lain) yang tidak bisa diterangkan dengan nalar yang sederhana bisa dijelaskan melalui mitos.
Sisi-sisi kesamaan yang lain ditunjukkan juga misalnya dengan adanya kepercayaan pada kekuatan adikodrati. Kekuatan di luar kemampuan manusia. Secara ekstrem hal ini ditunjukkan misalnya dengan berubahnya sosok manusia menjadi batu dan gunung (Popocatepetl-Iztaccihuatl). Bisa dijebolnya pucuk Himalaya oleh Batara Bayu dan dibawa ke Tanah Jawa juga menunjukkan hal itu. Demikian pula hal itu ditunjukkan oleh kesaktian Empu Rama dan Empu Permadi yang mampu menempa keris di tengah perut Gunung Merapi alias di tengah-tengah panasnya magma.
Kemenarikan kemasan pertunjukan juga menjadi faktor penentu bagi kelestarian seni pertunjukan semacam wayang. Wayang Mitologi mencoba mengubah frame atau setidaknya memberikan wawasan baru tentang konsep pertunjukan wayang. Bahwa wayang bisa dipertunjukkan, dipentaskan dengan berbagai macam kreasi atau inovasi. Hal demikian barangkali juga semakin menegaskan pandangan yang mengatakan bahwa seni selalu berada dalam daya tarik menarik antara tradisi dan inovasi. Miguel dan Ki Benyek telah bergerak ke arah inovasi-inovasi itu dengan mendasarkan diri pada filosofi bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan itu sendiri.
a.sartono
Artikel Lainnya :
- Skets Pangeran Diponegoro ketika Sakit, 1830-an(22/05)
- UNTUNG BASUKI MERAYAP WAKTU(19/12)
- Tahu Jepang dan Ca Kailan(28/05)
- 23 Oktober 2010, Jaringan Museum - SENAM BARAHMUS DAN FESTIVAL MUSEUM 2010(23/10)
- 15 Juni 2010, Bothekan - ORA WUWUR ORA SEMBUR(15/06)
- 25 Mei 2010, Kabar Anyar - SEMANGAT TAK KUNUJNG PADAM DARI LEO KRISTI(25/05)
- Museum atau studio foto?(20/08)
- ADA JEMEK, ADA PANTOMIM(19/07)
- 19 Februari 2011, Kabar Anyar - RAGAM SENI SERAT DALAM TRANSFORMATION(19/02)
- KLITHIKAN PERGI DATANG PEDAGANG LAIN(01/01)