Tembi

Berita-budaya»PANCASILA DI LERENG MERAPI

06 Jun 2011 08:41:00

PANCASILA DI LERENG MERAPISeminggu pasca Merapi erupsi. Di tengah kabut abu yang menindas segala tanaman, kami menerobos larangan, menuju ke desa terakhir di lereng Merapi. Kami membawa bantuan pangan untuk warga Desa Krinjing yang terjebak dan tak bisa mengungsi. Berbekal informasi dari seorang kawan, kami menemui tetua desa berjuluk Mbah Wari. Sekilas, usianya sekitar 70an tahun. Wajahnya memang sepuh, namun tubuhnya masih tegap dan kokoh. Selanjutnya, benarlah dugaan kami! Tatkala berjabat tangan, semua nyengir menahan sakit. Mbah Wari menjabat tangan sambil meremas tangan kami dengan sangat-sangat keras. Sepertinya, ia ingin mengirim pesan tentang kepercayaan dan persaudaraan.

Saat masuk rumah, segera pandangan kami menabrak dinding kayu yang penuh dengan aneka hiasan. Foto-foto keluarga tentang potret diri Mbah Wari dan pernikahan anak-anaknya tergantung di pojok kanan. Di samping kirinya, tergantung sebuah poster kusam berwarna kuning dan bertuliskan “Butir-butir Pedoman Penghayatan Pancasila.” Sebuah poster lama, warisan indoktrinasi Orde Baru yang dulu gampang dibeli di pasar-pasar tradisional. Di sebelah kirinya lagi, tergantung kaligrafi Al Fatihah. Kemudian, di atasnya sedikit, tergantung satu epos populer masyarakat Jawa: Bima Mencari Air Suci Perwitasari. Dan, persis di atas pintu utama, kami melihat poster Garuda Pancasila diapit foto presiden dan wakil presiden.

Sedikit norak? Bisa jadi. Semrawut? Mungkin saja. Namun, semuanya tetap luar biasa karena pesan-pesan gambar itu demikian otentik. Sangat khas. Pajangan poster dan foto itu tetap memukau sebab merepresentasikan problem ke-Indonesia-an kontemporer. Poster Bima Mencari Air Suci Perwitasari adalah mitos yang disukai oleh orang Jawa. Cerita itu menjadi referensi bagi siapapun untuk mencari hakikat diri yangPANCASILA DI LERENG MERAPIsejati. Jadi, bisa dibaca bahwa cerita ini merepresentasikan tentang etnisitas (Jawa), asal usul kultural dari Mbah Wari. Kaligrafi merupakan simbol, di mana Islam hadir menjadi keyakinan, tradisi dan nilai-nilai yang hidup berdampingan dengan nilai Jawa. Sedang Garuda bisa ditafsir sebagai kehadiran dan pengakuan akan negara modern, Indonesia. Lalu, di manakah Pancasila?

Pancasila, Memori dan Kultur Hybrid.

Melihat poster Butir-butir Pancasila itu, niscaya, membangkitkan memori sekaligus ambivalensi. Bahkan, Pancasila mampu mengungkit memori sekaligus harapan . Jikalau jangkar masa lalu itu dilemparkan, tentu, Pancasila mampu mengulik memori dan trauma. Pengalaman telah menarasikan bahwa Pancasila menjadi ideologi kontrol. Bukannya menawarkan dialog, namun Pancasila justru menawarkan metode kekerasan bagi yang berusaha berbeda. Bahkan, praktik pengajaran Pancasila yang mestinya penuh dengan spirit pedagogi, pun mesti mengadopsi kekerasan dalam praktik. Akibatnya, tatkala rejim rontok, musnah pula Pancasila. Poster yang dulu gagah bergantung di rumah-rumah, kelas-kelas sekolah dan juga kantor-kantor itu, kini telah lenyap entah dibuang ke mana.

Di sinilah terjadi kerancuan, kekerasan dianggap sama dengan Pancasila. Dengan asumsi itu, jika Pancasila disingkirkan, maka hilang pula kekerasan. Ternyata, asumsi itu keliru besar. Justru kekerasan tetaplah direproduksi dengan baju ideologi berbeda. Intoleransi agama dan etnis justru merajalela. Demikianlah, kita menyaksikan landasan (me)negara itu pelan-pelan digerogoti sendiri oleh rayap-rayap yang senantiasa haus akan kekuasaan. Lebih celaka lagi, intoleransi itu sering dipayungi oleh hukum, dimana berbagai aturan justru dikeluarkan oleh pemerintah tanpa pertimbangan risiko di masa depan. Kepentingan adalah yang utama, dan kekuasaan adalah tujuan. Suara-suara kritik serta peringatan dari berbagai kalangan pun ditulikan, tak digubris atau bahkan diberangus dengan kekerasan.

PANCASILA DI LERENG MERAPIKini, tatkala banyak kalangan merindukan nilai-nilai Pancasila, Mbah Wari tak pernah gerah. Ia telah menunjukkan kepada kita dengan bukti kesetiaan menggantung poster “Butir-Butir Pancasila” sejak dulu. Tak lekang oleh waktu, ia dengan sengaja menghadirkan Pancasila bersama dengan Burung Garuda, Kaligrafi Al fatihah dan Bima Suci. Tanpa ia sadari, kehadiran poster-poster itu mampu mengundang siapapun untuk membuka ruang imaji harapan. Paling tidak, di manakah ruang-ruang kebangsaan itu bisa hadir? Di manakah Pancasila itu bisa tumbuh dalam ketegangan agama, etnisitas dan nasionalisme?

Jawabannya bisa ditilik pada apa yang dikerjakan dan dipikirkan oleh Mbah Wari. Sebagai tokoh yang dituakan, ia tak memanfaatkan kekuasaannya. Ia justru mendorong segala hal diputuskan dengan musyawarah. Pengaruhnya yang besar pun digunakan untuk mengatur warga desa agar tetap bersatu dalam suasana khaotik bencana. Segala bantuan yang diterima tak pernah disimpan untuk pribadi. Mbah Wari selalu membagi untuk tetangga-tetangganya terlebih dahulu. Jika semua telah memperoleh bantuan, barulah Mbah Wari mengambil untuk keluarganya. Ketika ada tokoh yang memilah dan memilih bantuan berdasar “bendera agama,” Mbah Wari justru menentangnya. Ia menerima dengan tangan terbuka siapa pun yang ingin membantu, mengajaknya bekerja sama dan selalu menganggap siapapun sebagai saudara yang ber-Tuhan sama, meski memiliki perbedaan agama.

Apa yang dikerjakan Mbah Wari ini, tampaknya, menohok pada jantung persoalan Pancasila, etnisitas, agama dan Bangsa. Dalam dirinya bersemayam dengan damai nilai dan identitas Jawa, Islam dan ke-Indonesia-an. Dus, proses yang dikerjakannya seirama dengan pernyataan Garcia Canclini dalam bukunya Hybrid Cultures (2006), bahwa ketegangan dan perbedaan itu bisa disatukan dalam proses trans-kulturisasi.

Persis, dalam proses trans-kulturisasi itulah Pancasila menjadi ruang dialog, menjadi ideologi terbuka yang menyambungkan antara paham etnisitas, agama dan kebangsaan. Pancasila mampu meredamkan konflik sekaligus mengembangkan kultur hybrid. Dengan Pancasila, Mbah Wari tak meninggalkan Jawa dan Islam, pula dengan Pancasila Mbah Wari menjadi warga negara Indonesia.

Akhirnya, pesan dari desa lereng Merapi adalah bagaimana Pancasila diterjemahkan sebagai proses hibridisasi, proses yang terus-menerus membentuk di antara ketegangan-ketegangan etnisitas, agama, golongan dan kebangsaan. Dan, inilah agenda besar kita dalam berbangsa.

Bambang Kusumo Prihandono

Ons Untoro

Foto diambil dari geogle




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta