Memahami Tubuh Tradisi
(Catatan Ringkas Obrolan Tari Tembi 4 Mei 2012)

Memahami Tubuh Tradisi

Obrolan Tari Tembi yang setidaknya telah berjalan sebanayk 4 kali, untuk kali ini, yakni Jumat, 4 Mei 2012 mengangkat tema “Memahami Tubuh Tradisi”. Obrolan kali ini menghadirkan Halim HD. Selaku pembicara. Obrolan dimoderatori oleh Bambang Paningron. Acara itu sendiri diselenggarakan oleh Tembi Dance Company yang mencoba terus menggali nilai-nilai dan berbagai aspek di jagad tari untuk pengembangan dan penciptaan tari-tari baru, katakanlah kontemporer lengkap dengan ekspresi, riasan maupun kostum dan segala asesorinya, di dalam tubuh TDC. 3

Memahami Tubuh TradisiOTT kali ini terlebih dulu diawali dengan empat pertunjukan olah tari. Pertunjukan diawali oleh olah gerak tari yang ditarikan secara perorangan. Sementara olah gerak tari terakhir (ke empat) dipertunjukkan oleh dua orang penari tamu dari Surakarta. Boleh dikatakan bahwa olah tari yang mengeksplorasi serta bermain-main dengan gerak yang ditampilkan oleh ke empat pertunjukan terasa baru/asing. Baru karena kebanyakan penonton belum pernah melihat komposisi atau rangkaian gerak semacam itu sekalipun gerak tari itu sendiri bukan sesuatu yang relatif asing.

Tampak bahwa ke empat tarian yang dibawakan di awal acara sepertinya hendak menyodorkan konsep pola gerak tari yang sungguh baru. Ada pula yang ingin menyajikan bahwa tari yang dimunculkan adalah berpangkal dari sebuah tradisi. Minimal tradisi cara berpakaian Jawa. Tari yang tampak berpangkal dari tradisi ini sepertinya intens menggarap nuansa orang mengenakan stagen dan kain jarik. Sementara tari yang dipertunjukkan untuk menunjukkan pola-pola gerak tari baru sepertinya mencoba ”lepas” dari tradisi. Mencoba mengambil rentang jarak yang jauh dari tradisi. Oleh karena mereka bergerak di ranah kebudayaan Jawa (tari Jawa) mereka mencoba mengambil jarak sejauh-jauhnya dari pola gerak tari yang selama ini seperti telah ”mbalung sungsum” pada diri mereka.

Berbicara tentang tradisi dan bukan tradisi sebenarnya tubuh sendiri tidak pernah bebas dari nilai. Di dalam tubuh atau diri seseorang selalu terjadi konflik-pertarungan-pertentangan akan berbagai nilai tertentu yang hendak dipakai atau dianutnya. Pendeknya tubuh menjadi ruang konflik dan perbenturan atau pergesekan berbagai nilai. Demikian pun dalam dunia tari. Memori atau artefak tentang tradisi tidak mungkin begitu saja hapus dalam diri masing-masing orang. Penciptaan karya hampir tidak mungkin berangkat dari sesuatu yang tidak ada, dari suatu kekosongan. Entah sedikit atau banyak apa yang dikatakan sebagai tradisi atau apa yang pernah diperoleh di masa lampau akan memberikan pengaruh pada karya atau kreasi kekinian (kontemporer).

Tarik menari antara tradisi dan inovasi (kontemporer) tampaknya memang terjadi sepanjang masa dan tidak terbatas pada masalah seni tari saja. Akan tetapi hal demikian terjadi pada hampir semua sisi kehidupan.

Memahami Tubuh Tradisi

Almarhum Wisnu Wardhana pernah menyatakan bahwa tradisi sebenarnya adalah selalu kontemporer. Tradisi sebenarnya tidak berhenti. Pandangan bahwa tradisi adalah sebagai sesuatu yang berhenti sering dianut para pemikir Barat. Sementara pelaku tradisi melakukan tradisinya sebagai sebuah lakuan keseharian atau kekinian (kontemporer). Berkaitan dengan hal itu cara-cara kerja secara ekperimental sesuai dengan situasi dan kondisi, hal demikian dapat dikatakan sebagai kontemporer. Dengan demikian, ketika tradisi diciptakan sebenarnya pada saat itu juga apa yang kemudian disebut sebagai tradisi adalah kontemporer. Bahkan tradisi juga bisa sangat kontemporer ketika sedang diciptakan.

Memahami Tubuh TradisiPengusaaan ketubuhan tradisi dengan pola-pola, serta olah gerak tari tradisi sangatlah penting bagi seorang penari. Berangkat dari sanalah sebuah tari kontemporer yang kuat baru bisa diciptakan (dikreasikan). Hal demikian penting bagi seroang kreator tari (koreografer maupun pelaku tari). Akan kelihatan lucu dan menggelikan jika seorang senirupawan (pelukis) dengan tiba-tiba saja berkarya kontemporer sementara sebenarnya ia tidak pernah bisa melukis realis sebelumnya.

Tarian Didik Nini Thowok yang dalam keseluruhannya bisa dikatakan sebagai kontemporer pun tidak lepas dari penguasaan tradisi sebagai pangkal pijakannya. Tanpa pijakan yang kuat karya kontemporernya pun akan lemah. Bahkan seliar-liarnya kreasi kesenian di Eropa pun tidak pernah lepas dari sentuhan tradisi.

Pendapat lain juga menyatakan bahwa tradisi bukan sesuatu yang jadi, tetapi adalah sesuatu yang ”menjadi”. Sebenarnya ruang tradisi adalah juga ruang eksperimentasi. Di dalam tradisi setiap orang berusaha masuk dengan menjadi dirinya sendiri serta mengeksplorasi ekpresi.

Sentuhan subjektif yang membuat karya seni diterima sangat membuat orang atau seniman punya otentisitas yang pad konteks lebih jauh bisa pula menjadi tradisi. Itulah mengapa dikatakan bahwa tradisi adalah sesuatu yang menjadi. Pada sisi ini pelacakan terhadap tradisi menjadi demikian penting. Sayangnya tradisi tulis kita itu lemah, sementara tradisi lisan kita juga mulai mengabur dan bahkan menghilang.

Pada sisi lain apa yang disebut sebagai kontemporer adalah mencoba mempertanyakan kembali sesuatu yang pernah ada (requestion), revisiting, penafsiran ulang, dan sebagainya. Dengan demikian tradisi atau sesuatu yang lama dengan sendirinya akan terlestarikan. Pada galibnya, untuk menghasilkan karya diperlukan ”kegelisahan”. Tetaplah gelisah untuk menemukan jawaban, alternatif, pemaknaan, dan cara-cara ”baru” yang lebih ”nges” yang pada gilirannya mungkin juga akan menjadi tradisi dan akan dipertanyakan ulang oleh generasi-generasi berikutnya.

a.sartono




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta