Membaca dan Mementaskan Puisi Di Tembi

Membaca dan Mementaskan Puisi Di Tembi

Bulan terlihat bundar. Langit bersih. Melihat bulan di langit, pada malam purnama, suasana terasa puitis. Jum’at (3/8) malam lalu, Sastra Bulan Purnama edisi 11 digelar di Tembi Rumah Budaya, Yogyakarta. Pada edisi ini, orang-orang teater, yang terbiasa menulis naskah, skenario sinetron, menyutradarai pementasan teater dan aktor, tampil membacakan puisi karya mereka sendiri. Artinya, dalam acara Sastra Bulan Purnama ini, orang-orang teater diminta untuk ‘menjadi penyair’, oleh karena itu mereka kita minta menulis puisi.

Meritz Hindra, seorang aktor senior, yang sejak tahun 1970-an sudah masuk di dunia teater, dan belakangan selain tampil dalam pertunjukan teater, juga ikut main di film maupun sinetron. Dia tinggalkan Yogya untuk pergi ke Jakarta, sekitar 25 tahun yang lalu. Sekarang dia kembali ke Yogya, dan masih ulang-alik ke Jakarta, karena mengerjakan job di film. Pada Sastra Bulan Purnama ini, Meritz Hindra membacakan 3 puisi karyanya. Meski tidak teateratikal, tetapi penampilan Meritz menarik laiknya seorang aktor.

Penulis naskah, sutradara dan penulis skenario, yang lama tinggal di Yogya dan sekarang kembali ke Yogya, Puntung CM Pujadi, membacakan puisinya dengan membawa sinden-sinden untuk membantu membaca. Puntung dan semua pemainnya duduk lesehan, dan mereka membacakan puisi karya Puntung seperti saling berdialog.

Membaca dan Mementaskan Puisi Di Tembi

Ana Ratri, seorang aktris, dalam membaca puisi meminta lampu ruang pertunjukkan dimatikan, dan dari luar, Ana Ratri memasuki ruang dengan membawa lilin. Ruang gelap diisi cahaya lilin. Agaknya, Ana Ratri sedang membayangkan rembulan bundar di luar, yang tidak bisa dilihat dari dalam ruang pertunjukkan.

Ana Ratri, seperti sedang mementaskan lakon. Dia melakukan gerak, seolah sedang menghidupkan baris-baris kata dalam puisi.

Selain Ana Ratri, pembaca perempuan yang tampil, Yudiaryani, Menik Sithik, Sri Yuliati dan seorang pembaca yang membacakan satu puisi karya Whanny Darmawan, Sabina Tisa namanya. Ia membacakan puisi yang berjudul ‘Puisi dan Diri’

Whanny Darmawan membacakan dua puisi karyanya dengan penghayatan yang cukup bagus, sehingga puisinya menjadi terasa hidup. Agus Istijanto, yang pernah aktif di teater Dinasti membacakan 3 puisi karyanya, salah satunya berjudul ‘Doa Anak Payung di Gazong’.

Pritt Timothy, dengan suara yang bagus, membacakan satu puisi yang cukup panjang berjudul ‘Rara Jonggrang’. Rupanya, Pritt memiliki kemampuan membaca dengan nafas panjang sehingga suaranya konsisten sampai aklhir puisi.

Membaca dan Mementaskan Puisi Di Tembi

Daru Maheldaswara membacakan satu puisi dari tiga puisi karyanya yang berjudul ‘Indonesia Major dan Minor’. Suaranya mantap sehingga puisi yang dibacakan menjadi terasa mantap didengarkan.

Yudiaryani dan Menik Sithik, membacakan puisinya dengan gaya yang berbeda, bahkan Menik mengajak hadirin untuk ikut menyanyikan lagu perjuangan dari kelompok aktivis dan sejumlah hadirin yang mengenal lagu itu segera ikut bernyanyi. Yudiaryani, yang lama tidak naik di atas panggung, tidak kehilangan semangat dalam membaca. Yudiaryani masih mengenali panggung dan audience sehingga tidak canggung di atas panggung.

Mengakhiri pertunujukkan, Liek Suyanto membacakan dua puisinya, dengan suara serak, tetapi puisinya enak untuk didengarkan.

Sastra Bulan Purnama edisi 11 menampilkan orang-orang teater membaca puisi, karena itu tajuk ‘Orang-orang teater membaca puisi’. 11 orang teater dan seorang pembaca tampil dalam acara ini dan diselingi dua lagu, yang menggarap puisi karya Masroom Bara oleh seorang musisi yang dikenal bernama Pedro. Laiknya lagu pop, suara Pedro memberikan suasana lain pada pembacaan puisi ‘Sastra Bulan Purnama’

Membaca dan Mementaskan Puisi Di Tembi

Ons Untoro

Foto-foto Sartono




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta