- Beranda
- Acara
- Berita Budaya
- Berita Tembi
- Jaringan Museum
- Karikatur
- Makan Yuk
- Temen
- Tentang Tembi
- Video Tembi
- Kontak Kami
Berita-budaya»SENI FOTOGRAFI DARI DEWI BUKIT
16 Jul 2011 12:39:00Lagi-lagi, hasil fotografi dipahami sebagai karya seni, yang disebutnya sebagai seni fotografi. Bukan teknis fotografinya yang seni, melainkan hasil kerja dari fotografi adalah sebagai karya seni. Dewi Bukit, mahasiswi pasca sarjana ISI Yogyakarta, karya tugas akhirnya mengambil seni fotografi dan hasil dari karyanya itu dipamerkan di Tembi Rumah Budaya. ‘Underlimit’ adalah tajuk yang diangkat untuk menandai karyanya.
Seni fotografi Dewi Bukit mencoba menghadirkan sikap hidup hedonis, yang tak lain adalah sikap hidup konsumtif. Menggunakan menekin, Dewi mencoba menunjukkan bagaimana hedonisme dilakukan oleh orang. Simbol-simbol dihadirkan untuk ‘menunjukkan’ bagaimana konsumerisme telah ‘menenggelamkan’ pelakunya.
Entah kenapa, Dewi Bukit merasa perlu memeragakan sikap hidup hedonisme. Seolah ia sedang ‘menciptakan’ masyarakat konsumtif dan membidiknya melalui kamera. Melalui hasil ‘ciptaannya’ itu, Dewi Bukit seperti hendak berkata: ‘Inilah gaya hidup konsumtif dari masyarakat kita’.
Tiga simbol dihadirkan untuk menandai apa yang ia sebut sebagai hedonis, atau masyarakat konsumtif itu. Tiga simbol itu ialah, menekin, aquarium dan air. Simbol terakhir untuk menunjukkan ‘kekuatan kapitalisme’ sehingga ‘menenggelamkan warga masyarakat yang menempuh jalur hidup hedonis.
Dari karya rekaan Dewi Bukit, kita seperti melihat, Dewi Bukit tidak ‘enjoy’ ‘hunting’ dilapangan untuk menemukan perilaku konsumtif atau hedonisme dari warga masyarakat. Sebenarnya, Dewi Bukit bisa menentukan lokasi untuk melakukan eksplorasi bagaimana hedonisme telah ‘menguasai’ sikap hidup masyarakat. Pola-pola konsumtifnya coba dipahami, bukan diperagakan, untuk kemudian ‘dibidik’ melalui kamera.
Dikota-kota besar, atau di Yogya, ada beberapa tempat yang bisa dipakai untuk ‘sampel’ sikap hidup hedonisme. Atau setidaknya bisa melihat kehadiran masyarakat di mall, dan melihat jenis barang yang dibeli, atau perilaku orang di mall., dari sana imajinasi hedonisme bisa terbangun.
Pada karya Dewi Bukit, tidak terlalu kuat dalam hal produksi imajinasi bagi publik yang melihatnya. Semua karya yang dipamerkan, lebih banyak ‘menunjukkan’ secara verbal bagaimana hedonisme itu dilakukan. Dalam kata lain, Dewi Bukit tidak sedang menangkap fenomena hidup yang hedonis, tetapi seperti memberi ‘pelajaran’ bagaimana hidup hedonis itu dilakukan. Misalnya, pada karya yang menampilkan ‘troly’ yang mudah ditemukan di mall-mall, pada troly ini diletakkan botol bekas minuman keras, yang barangkali hendak menunjukkan hedonisme dari sisi minum-minuman keras. Pertanyaan yang mungkin muncul: Apakah orang yang membeli minuman keras dengan sendirinya sedang menjalani hidup hedonis?
Akan menjadi lain, kalau yang dihadirkan adalah realitas hidup hedonis. Kita akan bisa memiliki imajinasi. Namun, ketika Dewi Bukit menampilkan realitas faktual, yang tampak kuat adalah realitas sosial dalam karya fotografi. Karena Dewi Bukit ‘terlanjur’ masuk ranah seni fotografi, maka dia membuat ‘rekaan’ agar unsur seninya kena, meski kita bisa ragu sekaligus bertanya, sebagai realitas sosial, dimana letak seninya dari sikap hidup hedonis?.Entahlah.
Ons Untoro
Artikel Lainnya :
- Mendengar Campursari, Mengingat Manthous(12/03)
- WATU MANTEN(06/09)
- KUNJUNGAN TK AISYIAH SLANGGEN, Tembi KOK MEDENI(18/11)
- 12 Maret 2010, Pasinaon basa Jawa - KASUS BANK CENTURY(12/03)
- Satu Jam Belajar Gamelan(11/08)
- PANEN RAYA PADI ORGANIK PANDAN WANGI PEDUKUHAN SERUT DESA PALBAPANG BANTUL(18/08)
- Kesusastraan Lama Indonesia(06/02)
- TARI BEDHAYA ANGRON AKUNG: Kisah Penyamaran Raden Panji Inu Kertapati(20/07)
- 22 Juni 2010, Ensiklopedi - KOKO-KOKO(22/06)
- HOT PLATE TAHU JEPANG(07/12)