Mendengar Campursari, Mengingat Manthous

Mendengar Campursari, Mengingat ManthousSudah lama memang kita tidak mendengar Manthous pentas, karena memang pemusik campursari itu terkena stroke. Namun bukan berarti lagu campursasri hilang dari peredaran. Setiap kali terdengar alunan lagu campursari, meski yang mengalunkan bukan Manthous, tetapi rasanya ingatan kita menunjuk pada Manthous.

Tapi berita mengejutkan datang, Jum’at lalu, termasuk sudah beredar di media jejaring sosial seperti facebook, mengabarkan bahwa Manthous telah tiada. Setelah sekian lama terkena stroke, akhirnya dia pergi ke rumah Tuhan. Para musisi campursari merasa kehialangan atas kepergian Manthous.

Manthous, meski terkenal, dia tetap bersahaja dan bersedia pentas untuk kepentingan bukan komersial. Tahun 2001, Manthous pentas di Tembi Rumah Budaya, dan ditonton oleh banyak orang, sampai-sampai ruang Tembi tidak mampu menampungnya. Banyak penonton yang menikmati pertunjukkan Manthous dari luar kompleks Tembi dan berdiri di jalan raya.

Kenangan 11 tahun yang lalu di Tembi, Manthous seperti tidak ‘hilang dari ingatan’. Seolah, belum lama berlalu dia hadir. Setiap mendengar lagu campursari, selalu yang teringat hanya Manthous. Seolah campursari identik dengan Manthous. Padahal kita tahu, ada banyak penyanyi campursari hadir stelah Manthous.

Ada yang menyebut, Manthous adalah pionir musik campursari. Upaya dia menggabungkan antara pentatonik dan diatonik, kiranya merupakan satu ‘terobosan’ yang ternyata diterima oleh masyarakat, dan pasar musikpun tidak menolaknya. Apalagi, musik campursari bisa ‘diterima’ oleh etnik yang beragam, bukan hanya orang JawaMendengar Campursari, Mengingat Manthousyang menyenanginya.

Kita layak kagum pada Manthous. Sebab, dari tempatnya di Gunung Kidul, dia bisa melompati ‘jagat musik’ dan tidak ‘memaksakan ’ diri tinggal di Jakarta untuk ikut arus dinamika selebritas. Manthous tetap memilih tinggal di Gunung Kidul, yang jaraknya sekitar 40 Km dari kota Yogyakarta, namun nama Manthous melambung melampui wilayah tempat tinggalnya. Dalam kata lain, orang bisa mengenal nama Manthous, tetapi belum tentu mengenal nama wilayah tempat tinggalnya.

Penampilan Manthouspun sangat khas di panggung. Dia tidak mengenakan kostum yang ‘mewah’ atau glamour, tetapi mengenakan pakaian khas Jawa. Sepertinya Manthous ‘menyelaraskan’ antara lagu dan kostum. Karena itu, melihat pertunjukkan Manthous mengingatkan akan tradisi Jawa.

Kini, Manthous telah tiada. Tapi lagu-lagu campursarinya tetap akan didengarkan oleh penggemarnya. Lagu-lagunya akan terus mengalun dan campursari akan terus hidup. Artinya, Manthous tidak akan dilupakan, walau dia telah tiada. Orang masih bisa mendengar suara Manthous melalui lagu-lagu campursari.

Kita tahu, terobosan Manthous telah menemukan formula musik campursari dan akan terus diikuti oleh generasi yang lebih muda. Kita juga tahu, telah ‘lahir’ Manthous-Manthous muda, dan barangkali lebih terkenal dari Manthous. Tetapi kita tahu, formula musiknya menggunakan formulanya Manthous.

Karena itu, ketika lama Manthous tidak tampil di panggung lantaran menderita stroke, tetapi kalangan musisi campursari seperti tidak mau ‘meninggalkannya’. Artinya, menyebut musik campursari tidak bisa melupakan Manthous.

Dan ketika berita Manthous meninggal beredar. Musik campursari seperti berduka.

Tentu kita berduka kehilangan Manthous dan hanya mampu mengucapkan: Selamat jalan Manthous.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta