Tembi

Bale-dokumentasi-resensi-buku»Busana Adat Kraton Yogyakarta (1887 1937) Makna dan Fungsi dalam Berbagai Upacara

01 Nov 2004 05:29:00

Perpustakaan

Judul : Busana Adat Kraton Yogyakarta (1887 – 1937)
Makna dan Fungsi dalam Berbagai Upacara
Penulis : Mari S. Condronegoro
Penerbit : Yayasan Pustaka Nusatama
Halaman : XVI + 57
Ringkasan isi :

Busana atau pakaian adalah ekspresi budaya Pakaian dengan berbagai lambang simboliknya mencerminkan norma-norma dan nilai-nilai budaya masyarakat pemakainya. Demikian pula bagi masyarakat Jawa lebih-lebih kalangan kraton atau bangsawan. Dalam bukunya ini Mari S. Condronegoro mengupas tentang busana kraton Yogyakarta semasa Sultan Hamengku Buwana VII (1877 – 1921) dan Sultan Hamengku Buwana VIII (1921 –1959) karena pada masa-masa itulah busana kraton mencapai puncak perkembangannya.
Buku ini dibagi menjadi empat bab. Bab pertama pendahuluan menggambarkan permasalahan (busana kraton) yang akan dibahas. Bab dua membahas dinamika kehidupan kraton antara lain kehidupan para bangsawan, pendidikan dan stratifikasi sosilanya. Bab ketiga membahas aneka ragam busana adat gaya Yogyakarta berdasarkan tingkat umur dan keperluannnya. Bab empat atau penutup menggambarkan masalah busana adat Yogyakarta periode 1877 – 1939, atau deskripsi busana kebesaran kraton Yogyakarta.

Kebudayaan Jawa (kraton) mengalami perkembangan pesat dalam segi etika, estetika maupun filsafat sepanjang abad ke 18. Perkembangan ini bersamaan dengan kemunduran di bidang politik akibat campur tangan Belanda terhadap berbagai urusan di kerajaan khususnya ekonomi dan militer. Belanda selalu berusaha dengan berbagai cara untk memperoleh keuntungan. Puncak campur tangan tersebut adalah pecahnya kerajaan menjadi dua yaitu Surakarta dan Yogyakarta.

Secara politis kasultanan ada di bawah kekuasaan pemerintah Belanda tetapi secara kultural tetap dapat mengembangkan berbagai hal yang dapat menjaga prestise dan kewibawaan. Melalui pakaian konsep kewibawaan itu dibangun kembali dengan dihadirkannya berbagai larangan pemakaian terhadap kain dan busana tertentu beserta kelengkapannya. Artinya tidak sembarang orang boleh memakainya.

Secara keseluruhan penampilan busana yang megah dan mewah dalam suatu upacara ritual juga merupakan jaminan legitimasi power dari pemakainya Di sini terlihat bahwa penyajian busana adat kraton tidak dapat dipisahkan dari posisi dan kedudukan pemakainya. Oleh karena itu orang yang berderajat sama harus memperhitungkan jauh dekatnya hubungan dengan raja. Misalnya sama-sama putra raja yang satu lahir dari permaisuri satunya lahir dari garwa ampeyan (selir).

Beberapa corak kain tidak diijinkan dipergunakan oleh mereka yang tidak memiliki hubungan darah dengan raja. Bahkan ada yang khusus dirancang untuk pribadi sultan. Misal batik motif kawung dan motif huk pada masa Hamengku Buwana VII. Motif huk tergolong motif non geometris yang terdiri motif kerang (lambang dari air atau dunia bawah yang bermakna lapang hati), binatang, (gambaran watak sentosa dan pemberi kemakmuran) cakra, burung, sawat (ungkapan ketabahan hati) dan garuda. Oleh karena itu seorang pemimpin atau raja diharapkan berbudi luhur dapat memberi kemakmuran pada rakyat dan selalu tabah menjalankan roda pemerintahan. Pada masa Hamenku Buwana VIII corak parang menjadi pedoman utama untuk menentukan derajat kebangsawanan seseorang. Tiga motif batik lain yang menjadi standar istana adalah coak semen (dari kata semi yang artinya tumbuh), sawat (pemakainya diharapkan memperoleh kemakmuran, kewibawaan dan perlindungan), udan riris/udan liris (artinya hujan gerimis, pengharapan agar selamat, sejahtera, tabah dan dapat menjalankan kewajiban dengan baik).

Secara garis besar busana sebagai atribut kebangsawanan dapat dibedakan menjadi dua golongan yakni busana untuk sehari-hari atau non formal dan busana untuk kegiatan formal atau resmi. Busana resmi terbagi dua yaitu untuk upacara alit dan upacara ageng. Upacara alit misalnya tetesan (khitan untuk anak perempun), tarapan (haid pertama kali) dan tingalan dalem padintenan (peringatan penobatan raja berdasarkan perhitungan hari dan pasaran Jawa misal Selasa Kliwon). Upacara ageng misalnya supitan (khitan), perkawinan kerabat kraton, tingalan dalem tahunan, jumenengan dalem, Agustusan dan sedan (pemakaman jenazah raja).

Busana sehari-hari putri sultan yang masih kecil adalah sabukwala yang terdiri tiga macam yaitu sabukwala nyamping batik untuk busana sehari-hari dan upacara alit, sabukwala nyamping praos untuk resepsi tetesan yang bersamaan supitan dan sabukwala nyamping cindhe untuk upacara garebeg dan tetesan tidak bersamaan dengan supitan. Untuk putra laki-laki mengenakan busana kencongan, baju surjan, lonthong tritik, ikat pinggang berupa kamus songketan dengan cathok/timang dari suwasa (emas berkadar rendah).

Untuk putri sultan praremaja atau peralihan dari anak-anak ke remaja (biasanya berusia 11 sampai 14 tahun) mengenakan busana pinjungan. Busana ini dikenakan dengan cara melipat ujung kain sebelah dalam dibentuk segitiga sebagai hiasan penutup dada. Busana pinjungan dibedakan menjadi pinjung harian, pinjung bepergian, pinjung upacara alit dan pinjung untuk upacara garebeg.

Untuk remaja dan dewasa dalam keseharian mengenakan busana semekanan (dari kata semekan berupa kain panjang dengan lebar separo dari lebar kain biasa berfungsi sebagai penutup dada). Untuk remaja atau putri yang belum menikah semekan polos tanpa tengahan tanpa hiasan kain sutra di tengahnya. Bagi yang sudah menikah semekan tritik dengan tengahan.

Bagi pria remaja atau dewasa dalam kesehariannya mengenakan baju surjan, kain batik dengan wiru di tengah, lonthong tritik, kamus songketan, timang, destar sebagai penutup kepala.

Busana untuk upacara ageng adalah busana keprabon khusus untuk putra sultan. Jenis busana keprabon untuk pria terdiri dari busana dodotan, busana kanigaran dan busana kaprajuritan.

Dalam buku ini Mari S. Condronegoro menguraikan penggunaan busana adat tersebut dengan cukup jelas termasuk perlengkapannya misal perhiasan yang harus dikenakan. Juga perbedaan-perbedaan “kecil” karena status atau tingkat kebangsawanan pemakainya yang berbeda. Perbedaan tersebut misalnya ukuran wiru, letak wiru, hiasan sanggul, bentuk dan besar kecilnya kalung atau gelang dan lain-lain.

Berbagai ragam busana adat dengan perlengkapan-perlengkapannya tersebut ternyata tidak hanya sekedar untuk menunjukkan status kebangsawanan, kemegahan dan kemewahan tetapi juga mengandung makna simbolis. Misalnya sangsangan sungsun (kalung bersusun) merupakan perlambang tiga tingkatan kehidupan manusia dari lahir, menikah dan mati yang dihubungkan dengan konsepsi Jawa tentang alam baka, alam antara dan alam fana. Binggel kana (gelang) berbentuk melingkar tanpa ujung pangkal bermakna lambang keabadiaan, Bentuk gunungan (meru) pada pethat (sisir) melambangkan keagungan Tuhan dan harapan terciptanya kebahagiaan. Hiasan sanggul berupa ceplok dengan jenehan terdiri tiga warna merah, hijau dan kuning (biasa dikenakan untuk pengantin putri) merupakan lambang Trimurti, tiga dewa pemberi kehidupan.

Adanya interaksi dan komunikasi dengan orang luar (terutama Belanda) membawa pengaruh pula terhadap perkembangan busana. Misalnya pemakaian topi, anggar (tempat keris), kaos kaki dalam busana kaprajuritan. Akseroris yang lain misal rante karset, jam saku, timang (kretep), rimong pada busana pesiar, bulu burung, kipas, bros, dan lain-lain.

Buku ini menjadi lebih menarik karena dilengkapi foto-foto/gambar baik hitam putih maupun berwarna. Gambar tersebut ada yang hasil reproduksi artinya dibuat pada masa Hamengku Buwana VII maupun Hamengku Buwana VIII. Dan yang kedua merupakan foto hasil peragaan busana kraton.




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta