Tembi

Yogyakarta-yogyamu»KLITHIKAN PERGI DATANG PEDAGANG LAIN

01 Jan 2008 02:34:00

Yogyamu

KLITHIKAN PERGI DATANG PEDAGANG LAIN

Awal Desember 2007 pedagang klithikan di Yogyakarta bisa dikatakan sudah tidak berceceran lagi di Jl. P. Mangkubumi, Jl. Asem Gede, maupun di Alun-alun Kidul. Tempat-tempat itu menjadi relatif lebih bersih, lapang, dan rapi. Kemacetan di tempat-tempat itu pun mulai tidak ada lagi. Pedagang klithikan Yogyakarta telah dipindahkan ke bekas pasar hewan di Pakuncen. Di sana mereka telah diberikan tempat yang lebih bagus, indah, tertata rapi dan tidak bakalan kehujanan maupun kepanasan.

Akan tetapi bekas-bekas tempat itu khususnya Alun-alun Kidul kini telah ditempati pedagang kaki lima yang tidak menjual barang klithikan. Pedagang-pedagang kaki lima ini menjual beraneka jenis jajanan atau makanan. Tenda-tenda pun berdiri di bekas areal pedagang klithikan. Bahkan kehadiran mereka pasca relokasi pedagang klithikan terasa berebutan.

Hengkangnya pedagang klithikan dan munculnya pedagang kaki lima jenis lain di Alun-alun Kidul ini seperti bunyi pepatah, patah tumbuh hilang berganti. Artinya, perginya pedagang dari lokasi itu menjadi kehilangan makna karena kepergian mereka segera digantikan oleh pedagang lain. Bidang-bidang tanah di pinggiran Alun-alun Kidul yang telah diperkeras dengan konblok, ditambah taman dan aneka sarana untuk permainan anak-anak ini menjadi seperti kehilangan fungsi, visualisasi, dan tujuannya

Tidak dapat tidak kehadiran pedagang kaki lima selain pedagang klithikan ini tentu membawa beberapa dampak yang kurang bagus. Di samping mengganggu pemandangan dan fungsi trotoar di pinggiran alun-alun, kehadiran mereka yang terkesan semaunya menyebabkan penataan Alun-alun Kidul kehilangan maknanya. Hal semacam ini tentu merepotkan pihak Pemkot yang berkehendak terus menata ruang kotanya. Kehadiran mereka ini akan semakin mengakar kuat di tempat itu jika hal itu ditunjang oleh perilaku pengunjung yang tidak bisa lepas dari kehadiran mereka sebab kehadiran pedagang memang sering dicari oleh pengunjung. Jadi, ada semacam simbiose yang saling menguntungkan di antara keduanya.

Hal yang paling penting untuk menata hal itu memang faktor kesadaran. Jika memang tidak ada kesadaran, maka yang muncul adalah ketidakpedulian. Egoisme dikedepankan. Alasan kebutuhan perut seakan menghalalkan semua cara. Akankah warga Yogyakarta itu harus berhadapan dengan peringatan yang keras atau bahkan penggusuran paksa ? Alangkah bagusnya jika hal semacam itu tidak perlu dilakukan sehingga masing-masing pihak bisa merasakan kedamaian hati yang tulus. Akan tetapi di dunia yang penuh dengan tuntutan hidup itu, mungkinkah hal itu bisa terlaksana ?

Sartono




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta