Konser Sa'Unine
Ciptakan Sejarah

Tepat tanggal 28 januari 2010 kemarin bisa jadi adalah hari bersejarah bagi bangsa indonesia, karena terjadi demonstrasi besar-besaran yang meminta pertanggungjawaban dan menagih janji pemerintahan SBY-Boediono yang telah 100 hari mempimpin bangsa ini dengan kabinetnya. Meski tidak terjadi keramaian dan keributan, sebuah perhelatan yang justru membuat ramai terjadi di pentas musik Bentara Budaya Jakarta. Berlangsung di hari yang sama, grup musik orkestra SaUnine menggelar pentas pertamanya di Bentara Budaya Jakarta.

Sejak tahun 1992, Sa Unine berdiri diawali empat orang mahasiswa yang bergabung sejak masih duduk dalam sekolah menengah musik di Jogjakarta. Kegemaran mereka dalam bermusik membawa keempat personil ini tegabung dalam sebuah kelompok seni musik gesek dengan formasi kwartet bernama Sa Unine. Seiring berjalannya waktu, anggota kelompok musik ini semakin banyak, sampai akhirnya pada Kamis, (28/1), mereka tampil dengan personil 45 orang dan mengguncang panggung musik Bentara Budaya dengan lagu-lagu tradisional.

Panggung musik SaUnine yang mengusung tema Masa Lalu Selalu Aktual ini bukan pagelaran musik biasa, mungkin sejak awal orang pasti beranggapan kalau orkes musik gesek ini akan berlangsung khidmat dan syahdu layaknya menonton konser musik klasik, dimana sang musisi akan memakai pakaian jas rapih yang lengkap, dilarang memotret, dilarang bertepuk tangan ditengah-tengah lagu yang kabarnya bisa merusak mood dari lagu yang dibangun, dan masih banyak aturan lain yang selalu diberitahukan sang pembawa acara sebelum pagelaran dimulai.

Bisa dibilang pentas SaUnine kali ini menciptakan sejarah baru dalam dunia panggung orkes gesek. Sejak awal kursi penonton yang biasanya sepi untuk pagelaran musik seperti ini sudah penuh layaknya menonton sebuah konser musik band. Jelas terlihat 400 orang lebih sudah memenuhi tempat duduk yang telah disediakan sebelum acara dimulai, ini luar biasa untuk sebuah pertunjukkan seni musik yang seringkali dicap pagelaran musik yang serius. Pukul 19.30, MC membuka acara dengan menjelaskan maksud pagelaran seni musik yang dibuat oleh Tembi RUMAH BUDAYA ini. Kemudian 45 personil SaUnine naik keatas panggung, bersama sang konduktor Oni Krisnerwanto yang masuk dengan kostum khas Jogja berbaju lurik dengan celana hitam, sedangkan musisi perempuan mengenakan pakaian kebaya sederhana dan kain batik seadanya.

SaUnine membuka konser dengan alunan lagu Dibawah Sinar Bulan Purnama, dilanjutkan dengan Sapu Lidi dan Stambul Lagu Manis yang diaransemen dengan baik, sehingga alunan lagu tersebut terdengar anggun dan megah. Oni kemudian mengajak penonton menjelajah Kalimantan Selatan, Sumatera Barat dan Sulawesi dengan membawakan lagu Paris Berantai, Kembanglah Bungo dan Medley dari daerah Sulawesi. Ditengah-tengah konser, Oni lalu berubah posisi dari konduktor menjadi pemain gitar, dia lalu memperkenalkan Krishna Widiyanto, seorang penyanyi pop sekaligus pencipta lagu pengusung lagu-lagu alam. Dua buah lagu milik Krishna tak kalah menarik dipadukan ditengah konser musik gesek milik SaUnine. Kejutan lain adalah saat si pesinden Silir Pujiastuti membawakan lagu Ilir-ilir milik Sunan Kali Jaga, suara merdunya mampu menghipnotis penonton dan terhanyut dengan keagungan lagu tersebut.

Diakhir konser, SaUnine menutup pagelaran dengan lagu Padang Bulan, dan Gundul-gundul Pacul. Kali ini suasana Jawa sangat kental, permainan musik mereka membuat penonton tak berhenti bertepuk tangan. Suasana penuh keakraban dan santai membuat penonton yang hadir sangat puas dengan pertunjukkan malam itu, SaUnine berhasil menciptakan sejarah baru dengan panggung orkes gesek yang berbeda dengan yang lain. Sudah saatnya memberikan sentuhan baru pada dunia musik klasik di indonesia, dan tradisional orkestra rasanya cukup menarik sehingga layak untuk dipublikasikan dan diapresiasi dengan baik.

Titin