Akhirnya, Gubernur DIY Dilantik
Setelah UU Keistimewaan disyahkan dan Sri Sultan HB X dan KGPAA Paku Alam IX ditetapkan menjadi gubernur dan wakil gubernur DIY untuk masa bakti 5 tahun, terhitung mulai 2012-2017, Rabu (10/10) lalu keduanya dilantaik oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono di Istana Negara ‘Gedung Agung’ Yogyakarta.
Kita tahu, lokasi tempat pelantikan berada di jalan utama kota Yogyakarta, dan tidak jauh dari Kraton Yogyakarta. Lokasi di jalan Malioboro, yang tak jauh dari kantor Gubernur DIY. Pendek kata, lokasi di mana Istana Negara ‘Gedung Agung’ adalah jalur strategis di Yogyakarta. Karena di sini kekuasaan politik dan ekonomi berpusat.
Kita juga tahu, Istana Negara ‘Gedung Agung’ merupakan bangunan lama, peninggalan Belanda, yang dulunya sebagai ‘pusat kekuasaan’ kolonial. Rabu lalu, penguasa pertama RI, dalam hal ini Presiden RI dan penguasa Yogya, dalam hal ini Sultan HB X dan Paku Alam IX, bertemu untuk saling mengukuhkan, setidaknya pemerintah pusat mengukuhkan pemerintah daerah.
Lagi-lagi kita tahu, sepanjang jalan Malioboro merupakan daerah perdagangan. Mall dan pertokoan, juga pedagang kaki lima ada di lokasi ini. Istana Negara ‘Gedung Agung’ merupakan salah satu bangunan dari sejumlah bangunan yang ada di jalan Malioboro ini. Setiap hari, dari pagi sampai malam, jalan Malioboro tidak pernah sepi. Selalu penuh orang dan kendaraan. Tetapi, ketika pelantikan Sri Sultan HB X menjadi gubernur dan Paku Alam IX menjadi wakil gubernur sepanjang jalan Malioboro sepi, semua pedagang dari kaki lima sampai mall, pada saat pelantikan dilakukan, meliburkan diri, sehingga tidak ada toko yang buka. Para pedagang menghormati rajanya dilantik menjadi gubernur. Jalan malioboro sepi, sehingga orang bisa jalan melenggang dengan nyaman. Setidaknya, dalam beberapa jam selama pelantikan Sultan dan Paku Alam, jalan Malioboro seperti ‘kembali ke masa lalu: sepi, enak untuk jalan-jalan’.
Warga Yogya, setidaknya sudah lama, kembali memagang status Keistimewaan. Hanya saja, masa jabatan gubernur sekarang berbeda denga gubernur sebelumnya, yang dalam hal ini dijabat oleh Sultan HB IX dan Paku Alam VIII, yang menjabat seumur hidup. Untuk gubernur periode ini, hanya ditetepkan menjabat selama 5 tahun, setidaknya seperti kepala daerah lainnya di luar Yogya, dan untuk kemudian bisa ditetapkan lagi kalau kemampuannya masih memungkinkan untuk menjabat.
Sri Sultan HB X sendiri tidak ingin menjabata sebagai gubernur seumur hidup. Kalau kemampuan fisik dan pikirannya sudah mulai menurun karena usianya, Sri Sultan tidak akan memaksa diri untuk terus menjabat. Hal yang menarik, status Keistimewaan dan penetapan dan akhirnya pelantikan, oleh Sri Sultan HB X tidak dimaknai sebagai menang-kalah. Ini rasanya, satu sikap rendah hati seorang raja.
Namun, setidaknya seperti juga dikatakan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, sebagai gubernur, Sultan HB X dan wakilnya Paku Alam IX, harus memimpin pemberantasan korupsi yang terjadi di Yogya. Siapa saja yang melakukan korupsi, Sultan penting untuk mengambil peran dan hukum diminta bertindak tegas.
Hal yang tak kalah penting adalah, agar bagaimana UU Keistimewaan bisa dioperasionalkan melalui perda, sehingga Keistimewaan tidak hanya sekedar slogan, melainkan memiliki makna bagi warga masyarakat Yogya. Kesejahteraan warga meningkat, dan pelayanan birokrasi melegakan bagi warga masyarakat. Akan menjadi sia-sia akhirnya, kalau status Keistimewaan malah membuat warga masyarakatnya dibelenggu birokrasi.
Masing-masing sektor, penting sekali melakukan interaksi dalam melakukan pelayanan publik sehingga warga masyarakat bisa lega mendapatkan pelayanan. Misalnya soal pengurusan perpanjangan STNK, balik nama BPKB, perpanjangan SIM dan membuat SIM baru, masing-masing di daerah yang berbeda diwilayah DIY saling melakukan koodinasi sehingga wajib pajak kendaraan merasa dipermudah membayar pajak kendaraan. Ironis rasanya, akan membayar pajak kok dipersulit. Lain soal, kalau Keistimewaan sekaligus memiliki makna mempersulit hal yang sebenarnya bisa dilakukan dengan mudah.
Rasanya, Keistimewaan Yogya, perlu memberi makna hidup bagi warga Yogya. Bukan segelintir warga Yogya. Syukur termasuk bagi warga lain yang datang sebagai turis di Yogya.
Ons Untoro
Artikel Lainnya :
- Laskar Dagelan Lelucon Jogja Bicara Indonesia(05/04)
- Masih Banyak Warung Sawah di Bantul(27/06)
- Gatotkaca(27/07)
- BATIK (2)(02/12)
- Cerita Jakarta Lewat Keramik(09/03)
- Denmas Bekel(22/12)
- PECEL MADIUN BERKAT YANG LEZAT(16/05)
- DOLANAN ANAK-ANAK MASA LALU YANG TELAH DILUPAKAN(09/12)
- 6 Februari 2010, Kabar Anyar - Berdirinya Candi Sewu(06/02)
- GAMBAR ALUN-ALUN LOR JOGJA TAHUN 1771(09/08)