Tembi

Yogyakarta-yogyamu»KREBET, PUSAT BATIK KAYU DI PAJANGAN, BANTUL (I)

01 Jan 2008 03:08:00

Yogyamu

KREBET, PUSAT BATIK KAYU DI PAJANGAN, BANTUL (I)

Seni batik dari waktu ke waktu ternyata mengalami perkembangan yang pesat. Membatik sekarang tidak hanya dilakukan di atas selembar kain, tetapi juga memakai media lain. Hal ini antara lain terdapat di Dusun Krebet, Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul. Di pelosok dusun ini berkembang kerajinan batik dengan media kayu sehingga lazim disebut batik kayu.

Keberadaan kerajinan batik kayu ini tidak lepas dari tokoh bernama Gunjiyar. Gunjiyar adalah perintis kerajinan ini. Sekitar tahun 1972 Gunjiyar sakit akibat digigit ular dan tidak dapat berjalan selama kurang lebih 40 hari. Selama sakit ia memanfaatkan ketrampilan yang dimilikinya yaitu mengukir. Gunjiyar membuat ukiran gagang pisau berbentuk kepala manusia, dan ternyata ada yang membeli. Setelah sembuh Gunjiyar tetap menjadi pengukir yang lama-kelamaan menjadi pekerjaan pokok karena hasilnya cukup menjanjikan. Kepandaian dan ketrampilan Gunjiyar ini menarik tetangganya, dan Gunjiyar sendiri tidak keberatan untuk mengajarinya. Tidak hanya sampai di situ bahkan sebelum hasil karya mereka dilepas Gunjiyar mencarikan terlebih dahulu daerah pemasarannya, seperti Supardi yang dicarikan pemasaran di Kotagede Yogyakarta. Dalam perkembangannya akhirnya mereka mencari daerah pemasaran sendiri, bahkan sampai di luar Yogyakarta.

Pada mulanya wayang kayu adalah ciri khas kerajinan di Dusun Krebet ini. Walaupun Gunjiyar merupakan perintis kerajinan ini, perintis untuk wayang kayu adalah Suroto, Surojo dan Sujadi. Ketiga orang ini pada mulanya belajar mengukir pada Gunjiyar pada tahun 1975. Di samping belajar dan membuat bentuk-bentuk benda seperti yang diajarkan Gunjiyar, mereka juga mengembangkan kreatifitasnya, seperti membuat wayang kayu yang bentuk dan tokohnya meniru wayang kulit. Wayang kayu ini dibuat pertama kali tahun 1980. Wayang kayu ternyata paling banyak peminatnya sehingga paling banyak dikembangkan, baik model, ukuran maupun bentuknya.

Hasil akhir kerajinan ini ada dua, yaitu dicat dan dibatik. Proses pengecatan yang dilakukan adalah meniru proses pengecatan pada kerajinan kulit yang telah dipelajari beberapa perajin waktu membuat wayang kulit di Desa Pendowoharjo, Sewon, Bantul. Ketrampilan mengecat ini kemudian diajarkan pada perajin lain. Jadi pada awalnya kerajinan ini belum melalui proses pembatikan.

Proses pembatikan pertama kali dikenalkan oleh Windarti, yang berasal dari Bayat Kabupaten Klaten. Setelah lulus SD tahun 1986 Windarti belajar membatik kain di Bayat selama kurang lebih satu tahun. Pada tahun 1987 sampai 1989 Windarti bekerja di tempat Rudi di daerah Tamansari Yogyakarta sebagai pembatik kain. Selama kurang lebih tiga tahun Windarti mempelajari tentang pewarna yang digunakan termasuk cara-cara mencampurkannya.

Pada tahun 1991 Windarti menikah dengan Tugiyo, penduduk Dusun Krebet, dan mengikuti suaminya ke Krebet. Di sana Windarti mengembangkan ketrampilan yang dimilikinya yaitu membatik bukan pada kain, tetapi pada kayu. Anton Wahono, seorang pengusaha kerajinan yang cukup berhasil pada waktu itu, meminta Windarti untuk mengajari karyawannya. Windarti bersedia tetapi tidak semua teknik mencampur warna diajarkan, dan itupun hanya selama empat hari. Windarti menolak ketika akan diangkat menjadi karyawan tetap karena lebih senang bekerja sendiri.

Hasil kerajinan dengan sistem pembatikan inilah yang lebih berkembang, sehingga akhirnya hasil akhir dengan pengecatan sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan. Untuk mencapai hasil akhir yang baik tentu saja sering melalui berbagai macam percobaan, di mana percobaan tersebut dapat saja gagal sebelum mencapai hasil yang diinginkan. Selain membuat barang atas keinginan sendiri, perajin juga menerima pesanan. Dalam hal ini pemesan dapat meminta model yang telah ada atau menyertakan sendiri model yang diinginkan. Sampai saat ini berbagai bentuk barang telah dihasilkan, dari yang berukuran kecil sampai yang berukuran besar, seperti topeng, patung, tempat menyimpan perhiasan, hiasan dinding, meja kursi, dan lain-lain. Mengenai harga bervariasi, tergantung besar kecilnya benda, rumit tidaknya proses pembatikan, dan kualitas barang.

Kenaikan harga bahan baku atau pun bahan pembantu memang harus membuat pengusaha dan perajin untuk pandai-pandai menyiasatinya. Hal ini membuat kerajinan tersebut tetap dapat bertahan bahkan semakin berkembang. Promosi dan pameran, berbagai pelatihan mereka ikuti untuk mengembangkan kerajinan batik kayu tersebut. Perkembangan tersebut dapat dibuktikan, bahwa pada tahun 1996 baru terdapat lima sanggar batik kayu, sedangkan sekarang, tahun 2008, ada kurang lebih 28 sanggar dengan pekerja yang semakin banyak. Penjualan selain dilakukan di dalam negeri (Yogyakarta, serta di luar Yogyakarta seperti Padang, Surabaya dan Bali) juga ekspor ke luar negeri.

Teks dan foto : Kusalamani




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta