Saat Seniman Menafsirkan Tugu

Saat Seniman Menafsirkan Tugu

Para seniman sedang menafsirkan Tugu pada 21 Juli hingga 31 Agustus ini dalam Pameran Seni Visual ‘Memaknai Pusat’, yang menampilkan karya seni rupa, foto, sketsa dan data sejarah tentang Tugu Jogja. Karya seni rupa yang dipamerkan juga beragam, meliputi lukisan, grafis, kriya, patung, dan instalasi.

Pameran ini diikuti oleh Alan Aronson, Amir Hamzah, Amy Louis Wilis, Andy Miswandi, Badari Mustaq, Bayu Wardhana, C. Roadyn, Dunadi, Eka Susilowati, Endang Lestari, Heru “Dodot’ Widodo, Heru Priyo, Ibnu Prastowo, Iris Schmidt, Josep Wiyono, Komroden Haro, Mujiharjo, Kelompok Munggur, Nasirun, Rudi Hartono, Sigit Raharjo, Stefan Buana, Suharmanto, Teguh S.Priyono, Timbul Raharjo, Titoes Libert, Willem Kootstra, Win Dwi Laksono, Zenfa Kusmayanto.

Saat Seniman Menafsirkan Tugu

Dalam pengantarnya, kurator Lutse Lambert Daniel Morin mengatakan dalam pameran ini para perupa baik yang memang berdarah Jawa maupun pendatang yang memutuskan tinggal di tanah Jawa mengekspresikan Tugu dan Kota Jogja sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Baik itu melalui nilai-nilai filosofi maupun dunia mitis yang lekat dalam budaya Jawa. Ekspresi, emosi dan kognisi bersatu dalam karya para seniman ini. Menurut Lutse, nuansa mitis, penuh keagungan, damai dan tenang, hingga carut-marutnya Jogja muncul sebagai sebuah kecintaan seniman terhadap kota Jogja.

Dunadi membuat Tugu dalam kurungan merah dari bahan besi berukuran 90 x 70 cm. Karya ini digantung sehingga langsung menarik perhatian. Karyanya ini berjudul ‘Tugu Semprong’. Semprong adalah kaca pelindung agar sumbu api senthir tidak padam terkena angin. Lewat karyanya ini, Dunadi mengharapkan kembalinya sakralisasi Tugu Jogja.

Bagi Dunadi, Tugu yang seharusnya menjadi sumbu atau pusat cahaya kini tak lagi bersinar. Tugu kalah terang oleh lampu-lampu baliho di sekitarnya serta kini dipanjat, diduduki, dipakai sebagai background foto-foto para pengunjung. Sayangnya, kata Dunadi, pemerintah sepertinya memfasilitas agar mereka beramai-ramai berfoto di bangunan yang seharusnya disakralkan itu.

Saat Seniman Menafsirkan Tugu

Bagi M. Irwan Sukendra, Tugu Jogja adalah simbol yang memberi pesan sejarah dan filosofi ketuhanan dengan warna Jawa Mataram dan mungkin juga sentuhan arsitektural Eropa pada fisiknya. Karena itu membangun kawasan Tugu hendaklah memperhatikan Tugu sebagai kawasan budaya, fungsi dan arsitektural yang mengacu pada nilai-nilai lokal jika kita ingin Jogjakarta memang istimewa. Lukisannya ‘Tugu, Pesan dari Masa Lampau’ menggambarkan lanskap Tugu yang anggun dan leluasa.

Lutse menjelaskan, Tugu dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1755 dalam bentuk golong gilig. Tugu ini menjadi salah satu poros filosofis Jogja. Dalam pemahaman makrokosmos, Tugu Golong Gilig bermakna penyatuan antara manusia dan Tuhannya. Perwujudan kepasrahan dan kepercayaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pemahaman mikrokosmos, raja sebagai perwujudan Tuhan di dunia merangkul dan mengajak masyarakatnya untuk selalu bersatu menghancurkan dan memusnahkan penjajahan. Sehingga secara makrokosmos dan mikrokosmos, manunggaling kawula lan gusti bisa diartikan sebagai bentuk penyatuan antara rakyat, raja dan Tuhannya. Konsep tersebut menjadi dasar filosofi makna Tugu Golong-Gilig. Namun pada 10 Juni 1867, sepertiga bagian Tugu Golong Gilig hancur oleh gempa. Pada 3 Oktober 1889, Tugu kembali dirikan oleh pemerintah Belanda, yang dikenal sebagai Tugu Jogja.

Saat Seniman Menafsirkan Tugu

Pameran ini menarik karena para seniman membuat penafsiran atas ikon Jogja, yang berarti bahwa mereka menafsirkan identitas ikon dimana mereka tinggal. Menariknya karena pada akhirnya Jogjalah yang mereka tafsirkan.

Bagi para seniman, kata Lutse, Jogja akan selalu sama, menjadi pusat kebudayaan maupun pusat berkesenian.

barata




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta