Guru 'Membaca Puisi' Untuk 'Mengenali Diri'

Guru 'Membaca Puisi' Untuk 'Mengenali Diri'

Siapa saja bisa menulis puisi, persoalan kemudian disebut penyair atau bukan adalah perkara lain. Seperti yang tampil pada ‘Sastra Bulan Purnama’ edisi 8, Senin (7/5) lalu di Tembi Rumah Budaya, Yogyakarta. Yang (di) tampil (kan) adalah guru-guru. Mereka menulis puisi dan kemudian membacakannya. ‘Membaca Puisi Mengenali Diri’ adalah tema yang diangkat dalam Sastra Bulan Purnama edisi 8’.

Para guru ini terbiasa berbicara di depan kelas. Malah, kerja keseharian mereka berbicara di depan orang lain, yakni muridnya. Karena terbiasa berbicara di depan kelas, yang membuat para guru tidak kelihatan grogi membaca puisi di depan banyak orang, yang bukan muridnya, dan mungkin, banyak yang tak dikenalnya. Kebanyakan yang hadir, selain penyair adalah pecinta sastra di Yogya.

Para guru membacakan puisi karya mereka sendiri. Masing-masing guru mengirim 3 puisi, atau ada yang 4 puisi dan diterbitkan menjadi buku sederhama dengan judul ‘Membaca Puisi Mengenali Diri’. Masing-masing membacakan satu puisi karyanya. Dan, rupanya, para guru ini sudah terbiasa deklamasi, sehingga dalam membaca puisi mereka tidak ‘jauh-jauh’ dari deklamasi.

Guru 'Membaca Puisi' Untuk 'Mengenali Diri'

Tentu, orang yang melihat mempunyai rasa kagum sekaligus tertegum. Semangat para guru, termasuk kepala sekolah, tidak kalah dengan para pencipta puisi lainnya. Karena, selain berprofesi sebagai guru, ada yang aktif dibidang seni pertunjukkan, seperti seorang guru yang ikut membaca malam itu, Cilik Tripamungkas namanya. Guru yang lain, Umi Kulsum, aktif kegiatan kesenian dibanyak tempat, sehingga tidak canggung membaca puisi.

Pada Sastra Bulan Purnama edisi 8 ini, sebelum pembacaan puisi, ada pengantar mengenai puisi yang ditulis oleh para guru, disampaikan oleh penyair Iman Budi Santosao, yang menulis puisi sejak masa Persada StudiGuru 'Membaca Puisi' Untuk 'Mengenali Diri'Klub asuhan Umbu Landu Paranggi, tahun 1970-an.

Bagi Iman Budhi Santosa, menulis puisi bukanlah sesuatu yang mudah. Karena, demikian Iman Budhi mengatakan, yang terjadi bukan sekedar memenuhi kaidah teknis yang memadahi, berlandaskan teori-teori menulis puisi yang lazim diajarkan dalam pendidikan formal. Melainkan, menciptakan sebuah karya yang mencerminkan manifestasi hasrat manusiawi untuk berperadaban. Sehingga di dalamnya tampak dan terasa adanya greget hidup yang kuat, pengalaman yang otentik, utuh, dan telah mengendap, serta dinyatakan secara pas (tepat) lantaran yang bersangkutan benar-benar menguasai jagat kata dan sebagai medianya.

“Kendati puisi-puisi para guru yang dipresentasikan pada malam ‘Sastra Bulan Purnama edisi 8 ini bukan untuk kepentingan lomba, melainkan dalam rangka apresiasi, serta banyak yang terkesan masih verbal, namun di sana terdapat sejumlah yang secara parsial layak dijadikan sebagai contoh mengenai mantra-mantra penulisan puisi’ ujar Iman Budhi Santosa.

Selaim para guru yang membacakan puisi karya mereka sendiri, tidak ketinggalan, aktor Yogya yang berkali-kali hadir dalam acara Sastra Bulan Purnama, Landung Simatupang, ikut membacakan puisi karya Sri Suwarni Dirjo Suwarna, S.Pd yang berjudul ‘Seorang Tunawisma Menghibur Istrinya’.

Dibacakan Landung Simatupang, puisi karya Sri Suwarni terasa sangat hidup. Kata demi kata, dibaca Landung Simatupang dengan penuh ekspresi. Mimik Landung mengekspresikan laikanya seorang tunawisma yang sudah tua. Hanya membalikan topi yang dia kenakan, Landung Simatupang seperti telah menggunakan kostum.

“Jeng.., biarkan aku memanggilmu diajeng
karena engkau memang satu-satunya di dunia

miliku, cintaku yang langgeng” Landung mengawali membaca puisi karya Sri Suwarni dengan penuk ekspresif.

Guru 'Membaca Puisi' Untuk 'Mengenali Diri'

Terhadap penampilan Landung Simatupang, terlihat para hadirin terpesona. Landung memang mempesona dalam membaca. Setidaknya, penampilan Landung Simatupang bisa untuk referensi bagi para guru-guru yang menulis dan membaca puisi di Tembi Rumah Budaya.

Selain pembacaan puisi, ada penampilan tari dari Made Agustina dari Tembi Dance Company, yang menafsirkan puisi dengan tari. Dan Nathan, dari Forum Musik Tembi menggubah satu puisi menjadi lagu. Ikut tampil juga, kelompok musik dari ‘Sanggar Nusantara’

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta