SALURAN PENGATUSAN BUKANLAH "JUGANGAN"

Bulan Oktober menjelang jatuhnya bulan November 2011 yang notabene dikenal pula sebagai saat masuknya musim penghujan, saluran pengatusan di sisi timur Jalan Parangtritis khususnya pada ruas jalan di wilayah Bangi-Tembi mulai diperbaiki. Saluran pengatusan ini selama ini memang cukup menimbulkan masalah. Kecuali dari sisi bangunannya yang kurang memadai mewadahi limpahan air hujan (dan limbah) saluran ini juga sering mampet di sana-sini sehingga luapan air melimpah ke ruas jalan. Hal ini jelas mengganggu pengguna jalan sekaligus pemukim di wilayah dua dusun tersebut.

Kecuali itu saluran ini juga terkesan berhenti (mampet) di sisi selatan gedung SD Timbulharjo. Saluran gorong-gorong di bawah Jalan Tembi-Pacar-Pleret juga kelihatan mampet dan hampir selalu dilimpahi sampah. Luberan air dari gorong-gorong yang mestinya dapat menyalurkan air hingga ke hilir ini justru “beristirahat” di gorong-gorong. Akibatnya limpahan airnya mbludag ke jalan, ke pemukiman, dan ke sisi selatan kompleks gedung SD Timbulharjo. Jelas hal ini meimbulkan gangguan tidak saja bagi pengguna jalan dan pemukim setempat, namun juga bagi anak-anak yang akan melakukan aktivitas belajar. Pun juga hal ini sangat mengganggu akses jalan bagi wisatawan yang akan masuk atau keluar dari Tembi yang dikenal sebagai desa wisata di samping Gabusan dan Manding.

Untungnya pembangunan saluran pengatusan yang dimaksud selesai sebelum memasuki minggu pertama bulan November. Saluran pengatusan itu bahkan juga telah ditambahkan (dibangun baru) di sisi selatan gedung SD Timbulharjo. Kini genangan air di sisi selatan SD dan jalan masuk ke Tembi itu nyaris tidak ada lagi. Saluran pengatusan telah dibuatkan cukup bagus dan memadai.

Hal yang menjadi persoalan adalah bagaimana membiasakan pola hidup masyarakat yang berdisiplin dan memiliki kepedulian tinggi terhadap fasilitas publik semacam saluran pengatusan itu. Hingga kini kesan abai terhadap keberadaan saluran pengatusan itu masih cukup bisa dirasakan. Hal ini dapat dibuktikan dengan mengamati saluran pengatusan di berbagai tempat (bukan hanya di ruas Tembi-Bangi). Hampir semua saluran pengatusan mengalami “derita” harus menerima limpahan limbah padat berupa sampah. Sampah ini umumnya berwujud plastik kresek, botol plastik, kantung plastik, kertas, kardus bekas, kaleng, tali plastik, remah kayu, dedaunan, rumput, plastik bekas poster dan baliho, dan sebagainya.

Semua sampah padat itu bisa dipastikan berasal dari masyarakat sendiri. Hal ini menjadi pertanda bahwa masyarakat sendiri belum begitu bisa menyayangi prasarana publik yang menjadi sarana bersama untuk kenyamanan bersama. Pembangunan prasarana demikian yang telah menelan biaya dan tenaga tidak sedikit mestinya bisa disayangi, dirawat, dan dijaga keberlangsungan hidup dan fungsinya secara maksimal. Jika masyarakat sendiri abai maka pada gilirannya akan menjadi bumerang atau petaka bagi masyarakat itu sendiri.

Saluran pengatusan telah dibuatkan memadai, tinggal masyarakat peka atau tidak cara menggunakannya dengan baik. Jika masyarakat tidak peka alias abai, maka kemungkinan besar saluran ini pun dalam waktu dekat akan menimbulkan masalah lagi. Namun jika masyarakat memang peduli prasarana ini bisa dikelola menjadi prasarana bersama untuk kenyamanan, kesehatan, sekaligus keindahan. Mungkin hal ini bisa diterakan dengan tidak membuang sampah sembarangan. Saluran pengatusan, sungai, dan selokan bukanlah “jugangan” atau tempat sampah yang panjang. Jangan pernah memiliki pikiran bahwa saluran pengatusan adalah “jugangan” panjang yang dibuat pemerintah untuk membuang sampah bagi masyarakat.

a.sartono

SALURAN PENGATUSAN BUKANLAH "JUGANGAN" SALURAN PENGATUSAN BUKANLAH "JUGANGAN" SALURAN PENGATUSAN BUKANLAH "JUGANGAN" SALURAN PENGATUSAN BUKANLAH "JUGANGAN" SALURAN PENGATUSAN BUKANLAH "JUGANGAN"

SALURAN PENGATUSAN BUKANLAH "JUGANGAN"




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta