Tamansari Yogyakarta
Di Yogya, kita mengenal salah satu obyek wisata yang ada dilingkungan Kraton dan dikenal dengan nama Tamansari. Tentu, setelah direnovasi Tamansari kelihatan lebih mempesona, setidaknya bisa memberikan imajinasi pada bangunan yang dibuat 2 abad lebih yang lalu.
Pada awal tahun 1970-an, seringkali saya beramain di kompleks Tamansari ini. Bangunannya lusuh dan menyeramkan. Kelihatan sekali tidak terawat. Kolamnya, yang dikenal dengan sebutan umbul, atau ketika kanak-kanak dulu menyebutnya sebagai ngumbul, kering tamnpa air dan penuh bila musim hujan tiba. Tentu bisa kita bayangkan, air hujan yang menggenangi kolam, maka airnya keruh. Anak-anak dan orang dewasa yang (masih) suka hujan-hujan, seringkali bermain di kolam Tamansari. Di tengah hujan yang deras, orang2 dewasa pada berenang.
Tentu, kolam di Tamansari sekarang airnya jernih. Warnanya biru dan lantai kolam bisa dilihat dari atas air. Bangunan yang ada disekitar kolam sudah diperbaiki sehingga kelihatan bersih. Tidak setiap orang bisa berenang di kolam ini, karena memang bukan kolam renang untuk umum, laiknya kolam renang yang ada di Yogyakarta. Jernih air pada kolam, setidaknya bisa untuk membayangkan, dua abad lalu, kolam renang di Tamansari ini airnya jernih.
Di Yogya, kita tahu, ada sejumlah bangunan heritage yang masih terawat. Ada bangunan yang masih fungsional, misalnya untuk kantor, seperti bank BNI, Kantor Pos, Kantor Gubernur DIY, atau untuk kepentingan-kepentingan lain. Bangunan yang mempunyai nilai sejarah dan masuk sebagai heritage sudah selayaknya dijaga, karena dengan menjaga bangunan heritage kita bisa mengenal produk budaya pada satu jaman yang sudah melewati abad.
Tamansari, yang sekarang menjadi obyek wisata dan dikunjungi oleh turis asing maupun turis domestik merupakan bangunan heritage, yang sekarang kondisibnya lebih bagus, karena sudah direnovasi. Bangunan Tamansari bukan sebagai bangunan peninggalan penjajah seperti misalnya bangunan Istana Negara ‘Gedung Agung’, Bank Indonesia, Kantor Pos, BNI dan lainnya. Karena Tamansari dibangun pada pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I dan diteruskan oleh Sultan Hamengku Buwana II. Artinya, Bangunan Tamansari ‘murni’ hasil ‘kehendak’ raja Ngayogyakarta pada waktu itu. Orang sudah tahu, Sultan HB I bertahta di Kasultanan Yogyakarta tahun 1755.
Melihat Tamansari, kita seperti diajak melihat keindahan bangunan pesanggrahan. Pada dua abad lalu, keindahan Tamansari kiranya sangat terasa. Karena merupakan pesanggrahan raja, tentu tidak setiap orang bisa masuk di Tamansari, kecuali keluarga raja atau mungkin tamu, atau juga abdi dalem yang melayani raja selama istirahat dipesanggrahan Tamansari.
Dari bangunan Tamansari ini, kita bisa memasuki, salah satunya bangunan yang dikenal dengan nama ‘Sumur Gemuling’. Letaknya dibawah tanah, sehinga untuk memasukinya harus melalui lorong. Diantara dinding lorong ada jendela, yang rupanya untuk ventilasi udara dan sinar matahari, sehingga meski menyusuri lorong bawah tanah, udaranya tidak pengap. Di tengah bangunan ini ada tangga, yang diatasnya langsung bisa menatap ruang terbuka, dan dari sana sinar matahari serta udara bisa masuk ke ruangan. Meski memasuki lorong-lorong, tetapi sejuk merambati tubuh. Sumur Gemuling ini hanyalah salah satu contoh bangunan di kompleks Tamansari.
Konon, setidaknya seperti tertulis dalam buku ‘Tamansari’. Bangunan ini dirancang oleh seorang arsitek dari Portugis, yang terdampar di laut selatan. Karena bahasanya tidak dikenali oleh masyarakat yang ‘menemukan’ ia dianggap sebagai jin atau orang hutan. Namun, setelah lama mengabdi pada Kasultanan dan dia bisa berbahasa Jawa, dia menceritakan kalau datang dari Portugis, yang kapalnya pecah dan dia terdampar di laut selatan. Di Portugis dia dikenal sebagai arsitek dan di Kasultanan, akhirnya mendapat ‘gelar’ Demang Portugis, yang sering disebut sebagi Demang Tegis.
Apapun kisah masa lalu yang menyertai bangunan Tamansari, setidaknya dari bangunan ini kita bisa tahu, bahwa sejak lama, sebenarnya Jawa sudah berinteraksi dengan kultur diluarnya. Dari bangunan Tamasari kita bisa melihat kultur Jawa berinteraksi dengan kultur Spanyol. Atau bangunan heritage lainnya, seperti BNI, Kantor Pos, Istana Negara ‘Gedung Agung’ merupakan bentuk interaksi Jawa dengan kultur Eropa, meski secara politik Eropa menjajah Jawa, tetapi secara kultural masing-masing saling berinteraksi.
Melalui bangunan-bangunan heritage yang ada di Yogya, kita bisa tahu bahwa kultur Jawa berinteraksi dengan kultur diluarnya.
Ons Untoro
Artikel Lainnya :
- 8 Februari 2010, Suguhan - TONGSENG DAN RICA-RICA MENTHOK(08/02)
- Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta(12/08)
- BROWNIES SALAK PONDOH, OLEH-OLEH KHAS JOGJA YANG MASIH KINYIS-KINYIS(05/01)
- PENTAS dan KARYA SMP TUMBUH DI Tembi(02/01)
- Memilih Hari Untuk Minggu Depan(13/09)
- Festival Musik Tembi 2012 Musik Tradisi Tidak Akan mati(02/06)
- 26 Maret 2010, Pasinaon basa Jawa - UJIAN NASIONAL 2010(26/03)
- DRAWING The Day After Today(15/05)
- 7 Januari 2011, Figur Wayang - Pada Suatu Saat …(07/01)
- Denmas Bekel(17/03)