Museum atau studio foto?

Bagi banyak orang hari libur adalah waktunya mencurahkan seluruh perhatian kepada keluarga yang bisa langsung dirasakan oleh istri dan anak, karena di hari kerja waktu sudah terpotong dengan kesibukan di luar rumah. Bagi kita yang tinggal di kota besar khususnya Jakarta. Rekreasi murah, menghibur sekaligus mendidik harus diakui tidak menjadi favorit bagi kebanyakan keluarga karena pilihannya tidak sebanyak dan semudah Mall yang sudah merebak sampai ke pinggiran kota.

Ajakan saya untuk pergi ke museum di daerah kota tua Jakarta disambut antusias oleh anak-anak saya. Saya berencana untuk mengunjungi museum wayang karena anak saya yang perempuan usia 9 tahun menyukai wayang sedangkan anak saya yang laki-laki usia 7 tahun sangat menyukai jalan-jalan ke manapun yang belum pernah ia kunjungi.

Bosan dengan kemacetan dari kota Depok di Selatan Jakarta menuju kota tua kami naik kereta rel listrik Jabotabek. Perjalanan satu jam tidak terasa lama, dari stasiun kota menuju museum yang jaraknya kira-kira 200-an meter kami cukup jalan kaki. Museum wayang adalah yang pertama kami kunjungi. Kami langsung membeli tiket. Petugas tiket menyebut total harga yang harus kami bayar untuk 2 orang dewasa dan 2 orang anak, jumlahnya 5.000 rupiah saja. Petugas memberikan saya 2 lembar tiket dewasa masing-masing seharga 2.000 rupiah dan 1 lembar tiket anak seharga 600 rupiah. Loh! Seharusnya saya membayar 5.200 rupiah. Sambil berjalan ke dalam museum saya berpikir kalau saya dapat diskon 200 rupiah, tapi petugas tiket itu korupsi 200 rupiah dan Negara sebetulnya dirugikan 600 rupiah. Saya cuma bisa tersenyum.

Harapan saya untuk melihat kegembiraan anak saya yang suka wayang ternyata tak terwujud. Mereka malah bertanya-tanya, mengapa koleksi wayang di museum itu kotor ? Saya tidak bisa menjawab.

Tidak sampai satu jam kami keluar dan menuju museum Fatahilah yang berada di seberang museum wayang. Di pintu masuk kami diminta langsung membayar tiket. Jumlahnya 5.000 rupiah dengan perincian yang sama dengan museum wayang dan 3 lembar karcis yang seharusnya 4 lembar. Astaga!!

Dari pintu masuk saya menuju ke ruang prasejarah. Yang berisi beberapa prasasti dan replika tugu perjanjian antara kesultanan Banten dengan Portugis. Masuk ke ruangan ini seperti kembali ke masa lalu dimana listrik belum ada. Ruangannya gelap dengan penerangan yang sangat minim. Beberapa turis asing yang saya lihat tampak sangat kesulitan membaca keterangan benda sejarah sambil kipas-kipas karena panas. Tidak tampak rasa keingintahuan yang biasanya muncul dari anak-anak saya. Mereka malah ingin segera keluar, katanya,Seram ah, aku nggak suka! saya cuma tersenyum dan segera menuruti keinginan mereka keluar. Sambil berjalan keluar saya melihat sebagian besar pengunjung lokal yang lebih banyak berfoto-foto daripada mencari tahu isi museum. Sambil memperhatikan mereka saya jadi berpikir, ini museum apa studio foto sich?

YPKris