PENTAS & KARYA SMP TUMBUH DI Tembi

PENTAS & KARYA SMP TUMBUH DI Tembi“Tangan bajumu singsingkan…” Lagu ‘Bangun Pemudi Pemuda Indonesia’ karya A. Simanjuntak berkumandang dengan penuh semangat di pendapa Tembi Rumah Budaya Desember lalu. Para siswa SMP Tumbuh menyanyikan “lagu wajib” sekolahnya sambil menyilangkan tangan mereka di dada.

Mereka tidak hanya menyanyi. Dua siswa, putra dan putri, menjadi MC, yang meski terkadang keseleo lidah tapi tetap tampil percaya diri. Mereka juga menunjukkan kebolehan bermain karawitan. Ditutup dengan penampilan dua siswa, juga putra dan putri, mendampingi kepala sekolah mereka, Sari Oktafiana, menyanyikan lagu ‘The Greatest Love of All’.

PENTAS & KARYA SMP TUMBUH DI TembiMenurut Sari, ini merupakan pementasan mereka di luar sekolah. Pementasan ini menjadi lebih bernilai saat diungkapkan bahwa di antara mereka yang tampil adalah anak-anak berkebutuhan khusus (ABK). Ada siswa down syndrome yang kecerdasannya setingkat dengan anak TK, ada siswa tuna daksa yang mengalami hambatan gerak, dan semacamnya. Pementasan ini, lanjut Sari, merupakan sarana latihan agar siswa SMP Tumbuh, baik ABK maupun non ABK, dapat tampil percaya diri.

Ada 18 siswa yang terlibat, yang memang merupakan jumlah keseluruhan dari SMP Tumbuh, 10 di antaranya ABK. Mereka semua angkatan pertama, jadi belum ada siswa kelas 2 danPENTAS & KARYA SMP TUMBUH DI Tembikelas 3. Sebagian adalah lulusan SD Tumbuh. Baik SD maupun SMP Tumbuh, keduanya adalah sekolah inklusi, yakni sekolah regular (biasa) yang menerima ABK dan menyediakan sistem layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan anak tanpa kebutuhan khusus (ATBK) dan ABK. Berbeda dengan sekolah luar biasa (SLB) yang mengeksklusifkan ABK, sekolah inklusi justru mencairkan dan menerobos pengkotakan itu.

KPH. Wironegoro, M.Sc, KetuaYayasan Edukasi Anak Nusantara yang menaungi kedua sekolah ini, memaparkan bahwa kurikulum sekolah inklusi lebih dapat menjawab kebutuhan ABK sehingga mereka dapat memiliki keahlian yang sesuai dengan minatnya. Di tengah masyarakat, mereka juga bisa tampil lebih percaya diri dan tidak canggung. Selain itu, penerobosanPENTAS & KARYA SMP TUMBUH DI Tembipengkotakan sesuai dengan kenyataan keberagaman di masyarakat.

Pementasan para siswa SMP Tumbuh ini merupakan bagian dari acara ‘Mangrove for Life’ yang berlangsung pada 13-15 Desember 2011 di Tembi Rumah Budaya. Acara ini juga disemarakkan pameran karya-karya para siswa yang terbuat dari barang bekas atau dikenal dengan 3R (reduce, reuse, recycle), hasil bimbingan guru mereka, Herlita Jayadiyanti. Ada rumah terbuat dari sedotan, tempat foto dari karton, gambar di atas genteng, dan sebagainya. Semuanya diolah jadi menarik.

‘Mangrove for Life’ itu sendiri telah berlangsung selama 1 semester yang ditutup pada Desember lalu di Tembi.PENTAS & KARYA SMP TUMBUH DI TembiSebelumnya pada 26 November mereka melakukan penanaman hutan bakau di Dusun Baros Desa Tirto Hargo Bantul bekerja sama dengan pemuda dusun tersebut, serta bekerja sama dengan sejumlah lembaga, dan didukung oleh Kementrian Lingkungan Hidup Yogyakarta.

Dusun Baros terletak di tepi muara Sungai Opak dengan gelombang laut selatan yang sangat tinggi sehingga mengalami abrasi dan penyusutan lahan pasir. Selain berguna untuk menyelamatkan lingkungan, penanaman bakau juga dapat menaikkan ekonomi masyarakat. Hutan bakau yang lebat di sepanjang pesisir pantai Bantul nantinya dapat dimanfaatkan masyarakat untuk memanen kepiting dan hewan rawa lainnya yang dapat digunakan untuk menambah pendapatan keluarga.

PENTAS & KARYA SMP TUMBUH DI TembiKegiatan ini, menurut Sari, merupakan bagian dari program area pertumbuhan di sekolah, yang memfasilitasi anak didik agar ‘hands on’, ‘minds on’, dan ‘heart on’ atas fenomena yang terjadi di masyarakat. Semester ini mereka dilatih sebagai social enterpreneur. ‘Hands on’ agar siswa mampu memahami entrepreneur dan menerapkannya, ‘minds on’ agar siswa mampu berkreasi dengan menggunakan prinsip-prinsip entrepreneur, dan ‘heart on’ agar siswa mampu menjadi entrepreneur yang peduli dan memperhatikan aspek kesejahteraan dan hak-hak pekerja serta mampu memberikan apa yang telah dia dapatkan dari entrepreneurship kepada lingkungan maupun masyakarat.

Kegiatan ini, Sari menambahkan, juga merupakan aplikasi dari 4 pilar pendidikan dari UNESCO berupa learning to know, learning to do, learning to be dan learning how to live together, sedangkan dalam domain pendidikan juga memfasilitasi siswa akan domain kognisi, afeksi serta psikomotorik learning.

Salah satu pilar, ‘how to live together’, agaknya patut digarisbawahi dalam konteks kemasyarakatan kita saat ini. Herlita mencontohkan betapa anak-anak dan orang tua ATBK menunjukkan kepedulian yang besar terhadap ABK, betapa para orang tua murid kompak terlibat dalam pendidikan para siswa tanpa mempermasalahkan suku, agama, ras dan golongan. Dengan kata lain, ada kepedulian berdasarkan prinsip kesetaraan. Kehadiran sekolah inklusi seperti SD dan SMP Tumbuh patut diapresiasi tinggi karena ke depannya pemahaman dan sikap inklusif seperti ini semakin dibutuhkan bangsa ini.

Teks: barata
Foto: Sartono




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta