Museum atau studio foto? Ajakan saya untuk pergi ke museum di daerah kota tua Jakarta disambut antusias oleh anak-anak saya. Saya berencana untuk mengunjungi museum wayang karena anak saya yang perempuan usia 9 tahun menyukai wayang sedangkan anak saya yang laki-laki usia 7 tahun sangat menyukai jalan-jalan ke manapun yang belum pernah ia kunjungi. Bosan dengan
kemacetan dari kota Depok di Selatan Jakarta menuju kota tua kami
naik kereta rel listrik Jabotabek. Perjalanan satu jam tidak terasa
lama, dari stasiun kota menuju museum yang jaraknya kira- Harapan saya untuk melihat kegembiraan anak saya yang suka wayang ternyata tak terwujud. Mereka malah bertanya-tanya, mengapa koleksi wayang di museum itu kotor ? Saya tidak bisa menjawab. Tidak sampai satu
jam kami keluar dan menuju museum Fatahilah yang berada di seberang
museum wayang. Di pintu masuk kami diminta langsung membayar tiket.
Jumlahnya 5.000 rupiah dengan perincian yang sama dengan mu Dari pintu masuk saya menuju ke ruang prasejarah. Yang berisi beberapa prasasti dan replika tugu perjanjian antara kesultanan Banten dengan Portugis. Masuk ke ruangan ini seperti kembali ke masa lalu dimana listrik belum ada. Ruangannya gelap dengan penerangan yang sangat minim. Beberapa turis asing yang saya lihat tampak sangat kesulitan membaca keterangan benda sejarah sambil kipas-kipas karena panas. Tidak tampak rasa keingintahuan yang biasanya muncul dari anak-anak saya. Mereka malah ingin segera keluar, katanya,Seram ah, aku nggak suka! saya cuma tersenyum dan segera menuruti keinginan mereka keluar. Sambil berjalan keluar saya melihat sebagian besar pengunjung lokal yang lebih banyak berfoto-foto daripada mencari tahu isi museum. Sambil memperhatikan mereka saya jadi berpikir, ini museum apa studio foto sich? YPKris |